Bung Karno dan Bangsa Arab

Bung Karno dan Bangsa Arab

Bersatunya Arab dan Pribumi di Madrasah Al Irsyad Surabaya Tahun 1935 (Foto: Perpustakaan Online Al Irsyad).

Suaramuslim.net – Sejarah perjuangan kemerdekaan RI tidak bisa dilepaskan dengan kehadiran bangsa-bangsa lain yang ikut andil.

Sebagai negara yang kaya raya, subur makmur, Indonesia menarik bangsa-bangsa lain untuk datang dan melaksanakan perdagangan. Bangsa Arab dan Cina sejak lama sudah datang ke Indonesia, mereka datang dengan misi perdagangan, kebudayaan dan misi keagamaan.

Yang membedakan keduanya adalah bangsa Arab datang dengan misi perdagangan dan keagamaan, tanpa ada kekerasan, sehingga keberadaan bangsa Arab bisa diterima oleh penduduk setempat.

Berbeda dengan bangsa Cina, selain misi perdagangan, kedatangan mereka juga diselipi dengan visi menguasai. Sehingga terjadilah perang antara Kertanegara dengan pasukan Ku Bi Laikhan, yang konon utusan Ku Bi Laikhan dipotong telinganya.

Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran pendatang dari Arab dan Cina. Namun seiring perjalanan, orang-orang dari keturunan Arab menujukkan komitmen yang kuat dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Sebaliknya pendatang Cina sebagian ada yang berkhianat dan bekerja sama dengan penjajah Belanda, misalkan Po An Tui yang membantu pelarian Westerling ke Singapura. Bahkan kemudian dengan laskarnya melakukan pembantaian terhadap rakyat Indonesia.

Golongan Po An Tui dengan kejamnya membunuh dan membakar para pejuang kemerdekaan, karena mereka tidak mengungsi dan terus berada di kota bersama Belanda. Mereka mendadak menjadi kaya, sesudah Belanda tidak ada, karena mereka menduduki tempat yang dulu ditempati Belanda.

Di Bandung, laskar Po An Tui aktif membantu NICA (Nederland Indische Civil Administration) menebar teror terhadap para pejuang, seperti pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, dan penjarahan.

Teror itu bertujuan agar pribumi segera pindah ke Bandung Selatan dan tidak mendukung RI.

Komitmen orang-orang keturunan Arab itu ditunjukkan dengan sukarelanya mereka membantu Bung Karno dan Bung Hatta serta para pejuang kemerdekaan untuk memerdekakan Indonesia.

Salah satu wujudnya adalah rumah jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat adalah rumah Faradj bin Said bin Awadh Martak, seorang saudagar kaya kelahiran Hadramaut, Yaman yang memiliki jiwa nasionalisme untuk bangsa Indonesia yang tinggi.

Cerita yang lain menjelang dibacakannya naskah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, dikabarkan bahwa Bunga Karno terserang malaria. Kondisi badannya lemas, menggigil dan lemah.

Halaman rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56 Jakarta Pusat, terlihat ramai. Pagi itu, Jumat 17 Agustus 1945, pukul 08.00 WIB, puluhan pemuda bersiap menyambut hari kemerdekaan Indonesia.

Sementara tuan rumah, Sukarno, masih tertidur lelap di ranjangnya. Saat itu, kondisi fisiknya memang tidak sehat.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, Api Sejarah menuturkan, dua jam sebelum pembacaan teks Proklamasi, suhu badan Sukarno masih tinggi. Dia terserang malaria.

Selain itu, Sukarno juga mengalami kelelahan usai beraktivitas tiada henti. Mulai dari kegiatan di Rengasdengklok hingga begadang semalaman merumuskan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta.

“Badanku menggigil dari kepala sampai ke kaki. Suhu tubuhku naik sampai 40 derajat. Meski sakitku sangat parah, aku tak dapat pergi tidur begitu sampai di rumah. Aku langsung ke meja tulisku dan duduk di sana selama berjam-jam,” kata Sukarno dalam autobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat.

Tak berapa lama, Soeharto Sastrosoeyoso pun tiba. Dokter pribadi Bung Karno itu memberanikan diri masuk ke kamar Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tersebut. Ia lantas membangunkannya.

Sukarno pun terbangun. Dia mengaku tak enak badan.

“Pating greges (badannya demam),” kata Sukarno seperti ditulis Ahmad Mansur.

Lantaran suhunya tinggi, tubuh Bung Karno diberi suntikan yang berisi cairan chinine-urethan intramusculair. Ia juga diminta meminum obat broom-chinine untuk menurunkan suhu tubuhnya. Dengan begitu, pada hari ke-8 Ramadan, Bung Karno tidak berpuasa.

Tak hanya diberi suntikan, Bung Karno saat itu juga meminum madu asal Hadramaut, Yaman, pemberian Faradj Martak, saudagar Timur Tengah, yang dekat dengan Bung Karno.

Konon, madu asal Hadramaut itu memiliki kemampuan membunuh aneka bakteri tanpa efek samping. Madu ini bersifat antibiotik, antiseptik, dan antijamur.

Soekarno pun disebut rutin mendapat pasokan satu dus madu Sidr satu atau dua bulan sekali.

Obat yang diminum itu ternyata mujarab. Pukul 09.30 WIB atau 30 menit sebelum pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno bangun dari tidurnya dengan kondisi lebih baik. Panas di tubuhnya sudah menurun. Kendati telah sembuh, Sukarno menolak membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta.

Sesaat sebelum acara dimulai, Hatta pun tiba di kediaman Sukarno. Dia mengenakan setelan putih-putih. Hatta langsung menuju kamar untuk menjemput Sukarno.

Sukarno pun bangkit dari tempat tidur. Ia mengenakan setelan yang sama dengan Hatta. Didampingi Fatmawati, keduanya lalu berjalan menuju teras rumah.

Di teras rumah, sejumlah tokoh sudah menunggu. Terlihat antara lain Ahmad Subardjo, Soewirjo, Soekarni, Soejono, Latuharhary, SK Trimurti, dan AG Pringgodigdo.

Selain itu, massa juga telah mulai berkumpul sejak pukul 07.00 WIB. Mereka datang dengan membawa bambu runcing, sekop, tongkat, golok, dan berbagai senjata lain. Jikalau saat itu ada hambatan dari musuh, mereka sudah siap bertarung hingga darah penghabisan.

Mereka berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno untuk memastikan tak ada tentara Jepang ataupun Sekutu yang menggagalkan rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia.

“Pesan sudah tersebar bahwa Bung Karno akan menyatakan kemerdekaan. Kita harus melindungi Bung Karno. Petani, pedagang kelontong, nelayan, pegawai negeri, anak-anak muda, dan orang tua, semua mengalir ke Pegangsaan Timur 56,” ujar massa yang tertulis dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Rumah Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat dan madu Arab menjadi saksi bahwa keterlibatan orang Arab di Indonesia andilnya sangat besar bagi kemerdekaan Indonesia.

Melupakan jasa orang-orang Arab terhadap kemerdekaan Indonesia adalah kehilangan akar sejarah dan hanya menjadi pikiran PKI yang pernah gagal merongrong Indonesia karena umat Islam.

Surabaya, 8 Mei 2022
Isa Ansori
Kolumnis
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment