Rektor ITK dan puncak gunung es narasi islamophobia

Rektor ITK dan puncak gunung es narasi islamophobia

Ilustrasi ujaran kebencian di medsos. (Dok. iStock).

Suaramuslim.net – Seorang profesor sekaligus rektor sebuah perguruan tinggi teknologi negeri di Kalimantan belum lama ini menuliskan pada akun medsosnya tentang pengalamannya sebagai reviewer beasiswa LPDP.

Tulisan itu sulit untuk tidak dipersepsi sebagai bernada kebencian pada ekspresi Islam dan suku bangsa Arab. Seorang pemuda yang membaca status akun medsos sang profesor kemudian men-screenshoot dan memviralkannya ke dunia maya.

Pemuda ini berkesimpulan bahwa sang rektor ini melakukan ujaran kebencian sekaligus rasis. Kontak ramailah jagat maya dengan berbagai pros dan konsnya.

Cuitan bernada merendahkan Islam dan Arab yang meningkat selama beberapa tahun terakhir ini memang sebuah fenomena gunung es yang marak sejak narasi islamophobia menjadi wacana publik global setelah Bush Jr menyatakan war on terror yang dalam praktek berarti war on Islam sejak peristiwa keruntuhan menara kembar WTC New York dijadikan sebagai pretext atas invasi AS ke Iraq dan Afghanistan.

Sayang sekali, narasi memusuhi Islam itu got buzzed oleh Pemerintah selama 7 tahun terakhir ini.

Saat ketua BPIP mengatakan di depan publik bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila, maka ciutan sang profesor ini memperoleh papan lontarnya di BPIP.

Penting dipahami bahwa permusuhan terhadap agama, terutama Islam, telah diam-diam menjadi prinsip dasar kebijakan pembangunan terutama sejak Orde Baru. Semua program pembangunan hingga hari ini adalah proyek sekulerisasi sekaligus deislamisasi besar-besaran.

BPIP hanya memberi sentuhan akhir saat UUD45 diamandemen secara ugal-ugalan, lalu Pancasila dikubur di bawah kaki kaum sekuler kiri dan nasionalis radikal sebagai useful idiots yang kini diam-diam berkuasa.

Sampai di sini perlu dicermati, bahwa BPIP berpotensi menjadi instrumen bagi kekuatan-kekuatan nekolimik asing yang terus melancarkan neo-cortex war tak pernah berhenti memecah belah bangsa ini dalam rangka melemahkan ummat Islam, lalu menjarah kekayaan bangsa ini.

Salah satu cara melemahkan ummat Islam adalah menarasikan secara publik bahwa Islam itu kreasi budaya Arab. Dengan membangkitkan sentimen nasionalisme, sekaligus sukuisme. Sentimen rasial ini pula yang dipompakan oleh Inggris untuk mendorong perlawanan jazirah Arab terhadap Khilafah Turki Usmani di Istanbul. Padahal Khilafah Turki Usmani dan khilafah-khilafah non-Arab lainnya adalah bukti yang terang bahwa Islam tidak berarti Arab.

Memang sentimen nasionalisme dan juga sukuisme ini adalah sentimen yang mudah sekali dibangkitkan. Orang sering lupa bahwa asal usul primordial kita bukanlah prestasi kita, sekaligus bukan kutukan atas kita. Asal usul kita itu pemberian Tuhan yang tidak bisa ditolak sekaligus bukan sesuatu yang boleh dibangga-agungkan secara berlebihan hingga menjadi neonazi ala Jerman di bawah Hitler.

Dengan demikian jelas bahwa ciutan sang profesor cum rektor itu sesat dan menyesatkan bangsa ini. Terkait tugas profesor sebagai pendidik itu saya ingat kisah Tengzin Norgay, sang sherpa yang menjadi penunjuk jalan bagi Edmund Hillary ketika mendaki puncak Mt. Everest pertama kalinya pada 29 Mei 1953.

Saat diwawancarai seorang wartawan ketika keduanya turun di pos terdekat, Tengzin diminta menceritakan momen ketika dia dan Edmund mencapai atap dunia itu.

“Beberapa meter sebelum mencapai puncak yang diselimuti es itu aku berhenti dan mempersilakan Sir Edmund untuk mendaki di depanku.”

“Mengapa itu kau lakukan,” tanya sang wartawan.

“Itu kan mimpinya, bukan mimpiku,” jawab Tengzin.

“Lalu apa mimpimu?” Tanya wartawan.

“Mengantarkan orang lain meraih mimpinya,” kata Tengzin.

Tugas setiap guru adalah opening the minds murid-muridnya, memberi ruang kreativitas bagi semua mimpi yang mungkin diraihnya; menjadikan semua yang impossible menjadi sesuatu yang possible.

Kunci kreativitas itu menurut Richard Florida ada tiga T; kolam Talenta, Teknologi, dan Toleransi atas keragaman, termasuk keragaman ekspresi budaya dan agama yang masih dijamin oleh konstitusi.

Komunitas terdidik harus bekerja keras untuk memastikan bahwa ekspresi kreatif itu tidak layu sebelum berkembang karena direndahkan dan ditakut-takuti.

Gunung Anyar, 9 Mei 2022
Daniel Mohammad Rosyid
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment