Dahsyatnya Sinergi antara Ulama dengan Umara

Dahsyatnya Sinergi antara Ulama dengan Umara

Dahsyatnya Sinergi antara Ulama dengan Umara

Suaramuslim.net – Ada sabda nabi yang sangat fenomenal dan menjadi impian bagi ksatria-ksatria Islam lintas generasi. “Konstantinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.” (HR. Ahmad)

Bagaimana tidak, Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan benteng berlapis yang sangat kuat, dikelilingi oleh selat Golden Horn yang cukup luas, dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih dan brilian, namun nabi menandaskan suatu hari benteng kuat itu bisa ditaklukkan. Sabda nabi ini rupanya melahirkan spirit yang membakar gelora ksatria umat Islam di sepanjang kurun. Mereka bermimpi, akan menjadi panglima dan pasukan yang disebut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai yang terbaik. Berbagai upaya digencarkan mewujudkan kebenaran hadits nabi ini.

Berbagai usaha untuk menaklukkannya, pada akhirnya mengalami nasib yang sama. Hingga muncul sosok pemuda saleh, yang sejak kecil terdidik dengan pendidikan agama yang bagus, akhlak yang mulia, ditempa oleh ulama rabbani yang menguasai banyak disiplin ilmu. Pemuda itu bernama: Muhammad bin Murad al-Tsani atau yang lebih dikenal dengan Muhammad Al-Fatih.

Cukup mencengangkan, jarak realisasi antara ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dengan terwujudnya pembebasan Kontantinopel?  Ternyata, setelah delapan abad kemudian,  di masa kepemimpinan Muhammad Al-Fatih (855-886 H), jantung kota Konstantinopel yang pada waktu itu menjadi Ibu Kota Romawi Timur baru bisa ditaklukkan (al-Mausu`ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami, 2/148).

Kesuksesan gemilang Muhammad al-Fatih, bila ditilik dari sejarah Khilafah Utsmaniyah, ternyata tidak bisa dilepaskan dari sinergi dan rasa hormat beliau terhadap ulama. Sejak kecil, beliau sudah dididik oleh ulama besar yang bernama Aaq Syamsuddin. (1398-1459 M). Ulama yang memiliki nama asli Muhammad bin Hamzah al-Dimasyqi Ar-Rumi ini selalu memotivasinya agar terus mengobarkan semangat jihad, dan meyakinkannya bahwa yang dimaksud pembebas Konstantinopel dalam hadits nabi adalah dirinya.

Bersama Syekh Aaq Syamsuddin, Muhammad al-Fatih bukan saja matang secara ilmu keagamaan, tapi juga menguasai disiplin ilmu lain, seperti kedokteran. Ini tidak mengherankan karena Syekh Aaq sendiri menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan. Dalam nuansa seperti inilah pemuda yang berhasil menaklukkan Konstantinopel ini dibesarkan.

Dalam urusan-urusan penting, beliau selalu berembuk dengan Syekh Aaq Syamsuddin. Dalam pembebasan Konstantinopel misalnya, Syekh Aaq Syamsuddin menyertai beliau dan memberi suntikan semangat tatkala dirinya mulai lesuh. Tak hanya itu, beliau tidak henti-hentinya bermunajat di hadapan Allah agar Al-Fatih dimenangkan. Pernah suatu saat Al-Fatih mengintip ke tenda Syekh Aaq Syamsuddin, rupanya beliau sedang hanyut dalam doa, wajah karismatiknya pun berurai air mata.

Ketika kemenangan sudah didapatkan Muhammad al-Fatih, beliau tak menunjukkan kegembiraan yang berlebihan. Malah dalam kondisi demikian beliau berujar, “Kegembiraanku bukan karena membebaskan kota (Konstantinopel). Kegembiraanku hanya kerana adanya orang seperti ini di zamanku.” (Fahd Khalil Zaid, ‘Abqariyyatul Intishar fi al-Ma’arik wa Fath al-Amshar, 230). Pernyataan Muhammad al-Fatih ini menunjukkan betapa besar penghargaan beliau terhadap ulama.

Menurut catatan Prof. Raghib As-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2009: 264), beliau mendengar seorang alim di tempatnya tertimpa suatu musibah, maka dengan segera ia mengeluarkan bantuan dan memenuhi kebutuhannya. Tak hanya itu, simak baik-baik wasiat sosok karismatik ini kepada anaknya, saat berada di pembaringan menjelang wafat, “Sesungguhnya para ilmuan (ulama) menduduki kekuatan yang kokoh dalam tubuh pemerintah, membuat agung sisi-sisi dan menjadi motivator. Ketika kamu mendengar salah seorang di antara mereka di negeri lain, datangkan dia kepadamu dan muliakanlah mereka dengan harta.” (Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, pen: Sonif dkk, 264).

Kisah-kisah tadi menunjukkan,  di samping pertolongan Allah, kunci kemenangan Muhammad Al-Fatih ialah sinerginya umara dengan ulama dan rasa hormatnya yang tinggi kepada mereka. Generasi yang menjadikan ulama terhormat, dan melibatkan mereka dalam setiap mengambil keputusan penting, sangat berpeluang besar menjadi generasi terhormat dan mendapat kejayaan. Dan itu sudah dibuktikan oleh Muhammad Al-Fatih, sang umara ulung dari Khilafah Utsmaniyah.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment