Definisi Hadits Dhaif dan Contohnya

Definisi Hadits Dhaif dan Contohnya

Definisi Hadits Dhaif dan Contohnya

Pengertian Hadits dhaif secara etimologi adalah lawan kata dari qowiyun (kuat) yaitu lemah. Lemah yang dimaksud dalam konteks ini adalah lemah yang ma’nawy. Karena menurut Mahmud Thahan dalam Taisyir Muthalah Hadis, lemah itu ada dua. Yaitu lemah khissiy dan ma’nawy.

Sedangkan secara arti terminologi, seperti yang diungkapkan Ibnu Sholah yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi adalah ma lam yajma’ sifat as-shohih wal hasan. Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.

Definisi tersebut dikritisi oleh Ibnu Dakik bahwa menurut beliau telah dianggap cukup definisi tentang hadits Dhaif dengan hanya menyebutkan yang kedua sebagaimana ungkapan Ibnu Shalah (ma lam yajma’ sifat hasan).

Pendapat Ibnu Dakik tersebut didukung oleh Imam al-Bayquni dalam bait syairnya yang menyebutkan:

وكل ما عن رتبة الحسن قصر # وهو الضاعف وهو أقسما كثر

Artinya tidak jauh beda dengan pendapat Ibnu Dakik akan tetapi al-Bayquni menjelaskan bahwa yang dimaksud kehilangan syarat-syarat hasan adalah terbagi menjadi beberapa bagian. Yaitu hilang syarat hadis hasan.

Hadits dhaif juga memiliki sifat-sifat yang berbeda tergantung parahnya ke-dhaifan riwayatnya dan kelemahanya seperti halnya hadits shahih. Yaitu Dhoif, Dhoif jiddan, al-wahiy, mungkar dan bagian yang paling rendah adalah maudhu’.

Di bawah ini adalah contoh hadits dhaif yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi dari jalan sanad Hakim al-Astram, yang dijarh atau divonis dhaif oleh para ulama.

من أتي حائضا أو إمرأة أو كاهنا فقد كفر بما أنزل علي محمد

“Barang siapa yang mendatangi seorang haid, atau perempuan atau seorang dukun, maka ia telah kufur atas hal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.”

Setelah meriwayatkan Hadis di atas imam at-Tirmidzi pun menjelaskan lebih rinci dalam sarahnya bahwa beliau tidak mengetahui hadits tersebut kecuali dari sanad Hakim al-Astrom dari Abi Tamimah al-Hujaimy dari Abi Hurairoh. Bahkan Imam Bukhori pun mengatakan bahwa hadits ini dhoif dari segi sanadnya. Hal ini memang terbukti karena dalam sanadnya ada Hakim al-Atsrom yang telah didhaifkan oleh para ulama’.

Lalu bagaimana caranya kita mengetahui bahwa seorang Rawi tersebut dhaif atau tidak. Pertama, meneliti apakah semua perawi memiliki riwayat yang sambung, yakni dengan cara meneliti riwayat guru-murid dari kitab Tarajum seperti Tadzhibul Kamal karya al-Mizi atau Lisanul Mizan karya Ibn Hajar dan lain sebagainya.

Kedua, mencari apakah perawi tersebut adil dan dhabit atau tidak dengan melihat kritik dari para ulama terhadap para rawi tersebut, apakah ia divonis tsiqqah (terpercaya), katsirul khata’ (banyak salah), dhaif (lemah) dan lain sebagainya. Ketiga, meneliti apakah terdapat illat, yaitu secara kasat mata terlihat sahih tapi ketika diteliti kembali banyak rancaunya.

Salah satu ulama yang ahli dalam ilmu ini adalah Imam at-Tirmidzi.  Keempat, dengan membandingkan dengan periwayatan rawi yang lebih Tsiqah, apakah terjadi perbedaan matan atau tidak, jika berbeda maka periwayatan perawi yang lebih Tsiqah tersebut yang lebih dipilih (mahfudz), sedangkan periwayatan rawi yang kurang tsiqah disebut Syadz.

Lalu bagaimana selanjutnya ketika sudah diketahui bahwa hadits tersebut dhaif. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits dhaif ini.

Ajaj al-Khatib dalam Ushul Hadis menjelaskan tiga perbedaan pendapat terkait status kehujahan hadis dhaif:

Pendapat pertama, hadits dhaif tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan sebagainya.

Pendapat yang kedua, dipandang baik mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.

Pendapat ketiga; hadits dhaif sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.

Diantara tiga pendapat di atas, pendapat kedua adalah menurut jumhur al-ulama’. Akan tetapi pendapat tersebut harus memenuhi beberapa syarat yang dipaparkan Imam Ibnu Hajar. Pertama, kedhaifan hadits tersebut tidak termasuk Syadid. Kedua, termasuk hadits yang bisa diamalkan. Ketiga, ketika mengamalkan, tidak meyakini ketetapan hadis tersebut akan tetapi dengan ikhtiyat (hati-hati). Wallahu A’lam.

Sumber: Wikihadis.id

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment