Etika Islam Ketika Menghadapi Wabah Penyakit

Etika Islam Ketika Menghadapi Wabah Penyakit

etika menghadapi wabah penyakit dalam Islam
Simbol saran untuk menggunakan mouth guard.

Suaramuslim.net – Publik dunia sedang sibuk memantau perkembangan wabah virus Corona. Wabah ini pertama kali dideteksi dari Wuhan, Cina pada Desember 2019. Hingga 28 Januari 2020, lebih 130 orang meninggal dunia di beberapa negara dan lebih dari 5 ribu orang terinfeksi (Wikipedia). Muncul juga penderita di Hongkong, Taiwan, Jepang, Thailand, Korsel, Amerika Serikat. Semua penderitanya adalah orang yang baru pulang dari kunjungan ke Wuhan. Di artikel ini, kita sedikit ulas etika menghadapi wabah penyakit dalam Islam.

Banyak yang khawatir wabah ini berdampak seperti SARS pada 2003 silam yang menjangkiti 8 ribu orang dan merenggut 10 persen di antaranya (Wikipedia). Wabah SARS ini juga banyak ditemukan di wilayah Asia Timur seperti Cina, Hongkong, serta Amerika Utara.

Banyak pemerintah di dunia mengantisipasi wabah ini. Belum ada vaksin yang siap untuk virus ini. Setiap bandara memantau kedatangan penumpang dari Cina. Banyak yang memasang sensor suhu tubuh. Jika kedapatan kenaikan suhu tubuh lebih dari normal, para penumpang itu dikarantina terlebih dahulu.

Penanganan wabah sejatinya sudah dipesankan Rasulullah Muhammad SAW ke para sahabatnya. Inilah tulisan pendek tentang etika menghadapi wabah penyakit dalam Islam. Dalam kitab Ash-Shahihain diceritakan, suatu ketika Amirul mukminin Umar bin Khattab mengunjungi wilayah-wilayah Islam. Saat itu giliran negeri Syam. Dia menemui Ubaidah bin Al-Jarrah dan sahabat-sahabat yang lain yang sudah menetap di sana.

Dalam perbincangannya, mereka melaporkan kepada Umar, bahwa di negeri Syam sedang diserang wabah penyakit, seperti wabah kolera. Perdebatan di antara mereka cukup hangat seputar masalah ini.

Meski demikian, Umar tak langsung mengambil keputusan langsung begitu saja. Beliau ingin bermusyawarah dengan mendengar masukan dari para sahabat-sahabatnya dan kaum Muslim saat itu.

“Panggillah orang-orang Muhajirin pertama!” perintah Umar.

“Saya sudah memanggil mereka, dan bahkan sudah berkonsultasi dengan mereka tentang pencemaran dan wabah yang sedang terjadi di negeri ini. Ujung-ujungnya, mereka berbeda pendapat dan pandangan,” jawab Ibnu Abbas.

“Engkau keluar dari masalah ini! Kami tidak tahu apakah engkau akan kembali mempedulikannya,” kata salah seorang sahabat yang lain.

“Ada sahabat-sahabat yang lain, para sahabat Rasulullah pun juga ada. Kami sendiri tidak melihat mereka akan mendatangi wabah ini,” kata sahabat yang lain.

“Cukup! jangan berdebat lagi. Kalau begitu panggil kaum Anshar kemari,” kata Umar. 

Akhirnya, mereka menghadirkan kaum Anshar dan meminta penjelasan dari mereka. Kaum Anshar juga demikian. Mereka berpendapat seperti halnya kaum Muhajirin. Saling berselisih pendapat.

“Sudahlah, akhiri perdebatan ini! Kalau begitu, sekarang hadirkan pembesar-pembesar Quraisy yang berhijrah di masa pembebasan Makkah,” kata Umar.

Mereka kemudian dipangil dan dihadirkan. Ternyata, tidak ada yang berdebat, kecuali dua orang saja. Dari ini tampak ada jalan terang.

“Menurut kami, engkau harus mengevakuasi orang-orang itu, dan jangan biarkan mereka mendatangi wabah ini,” kata salah seorang sahabat dari Quraisy.

Umar bin Khattab lalu mengizinkan mereka. “Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah?” tanya Abu Ubaidah.

“Mestinya orang selain engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah. Benar, ini lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Tidakkah engkau melihat, seandainya saja engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah dan menemukan dua tempat untamu; yang pertama subur dan yang kedua gersang. Bukankah ketika engkau memelihara unta itu di tempat yang subur, berarti itu adalah takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, apakah itu juga takdir Allah?” tanya Umar (dikutip dari Republika.co.id). Lalu Abdurrahman bin Auf kemudian tiba padahal sebelumnya dia tidak hadir dalam pertemuan itu karena suatu urusan.

Abdurrahman lalu berkata, “Saya tahu tentang masalah ini. Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya.” Inilah etika Islam ketika menghadapi wabah penyakit.

Begitulah pesan Nabi saw jika kaum muslimin menghadapi wabah penyakit. Di hadis yang lain Nabi saw mengabarkan, “Bahwa ada suatu ‘azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang yang Allah kehendakiNya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah bagi seseorang yang tertimpa tha’un (wabah) kemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu dengan sabar dan ia menyadari bahwa tha’un itu tidak akan menimpa kecuali telah ditetapkan Allah, kecuali ia memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid” (HR. al-Bukhari dari ‘Aisyah). 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment