Generasi “Home Service”

Generasi “Home Service”

Generasi “Home Service”
Ilustrasi anak kecil digandeng oleh seorang laki-laki.

Suaramuslim.net – Ada jawaban menarik dari ustazah Hayatun Nufus, ketika ditanya oleh salah satu pengurus YPI Al Hikmah, tentang apa masalah mendasar yang dihadapi anak-anak SMA Al Hikmah sekarang? Dengan kalimat diplomatis ustazah menjawab: “Masalah anak-anak sekarang adalah karena tidak pernah punya masalah.”

Ya, tidak pernah punya masalah, bukan berarti benar-benar tidak bermasalah. Tetapi, lebih karena tidak pernah diberi kesempatan untuk belajar menghadapi masalah oleh lingkungan keluarga di mana ia dibesarkan.

Anak-anak yang biasanya tumbuh di lingkungan keluarga serba ada ini, meminjam istilah Deassy Marlia Destiani disebut generasi “home service” yaitu generasi yang selalu minta dilayani. Kini banyak terjadi pada anak-anak yang hidupnya selalu minta dilayani oleh orang tuanya atau suster yang membantunya.

Mulai dari lahir mereka sudah diurus oleh pembantu, atau yang punya kekayaan berlebih diasuh oleh babysitter yang 24 jam siap di samping sang anak. Ke mana pun anak pergi diikuti oleh babysitter, bahkan tak jarang sampai umur 9 tahun ada babysitter yang masih mengurus keperluan si anak dengan alasan orang tuanya sibuk bekerja.

Anak tidak dibiarkan mencari solusi sendiri. Contoh kecil saja, membuka minuman kemasan yang akan diminumnya. Karena terbiasa ada babysitter atau asisten rumah tangga, anak dengan mudahnya menyuruh mereka, tidak mau bersusah payah berusaha lebih dulu. Karena tak sabar melihat anak mencoba memakai sepatunya sendiri maka orang dewasa yang di sekitarnya buru-buru memakaikan.

Saat anak sudah bisa makan sendiri, orang tua juga seringkali masih menyuapi karena berpikir jika tidak disuapi makannya akan lama dan malah tidak dimakan. Padahal saat lapar datang, seorang anak secara otomatis akan memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Mengutip perkataan seorang psikolog dari Stanford University, Carol Dweck, menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, “Hadiah terpenting dan terindah dari orang tua pada anak-anaknya adalah tantangan.”

Tapi beranikah semua orang tua memberikan hadiah itu pada anak? Faktanya saat ini banyak orang tua yang ingin segera menyelesaikan dan mengambil alih masalah anak, bukan memberikan tantangan.

Saat anak bertengkar dengan temannya karena berebut mainan, orang tua malah memarahi teman anaknya itu dan membela sang anak. Ada pula yang langsung membawanya pulang dan bilang; udah nanti ibu belikan mainan seperti itu yang lebih bagus dari yang punya temanmu, gak usah nangis. Solusi yang cepat tapi tidaklah tepat.

Padahal ibu tersebut bisa saja mengatakan; “Oh kamu ingin mainan seperti yang punya temanmu, ya? Gak usah merebutnya sayang, kita menabung dulu ya, nanti kalau uangnya sudah cukup kita akan sama-sama ke toko mainan membeli yang seperti itu.”

Kira-kira bagaimana jika ibu mengatakan demikian? Ada tantangan yang diberikan kepada anak bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang dia inginkan maka dia harus menabung.

Dalam keseharian generasi “home service“ semua pekerjaan rumah tangga tidak pernah melibatkan anak. Saat anak membuat kamarnya berantakan langsung memanggil asisten untuk segera merapikan kembali. Anak menumpahkan air di lantai, dilap sendiri oleh ibunya. Anak membuang sampah sembarangan, dibiarkan saja. Anak sulit belajar, atau kesulitan mengerjakan PR, orang tua telepon guru les untuk privat di rumah.

Bahkan yang sangat ekstrem, saat anaknya menabrak orang di jalan hingga meninggal, karena harusnya belum punya SIM malah sudah menyetir kendaraan sendiri, orang tuanya langsung menyuap polisi agar anaknya tidak diperkarakan dan dipenjarakan.

Persoalannya adalah: iya kalau orang tuanya kaya terus. Iya kalau orang tuanya hidup terus. Semua itu tidak pernah bisa kita duga. Generasi inilah yang nantinya akan menjadi orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Badannya dewasa tapi pikirannya selalu anak-anak, karena tak pernah bisa memutuskan sesuatu yang terbaik buat dirinya. Mau bagaimana lagi? Memang dari kecil mendidiknya begitu.

Sekolah yang mencarikan orang tua, jodoh yang mencarikan orang tua. Rumah yang membelikan orang tua, kendaraan yang membelikan juga orang tua. Tidak sedikit anak sekarang yang untuk mendaftar kuliah S1 masih minta diantar mama, ketika lulus S2 mau mencari kerja masih harus diantar papa.

Giliran punya cucu yang mengasuh dan jadi “pembantu” di rumahnya juga orang tuanya, kasihan banget orang tuanya. Sudah memberi modal banyak ternyata orang tua tipe begini hanya akan berakhir menjadi ‘kacung’ di rumah anaknya sendiri.

Maaf kalau saya menggunakan istilah ‘kacung’ karena saya betul-betul prihatin kepada orang tua yang terlalu menjadi pelindung bagi anaknya, bahkan nanti buat cucunya juga. Kapan si anak bisa mandiri?

Selain melibatkan anak-anak, faktor terpenting dalam meniadakan generasi “home service“ adalah peran ayah dalam mengerjakan perkerjaan rumah tangga. Di Indonesia masih banyak suami yang tidak mau terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Seakan-akan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menyetrika, mengepel dan lain-lain itu adalah aib buat seorang suami. Padahal menurut hasil penelitian, keikutsertaan para suami atau ayah dalam pekerjaan rumah tangga, berpengaruh positif terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga, lho!

Berbagi pekerjaan dalam rumah tangga antara suami dan istri tidak perlu dibuat jobdesk-nya secara tertulis, tetapi buatlah semuanya sesuai dengan kesempatan yang mereka punya. Ayah yang menjadi contoh mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga akan menjadi teladan langsung bagi anak laki-lakinya bahwa pekerjaan rumah tangga itu tak mengapa dilakukan seorang laki-laki.

Peran serta ayah dalam membantu pekerjaan rumah tangga ternyata berdampak positif pada hubungan antara anak dengan ayahnya. Rata-rata ayah yang terbiasa melakukan perkerjaan rumah tangga terbukti sangat dekat dengan anaknya. Jika antara ayah dan anak sudah dekat maka hubungan suami dan istri pun akan semakin harmonis.

Suami yang suka membacakan buku buat anak-anak sebelum tidur, akan membuat kedekatan emosi di antara keduanya terjalin sangat dalam. Anak-anak tak pernah berhenti memuja ayahnya. Ternyata hal itu membuat istri juga semakin mencintai suami, apalagi suami juga tidak segan membantu pekerjaan rumah tanpa sang istri memintanya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment