Generasi Tahan Banting

Generasi Tahan Banting

anak yang tahan banting
Anak-anak berkegiatan di alam.

Suaramuslim.net – “Baja yang paling baik adalah, baja yang harus melewati tempaan bara api terpanas.” (Richard M Nixon).

Prof. Ir. M. Nuh Ph.D, mantan Mendiknas zaman SBY berpendapat bahwa dalam 20-30 tahun ke depan tantangan kompleksitas masalah kehidupan akan naik tajam 35 kali lipat ketimbang yang sekarang. Menyadari masalah-masalah kehidupan yang semakin rumit dan kompleks tersebut, banyak orang tua yang berharap anak-anaknya mempunyai fighting spirit, mental survival yang tangguh. Istilah lain mempunyai kecerdasan daya tahan yang baik (adversity quotient, AQ).

Ada cara sederhana untuk menguji ketahanan anak-anak kita, apakah tahan banting atau tidak. Caranya, anak diuji dengan ‘dibanting’, diberi beban, tugas dan tekanan, tentu saja disesuaikan dengan masa perkembangannya.

Melahirkan generasi ‘tahan banting’ memang tidaklah mudah. Karena pembentukan mental attitude seperti ini tidak bisa dibentuk hanya dengan ceramah, kuliah atau pelajaran di sekolah tetapi perlu pembiasaan dan pendampingan di rumah. Dengan rekayasa perilaku yang sistematis dan saksama. Salah satunya, anak-anak diajari dan dibiasakan menikmati hidup meski harus ‘dibanting-banting’ dengan banyak beban dan masalah.

Anak-anak kami dampingi untuk realistis menghadapi masalahnya, mengurai dengan saksama dan menyelesaikan dengan caranya, serumit apa pun masalah itu. Ibarat mengurai benang ‘ruwet’, mereka harus sabar mengurai satu demi satu.

Banyak masalah khas anak-anak, mulai rutinitas beban pelajaran di sekolah: ujian dan PR-nya, gesekan pergaulannya, berantem dengan adik-kakaknya, termasuk masalah dengan lawan jenisnya. Anak-anak perlu keterampilan bagaimana mengatur persoalan tersebut, jika semua masalah itu bersamaan menimpanya.

Mendampingi anak menghadapi masalah dengan logis dan sistematis itulah yang ditunggu dari sosok sang ayah, bagaimana merumuskan masalah ‘problem- statement‘, mendefinisikan masalah dan keterkaitan sebab-akibatnya, pastikan masalah tersebut benar-benar masalah anak, bukan masalah orang tua apalagi masalah tetangga atau pihak ketiga. Jangan sampai orang tua bermasalah dengan tetangga atau mertua tetapi anak-anak ikut merasakan terkena batunya.

Jangan biasakan men-take over masalah anak, tapi justru sebaliknya libatkan anak dalam merencanakan solusinya dan membuat prioritasnya. Misalnya, bagaimana cara menyusun plan A, plan B atau contingensi plan jika plan A dan B gagal dieksekusi. Dengan demikian anak-anak akan terlatih mengatur masalah dengan baik, menyelesaikan satu demi satu, atau menundanya, sehingga tidak harus panik, stres atau pun depresi.

Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari tempat kerja, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apa pun beban yang ada di pundak Anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi. Anjuran tersebut seolah mengajarkan switching otomatis pada beban pikiran kita, saat dari rumah menuju kantor, maupun sepulang dari kantor ke rumah.

Jangan terbiasa membawa masalah pekerjaan pulang ke rumah, demikian sebaliknya jangan pula membawa-bawa masalah rumah ke kantor/perusahaan. Memang terkadang agak susah, tapi secara bertahap cobalah dan cobalah, pasti bisa.

Latihan yang sama layak diberikan pada anak-anak kita agar terbiasa menikmati hidup dengan beban berat, masalah kehidupan yang ruwet dan complicated. Masalah di lapangan yang harus dihadapi, dilakoni dan dinikmati bukan hanya masalah pelajaran atau ulangan semesteran di bangku sekolah atau kuliah. Meski demikian tidak boleh lalu mengabaikan prestasi akademik, paling tidak nilai raportnya harus meraih 3 besar, dan hafalan Al-Qur’an minimal 2 juz.

Sengaja saya sering traveling bersama istri beberapa hari, dengan meninggalkan anak-anak di rumah, tanpa pembantu tanpa sanak saudara tua. Dengan maksud melatih anak-anak mandiri mengatur sendiri kebutuhannya, menjaga tertib ibadahnya dan menjaga rumahnya.

Ketika di sekolah saya arahkan mereka untuk mandiri dalam belajar dan praktikum, mampu menyelesaikan tugas sekolah/kuliah dan ujiannya dengan prestasi baik. Selektif memilih teman dekat karena tidak semua teman bisa dijadikan sahabat.

Demikian juga kami pastikan kemandiriannya berkendara dari rumah ke sekolah atau tempat kuliah. Kompetensi anak-anak mesti standar, harus bisa naik sepeda, piawai naik sepeda motor dan bisa setir mobil sendiri, berlaku bagi laki-laki maupun wanita. Kelihatannya sepele, tapi di balik itu semua anak-anak akan belajar menghadapi aneka masalah, misalnya hujan-panas, kemacetan lalu-lintas, motornya mogok, bannya kempes, rantai sepedanya lepas, ‘dihukum’ karena terlambat masuk kuliah.

Juga pengalaman mengatasi masalah berat seperti kecelakaan lalu-lintas di jalanan. Latihan tahan banting ini tak bisa dilepaskan dari teladan ibunya yang terbiasa naik sepeda, sepeda motor, setir mobil bahkan mobil besar gigi manual Land Cruisser 4800 cc. Dan saya sendiri juga terbiasa naik kendaraan seadanya, mobil sendiri, taksi, angkot, sepeda-motor bahkan ojek/gojek pun jadi.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment