Hamengkubuwono X, Teguh Pendirian dan Agamis

Hamengkubuwono X, Teguh Pendirian dan Agamis

Sri Sultan Hamengkubuwono X
Sri Sultan Hamengkubuwono X speaking in a hearing with House Commission VI, RI Jakarta, Wednesday (19/01) In a meeting to discuss about trade and investment in the region. JG Photo/ Yudhi sukma wijaya Sri Sultan Hamengku Buwono X berbicara dalam rapat dengar pendapat dengan komisi VI DPR, RI Jakarta, Rabu (19/01) Dalam rapat tersebut membahas tentang perdagangan dan investasi di daerah.

Suaramuslim.net – Sebagai tokoh nasional yang memiliki pengaruh cukup besar di Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono X ikut berpartisipasi  dalam kegiatan sosial dan politik namun mengambil jalan netral saat berada di pusaran politik pemerintahan. Berikut ulasan tentang tokoh kita yang satu ini.

Sebagaimana dilansir merdeka.com, Sri Sultan juga pernah aktif dalam kepengurusan Partai Golongan Karya, ia menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar. Namun, dirinya harus rela untuk melepaskan jabatan di partai politik karena hal ini berkaitan dengan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta yang telah disahkan pada tahun 2012 lalu. Salah satu aturan yang telah ditetapkan pada Undang-undang itu adalah melarang Gubernur yang dijabat oleh Sri Sultan untuk ikut dan terjun langsung di dunia politik praktis.

Sri Sultan bukan hanya dikenal sebagai sosok yang netral di antara berbagai kepentingan partai politik dan pemerintah tetapi juga memiliki impian kebhinekaan yang terus-menerus digaungkan sehingga Sultan dianggap sebagai pertimbangan saat dirinya menjadi pembicara di seminar-seminar kebangsaan.

Konsep Kepimipinan Hamengkubuwono X

Pada waktu Sri Sultan HB X naik tahta atau jumenengan dalem (7 Maret 1989), dalam pidatonya, dia menyampaikan 5 tekad dasar Sri Sultan HB X. Pertama, untuk tidak mempunyai prasangka, rasa iri dan dengki serta untuk tetap hangrengkuh siapapun, baik terhadap mereka yang senang maupun yang tidak senang, atau bahkan juga terhadap yang menaruh rasa benci sekalipun. Kedua, untuk lebih banyak memberi daripada menerima. Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran negara. Keempat, untuk berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah memang benar-benar salah. Kelima, untuk tidak memiliki ambisi apa pun, selain berusaha hanya bagi kesejahteraan rakyat.

Tolak Jabatan Seumur Hidup

Sebagaimana dilansir pada Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 6 September 1998 lalu yang menorehkan sebuah judul berita ”Sultan Tolak Gubernur Seumur Hidup: DPRD DIY Tak Perlu Lagi Konsultasi ke Jakarta.” Artinya, selang 9 tahun setelah penegasan itu, HB X tetap konsisten.

Ketegasan itu tidak lepas dari semangat reformasi pada masa itu. Sosiolog Selo Soemardjan mengatakan bahwa HB X adalah sosok pemimpin yang berani melawan tradisi kepemimpinan Orde Baru. Pada waktu Soeharto masih berkuasa, HB X menyatakan diri mendukung gerakan reformasi. Ketika Soeharto berkeinginan menjadi penguasa kekal, HB X menolak gagasan tentang pemimpin seumur hidup.

Laku Puasa untuk Reformasi

Dalam buku ”Meneguhkan Tahta untuk Rakyat” diceritakan bahwa Sri Sultan HB X mengatakan, ”Jika pemimpin tak benar, kewajiban saya adalah untuk mengingatkan. Karena memang kabangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh).” Entah kebetulan atau tidak, tepat sebulan setelah masa puasa beliau berakhir (19 April – 19 Mei 1998) dan setelah munculnya maklumat bersama HB X dan Paku Alam VIII, Soeharto tumbang.

Mengenai runtuhnya rezim Orde Baru itu, HB X berkomentar, ”Yen wis ana laron ewon-ewon ngrubung omah tawon kembar, bakal ana penggede ditinggal nagane.” Artinya, kalau sudah ada gerakan massa rakyat (laron ewon-ewon) di alun-alun kraton Jogja yang memiliki dua pohon beringin (omah tawon kembar), maka akan ada pemimpin besar lengser (ana penggede ditinggal nagane). Kenyataannya memang demikian, setelah pisowanan ageng di Jogja, Soeharto pun turun tahta.

Jadi, kecerdasan spiritual merupakan ciri khas kepemimpinan para Sultan di Jogja. Visi-visi, kebijakan-kebijakan, dan pengambilan keputusan-keputusan merupakan hasil pergumulan rohani yang dalam. Kiranya, pemimpin Jogja dan Indonesia masa depan juga memperhatikan aspek spiritual ini. Tidak hanya mengedepankan pemikiran egoistik dan primordialistik, kepentingan politis, dan keuntungan ekonomi. Pemimpin harus mencari kehendak Tuhan sebelum memutuskan sesuatu demi kebaikan segenap umat. (yet/smn)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment