KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara Benteng Agama (1)

KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara Benteng Agama (1)

KH. Hasyim Asy’ari Ulama Nusantara Benteng Agama

Suaramuslim.net – Dalam kegiatan ISF (kegiatan dwi pekanan INSIST (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) 28 April 2018 ini, saya berkesempatan untuk mendengarakan Kholili Hasib, M.Ud. yang menyajikan makalah dengan judul KH. Hasyim Asy’ari dan Isu-Isu Pemikiran Aswaja.

Pembahasan tentang Mbah Hasyim -sapaan akrab beliau di Jawa- sangat penting mengingat posisi beliau sebagai salah satu ulama besar Nusantara merespon zaman dengan gigih melawan kemunculan dan perkembangan aliran-aliran menyimpang pada masanya yang ternyata masih hidup hingga saat ini.

Membaca kitab-kitab Mbah Hasyim memberi pelajaran penting tentang kelurusan aqidah, ketegasan, keteguhan, dan kegigihan beliau menjaga Islam di Nusantara.

Sejak masuknya Islam ke Nusantara, hingga zaman KH. Hasyim Asy’ari, Islam yang berkembang adalah ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Aswaja adalah arus utama umat Islam di Indonesia.

Apakah Aswaja itu? Dalam kitab Ziyadat al-Ta’liqat, Mbah Hasyim menyatakan, “ahlussunnah wal jamaah adalah mereka yang ahli tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka adalah orang yang mendapatkan petunjuk, yang berpegang kepada sunnah Nabi Muhammad saw. dan para khulafaur rasyidun. Mereka kelompok selamat yang saat ini terkumpul dalam empat madzhab: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

Corak beragama umat Islam di Indonesia

Dalam bidang fiqh, umat Islam di Indonesia mengikuti salah satu madzhab yang empat yaitu madzhab Syafi’i, dalam aqidah mengikuti teologi Asy’ari, dalam tasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali.

Namun sejak tahun 1330 H, muncul pemikiran-pemikiran dan aliran baru yang bertentangan dengan arus utama Muslim Jawa kala itu, antara lain pemikiran kelompok yang mengaku sebagai pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab yang kerap mengkafirkan umat Islam, aliran Syiah Rafidhah yang mencaci para sahabat Nabi, dan aliran tasawuf menyimpang yang menganut pemikiran manunggaling kawulo gusti. Hal ini dinyatakan oleh Mbah Hasyim dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pada masa itu, di Jawa -maksudnya Indonesia- telah seruan tidak taklid madzhab. Walaupun hanya riak-riak kecil, propaganda asal Mesir ini tidak dibiarkan begitu saja. KH. Hasyim Asy’ari menyeru umat untuk tetap berpegang teguh kepada madzhab.

Bagi Mbah Hasyim,  madzhab adalah pedoman orang awam agar tidak keliru dalam beragama. Tanpa madzhab, orang awam akan menduga-duga, membuat keputusan hukum sendiri, padahal ilmunya belumlah cukup untuk memahami dalil naqli dan istinbath (menggali hukum).

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah tidak dapat dipahami tanpa bekal ilmu yang cukup. Suatu ayat dan hadits tidak dapat serta-merta diamalkan dengan membaca dzhahirnya saja. Dibutuhkan seperangkat ilmu yang rumit untuk memahami nash. Oleh sebab itu para ulama senantiasa mengingatkan umat untuk selalu bertanya kepada ahlinya sebelum beramal.

Dalam kitab at-Tibyan, dengan tegas dan terang Mbah Hasyim menegaskan bahwa umat Islam telah sepakat beragama sesuai tuntunan para salafush shalih dari generasi tabi’in. Mereka memperoleh ajaran agama langsung dari para sahabat Rasulullah saw. madzhab yang empat lahir pada generasi tabi’in. Sanadnya tidak diragukan. Adapun gerakan anti-madzhab tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam kecuali pada masa itu saja.

Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk mengikuti golongan mayoritas umat sebab umat Rasulullah saw. tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan. Ini nubuat Rasulullah. Dari zaman ke zaman, empat madzhab selalu mayoritas.

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan, “Kebanyakan  mereka adalah ahli madzhab empat. Imam Bukhari adalah pengikut Imam syafi’i dari jalur al-Hamidi, al-Za’farani dan karabisi. Begitu juga dengan Ibnu Khuzaiman dan al-Nasa’i. Imam Junaid mengikuti madzhab Imam Tsauri. Imam Syibli mengikuti Imam Malik, al-Muhasibi mengikuti Imam Syafi’i, Imam jariri mengikut madzhab Imam Hanafi, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti Imam Hanbali, Syadzili mengikuti Imam Malik.” Demikianlah, ulama-ulama besar dari zaman ke zaman adalah pengikut salah satu madzhab yang empat.

Kholili Hasib, M.Ud. juga menambahkan upaya Mbah Hasyim mempertahankan madzhab yang sudah ada dapat ditafsirkan sebagai upaya menghindari konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

Pengamalan agama yang berbeda dengan mayoritas umat merupakan isu sensitif. Tidak mustahil, perbedaan apalagi konfrontasi dari aliran anti-mazhab akan menyulut api perpecahan. Hal ini tentu sangat kontraproduktif dengan tujuan dakwah Islam.

KH. Hasyim Asy’ari juga mengingatkan untuk tidak mengikuti aliran Syiah Rafidhah yang mencaci maki bahkan mengkafirkan para sahabat Rasulullah. Ini menunjukkan, pada masa itu sudah ada aliran Syiah di Indonesia. Mbah Hasyim mengutip penjelasan Imam Qadhi Iyadh tentang hadits orang yang mencela sahabat.

Menurut Imam Qadhi Iyadh, umat Islam tidak boleh shalat dan menikah dengan para pencela sahabat sebab hakikatnya mereka telah menyakiti hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lanjut ke artikel kedua “Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara Benteng Agama (2)”

Kontributor: Wahyudi Husain
Editor: Oki Aryono

*Staf Pengajar Pesantren At-Taqwa Depok

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment