Hebatnya sang kekasih Allah: Renungan maulid Nabi dalam sketsa wahyu

Hebatnya sang kekasih Allah: Renungan maulid Nabi dalam sketsa wahyu

Pengorbanan Nabi Muhammad pada Umatnya
Liontin hati bertuliskan kaligrafi kata Muhammad. (Foot: Study.com)

Suaramuslim.net – “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Terjemah surat Ali Imran 164).

Adakah karunia Allah yang lebih besar dari kedatangan Sang Kekasih yang terpilih, Muhammad shallallahu alaihi wasallam?

Bisakah Anda merasakan nikmat iman tanpa karunia kehadiran Sang Kekasih pembawa berita keimanan?

Bergembira dengan kelahiran Sang Kekasih, adalah wujud ekpresi akan karunia Allah kepada orang beriman!

Bagaimana tidak bergembira dengan kelahiran Sang Rasul, sedangkan beliau adalah sosok yang hebat di mata Allah dan mahkluk lainnya.

Inilah beberapa kehebatan yang diberikan Allah kepada Sang Rasul-Nya

Sebagaimana kita tahu Maulid Nabi itu tanggal 12 Rabiul Awwal tahun Gajah, demikian yang populer dari riwayat Ibnu Ishaq. Padahal ada yang berpendapat tanggal 9, adapula yang mengatakan tanggal 8, bahkan ada yang mengatakan tanggal 2.

Tahun kelahirannya pun para ulama berbeda pendapat. Ibnu Abbas mengatakan beliau lahir di tahun Gajah (570 Masehi) ini yang umum dipahami masyarakat. Namun ada yang mengatakan 15 tahun sebelum tahun Gajah dan ada pula yang mengatakan beberapa tahun setelah tahun Gajah.

Akan tetapi terkait bulan kelahiran dan hari kelahirannya, para ulama sepakat, yaitu Rabiul Awwal dan hari Senin. Padahal bulan dan hari tersebut tidak populer di kalangan bangsa Arab, mengapa Rasullah lahir di bulan dan hari tersebut?

Itu adalah pertanyaan dari Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani. Di antara 12 bulan ada bulan Muharram yang suci dan lagi banyak kejadian dari sejarah para Nabi di bulan itu. Ada juga bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Ramadhan, Syawwal, yang kesemua bulan itu adalah suci dan sangat masyhur di kalangan bangsa Arab, namun kenapa beliau shallallahu alaihi wasallam tidak lahir di bulan-bulan itu?

Demikian pula kenapa Nabi tidak lahir di hari Jumat yang sayyidul ayyam/tuan para hari atau hari Sabat dan Ahad atau Rabu yang sangat popular dan dimuliakan di kalangan orang Arab?

Jawabannya adalah bahwa itu semua ditujukan agar kemuliaan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersifat khusus tanpa terpengaruh oleh bulan dan hari. Jangan sampai ada persepsi jika Rasulullah lahir di bulan Muharram atau bulan suci lainnya akan menjadi mulai karena bulan-bulan itu.

Biarkan bulan dan hari yang mengikuti dan karena kemulian Nabi, bukan sebaliknya. Itulah kurang lebih yang dikatakan Dr. Sayyid Muhammad.

Betapa hebat Rasulullah sebagai kekasih Allah, sehingga kelahirannya pun dipilihkan waktu yang tepat agar kemuliaannya menjadi khusus.

Kehebatan Rasulullah lainnya sebagai kekasih-Nya adalah ketika beliau dihina oleh pamannya sendiri Abu Lahab, justru yang murka adalah Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Pada suatu hari Rasulullah keluar (dari rumahnya) lalu naik ke bukit dan berseru: “Ya Shabaahaah (kata panggilan umum), wahai saudara-saudaraku datanglah!” Maka berdatanganlah orang-orang Quraisy.

Kemudian Nabi bertanya kepada mereka: “Bagaimana pendapatmu jika aku mengatakan bahwa musuh akan menyerbu kalian di waktu Subuh atau Ashar, apakah kalian mempercayai aku?

Mereka menjawab: “Ya, kami percaya”, lalu nabi bersabda, “(Apakah kalian juga percaya jika) aku memberi peringatan bahwa keadaan kalian ini akan membawa pada malapetaka dan siksa yang berat?”

Mereka pun diam tidak menjawab. Tiba-tiba Abu Lahab berkata: “Ya Muhammad, apakah hanya itu saja engkau mengumpulkan kami? Sunggguh celaka engkau!” (Seraya tangannya menunjuk wajah Nabi).

Melihat kekasih-Nya, dituding-tuding dan dicaci-maki seperti itu, maka Allah mengadakan pembelaan kepada kekasih-Nya dengan firman- Nya: “Tabbat yadaa Abi Lahabin wa tabba… Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan dia telah binasa.” (Q.S. Al-Lahab, seperti yang ditulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya).

Tidak hanya sampai di situ, Allah pun menghinakan kematian Abu Lahab di dunia.

Konon, Abu Lahab meninggal pada tahun kedua Hijriyah setelah perang Badar, karena diserang penyakit lepra ganas. Teman-temannya takut tertulari, maka mereka enggan menguburkannya, tetapi setelah tiga hari mereka terpaksa menggali kubur lalu menyeret jasadnya dengan kayu panjang ke dalamnya, kemudian melempari batu dan tanah hingga menimbun jasadnya.

Perhatikanlah azab Allah bagi Abu Lahab yang telah menghina Nabi dan ajarannya. Namun ternyata Allah masih memberikan rahmat kepadanya, dengan memberikan keringanan siksa.

Dalam suatu riwayat di Shahih Al-Bukhari (dinukil pula oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari, Abdur Razzaq dalam Al Mushonnif, Ibnu Katsir dalam As Siroh An Nabawiyyah dari Al Bidayah) setiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya karena ia sangat bergembira dengan kelahiran keponakannya, Muhammad.

Begitu gembiranya sehingga ia membebaskan budak perempuannya yang bernama Tsuwaibah ketika budak tersebut menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Nabi.

Subhanallah! Lihatlah, manusia sekafir Abu Lahab yang seluruh hidupnya selalu mencela Nabi karena begitu membencinya, bahkan namanya diabadikan di Al-Qur’an, sebagai nama yang penuh kebinasaan karena laknat Allah kepadanya. Namun, karena bergembira di saat kelahiran Al Musthofa shallallahu alaihi wasallam, Allah mengapresiasinya dengan meringankan siksaannya setiap hari tersebut.

Lalu, bagaimanakah dengan hamba-Nya yang sepanjang usia dan hidupnya selalu ada cinta kepada Al Musthofa? Bagaimana pula dengan hamba-Nya yang di hatinya tidak ada sekecilpun kebencian kepada Nabi?

Sungguh, Allah akan lebih besar penghargaan-Nya dan pahala-Nya kepada hamba yang selalu mencintai-Nya dalam seluruh hidup mereka.

Dalam hal ini Al Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin Ad Dimasyqiy berkata dalam sya’ir indahnya:

Jika orang kafir ini saja telah tertulis celaan baginya
Dengan tabbat yadaahu, celakalah kedua tangannya
Di dalam neraka ia kekal selamanya
Ada riwayat bahwa setiap hari Senin selamanya
Diringankan siksaan baginya
Karena kelahiran Ahmad ia bergembira
Maka bagaimanakah perkiraannya dengan hamba yang sepanjang usia
Dengan Ahmad ia selalu bergembira
Dan matipun ia bertauhid kepada-Nya

(Haulal ihtifal bi dzikro al Maulid an Nabi asy Syarif, oleh As Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani).

Allah akan menghargai manusia-manusia yang beriman dan selalu bergembira dengan kelahiran Nabi-Nya, karena hakikatnya, bergembira dengan kelahiran Nabi, sama saja ia telah bergembira dengan kelahiran Islam di dunia ini.

Hati siapa yang tidak bergetar dengan kelahiran al Mustofa? Karena kelahiran manusia terbaik itu telah turut menggetarkan istana Kisra dan empat belas balkonnya runtuh serta air danaunya meluap, bahkan api kerajaan Persia menjadi padam, padahal sebelumnya selama seribu tahun lebih tidak pernah padam.

Kelahirannya juga ikut menggetarkan hati orang-orang Yahudi Yatsrib (yang jarak dengan kota Mekah 480 km), yang berharap Nabi terakhir berasal dari golongannya.

Diriwayatkan dari Hassan bin Tsabit, ia bercerita, “Ketika aku masih kecil dan beranjak dewasa, pada waktu aku berumur 7 atau 8 tahun, tiba-tiba di Yatsrib ada seorang Yahudi yang berteriak kepada kami, ”Wahai para pemuka Yahudi!” Mereka semua berkumpul dan berkata, “Ada apa dengan kamu?” Orang Yahudi itu berkata, “Telah nampak bintang Ahmad yang dilahirkan malam ini.”

Sungguh kelahirannya telah menjadi tonggak perubahan ke arah yang lebih baik, kelahirannya telah menjadi sumber munculnya cahaya hidayah bagi kaum jahiliyah yang bodoh itu.

Kelahirannya memang selalu dinanti oleh umat ini, karena lewat dialah kebahagiaan dunia dan akhirat akan didapat. Maka apakah salah, kalau dengan kelahirannya kita bergembira? Apakah salah dengan kelahirannya kita memperingatinya?

Sungguh, tidak ada yang salah. Yang salah adalah Abu Lahab dengan kegembiraannya yang pertama kemudian tidak dilanjutkan dengan kegembiraan yang kedua yaitu gembira dengan risalah yang dibawanya.

Hati manusia tidaklah lebih keras dari istana dan balkon-balkon kerajaan Kisra. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Zoroaster di Persia.

Seharusnya manusia dengan hatinya yang lembut dan sejuk tersebut dapat menerima dan bergembira dengan kelahiran Rasulullah. Seharusnya pula setiap manusia dapat mengukir kecintaan kepada Nabi di hatinya yang nantinya akan terwujud dalam perilakunya.

Sebagaimana Allah telah mengukir nama Nabi di tiang ‘Arsy-Nya dan juga diukir di pintu-pintu, daun-daun dan kemah-kemah yang ada di surga.

Sungguh hanya iblis dan pengikut-pengikutnya yang tidak bergembira dan menunggu kelahiran kekasih kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam di dunia ini.

Allah memberikan kepadanya fasilitas untuk dapat memohonkan ampunan atas dosa umatnya

Allah berfirman dalam surat An Nisa ayat 64.

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Renungkanlah! Ayat tersebut merupakan kemuliaan umat Nabi Muhammad di masa hidup beliau. Setiap waktu sahabat-sahabat beliau yang punya dosa dapat mendatanginya, memohon ampunan kepada Allah dan Nabi pun membantu memohonkan ampunan atas dosa mereka. Sungguh bahagianya mereka yang hidup di masa beliau.

Namun bagaimana dengan umatnya yang hidup setelah beliau tiada? Dapatkah Nabi memohonkan ampunan atas dosa merea kepada Allah?

Kiranya kisah di bawah ini yang sangat populer di kalangan pakar tafsir yang selalu dicantumkan ketika menafsirkan Q.S. An Nisa: 64 tersebut dapat menjadi jawaban yang melegakan seluruh umat Islam.

Al Imam Al Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir mengatakan, ada sekelompok ulama, di antaranya Syekh Abu Manshur Al Shabbagh dalam kitabnya, Asy Syamil, mengenai, “Hikayat yang Terkenal” dari Al ‘Utbi, mengatakan:

“Ketika aku duduk dekat kuburan Nabi Muhammad, tiba-tiba datang seorang Arab (Badui) yang berkata, “Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepadamu, wahai Rasul Allah. Aku pernah mendengar Allah berfirman, “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya (berdosa) datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentu mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” Sekarang sungguh aku telah datang kepadamu, wahai Nabi seraya memohon ampunan dosaku dan memohon syafa’at dengan perantara kemuliaanmu (untuk) menuju Tuhanku.”

Setelah itu, dia bersyair:

Wahai sebaik-baik orang yang terkubur di lembah yang aku agungkan ini
Betapa semerbaknya lembah dan bukit ini karena keagungannya
Diriku aku tebuskan untuk engkau yang menempati kuburan ini
Padanya terdapat kesucian, kedermawanan dan kemuliaan

Orang Arab badui itu lalu pergi. Dan ketika aku tertidur, aku bermimpi melihat Nabi Muhammad.

Beliau bersabda, “Temuilah orang Arab badui itu dan beritakan kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”

Kisah itu disebutkan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya yang terkenal Al Iidhah, pada bab VI halaman 498.

Al Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir juga meriwayatkan dalam kitab tafsirnya khususnya ketika menafsirkan ayat wa lau annahum izh zhalamu anfusahum.

Kisah itu bahkan diriwayatkan juga oleh Syekh Abu Muhammad Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni III: 556.

Juga diriwayatkan oleh Syekh Abu Al Faraj bin Qudamah dalam Al Syarh Al Kabir III: 495.

Demikian pula diriwayatkan oleh Syekh Manshur bin Yunus Al Buuti dalam kitabnya yang terkenal, Kasysyaf Al Qina’ V halaman 30, yang termasuk kitab paling terkenal di kalangan Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Demikian pula Imam Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut, menyebutkan kisah tadi.

Terlepas apakah kisah tersebut shahih atau dhaif sanadnya, namun apakah mungkin ulama-ulama besar dan populer tersebut akan menyesatkan umat Islam dengan kisah itu?

Lebih-lebih, sya’ir yang diungkap badui tersebut ternyata tertulis di tiang bagian muka makam Rasulullah. Anehnya lagi tulisan tersebut terlihat dari kejauhan, aapalagi dari dekat sejak ratusan tahun yang lalu hingga entah sampai kapan.

Betapa hebatnya beliau sebagai kekasih Allah sehingga diberi fasilitas seperti dalam ayat tersebut.

Mungkin ada yang berkata bahwa Nabi telah mati dan tiada, dan tentu perkataan itu tidak sopan, mengingat ada ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 169 yang artinya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki.”

Perhatikan, terhadap para mujahid yang telah gugur saja kita dilarang untuk mengatakannya mati, apalagi kepada diri Rasulullah yang karenanya para mujahid itu ada, dan karenanya pula syariat tentang jihad di jalan Allah tegak. Mana mungkin perkataan itu muncul dari orang yang berakal? Tentu tidak!

Ingatlah ketika seseorang membaca doa tahiyyat dalam shalat, di antaranya ada kalimat, “As salaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullohi wa barakatuh…”

Maka kalimat Ka/Engkau adalah kata ganti orang kedua, artinya orang yang diajak bicara ada di depannya. Dan Ka/Engkau itu yang dimaksud adalah Rasulullah, artinya kita memberikan salam kepada Rasulullah seolah beliau hidup dan ada di depan kita. Dan itu dilakukan oleh seorang muslim 17 kali dalam sehari, seolah berkomunikasi intensif dengan Nabi juga 17 kali.

Subhanallah… Rasulullah hidup! Hidup Rasulullah!

Dalam sebuah hadis Rasulullah pernah bersabda, “Hidupku menjadi kebaikan bagi kalian dan matiku pun menjadi kebaikan bagi kalian. Kalian berbicara dan kalianpun dibicarakan. Dilaporkan kepadaku seluruh amalan kalian, jika aku menemukan amalan kalian baik maka aku memuji Allah, dan jika aku menemukan amalan kalian buruk maka aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.” (Al Bazzar, dishahihkan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Al Zawaid).

Demikian pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Nawawi menyebutkan isnadnya shahih dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku (agar aku hidup) sehingga aku dapat menjawab salamnya.”

Begitu hebatnya sang kekasih Allah tersebut, sehingga Allah meletakkannya sebagai media untuk mendapatnya cinta-Nya bagi setiap hamba yang menginginkan cinta-Nya.

Artinya, manusia tidak akan mendapatkan cinta Allah sebelum menempatkan Rasul-Nya di hatinya sebagai cintanya yang sejati.

Itulah yang dikatakan Allah dalam surat Ali Imran ayat 31.

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari kehebatan Rasulullah yang dianugerahkan Allah tersebut, maka wajib hukumnya bagi umat Islam untuk menjadikan makhluk terhebat itu yang paling dicintai dalam hidupnya.

Cara yang paling indah untuk mencintai Rasulullah

  1. Menjadikannya teladan yang abadi dalam kehidupan manusia (lihat Al Ahzab: 21), dimulai dari urusan masuk ke wc hingga urusan bagaimana mendirikan sebuah negara. Dari urusan yang menyangkut bagaimana berumah tangga yang baik hingga bagaimana bertetangga yang baik pula.
  2. Mengamalkan syariat Allah dan Rasul-Nya, mulai yang minimal yaitu melakukan yang wajib dan meninggalkan yang haram, hingga yang maksimal, yaitu mengamalkan sunnah-sunnahnya dan menjauhi semua yang makruh, bahkan hingga yang sempurna yaitu mengamalkan nafilah seperti shalat malam dan menjauhi yang mubah yang tidak ada manfaatnya untuk taqorrub kepada Allah.
  3. Selalu lisan ini tidak kering dan bosan untuk bershalawat kepadanya. Satu shalawat yang kita berikan kepada Rasulullah maka sepuluh rahmat yang kita dapatkan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim. Tahukah Anda berapa besar sepuluh rahmat-Nya itu? Jika Anda memiliki anak yang sakit selama seminggu, kemudian sehat setelah itu, apa yang Anda rasakan? Anda pasti bahagia, dan kebahagiaan itu baru secuil dari satu rahmat-Nya!

Diceritakan bahwa ada seorang badui yang bertanya kepada Rasulullah, kapan kiamat?

Rasulullah balik bertanya kepadanya, “Apa yang kamu siapkan menuju kiamat itu?”

Badui itu menjawab, “Tidak banyak yang saya siapkan, baik puasa, shalat dan sedekah saya (biasa-biasa saja), namun saya sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Maka Rasulullah menjawab, “Engkau bersama dengan siapa yang engkau cintai.” (Al-Bukhari dan Muslim).

Wallahu a’lam.

M Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya
(21 Oktober 2021/14 Rabiul Awwal 1443 H)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment