Hukum Merayakan Valentine bagi Orang Islam, MUI Jatim: Haram!

Hukum Merayakan Valentine bagi Orang Islam, MUI Jatim: Haram!

Hukum Merayakan Valentine bagi Orang Islam, MUI Jatim Haram!
Ilustrasi berbagi hadiah.

Suaramuslim.net – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menetapkan keharaman umat Islam mengikuti dan atau berpartisipasi dalam kegiatan perayaan hari Valentine (Valentine’s Day). Bukan hanya itu, membantu dan memfasilitasi penyelenggaraan perayaan hari Valentine adalah juga haram. Berikut fatwa lengkapnya.

Menimbang

  1. Momen perayaan hari Valentine yang biasa dirayakan setiap tanggal 14 Februari telah nyata-nyata mengesankan seolah-olah merupakan hari yang amat penting dan ditunggu-tunggu khususnya oleh kaum muda mudi terutama yang sedang menjalin asmara antar mereka. Terlepas apa pengertian hari Valentine yang sebenarnya, kenyataannya hari ini merupakan kegiatan yang berasal dari tradisi umat agama lain di luar Islam yang biasa dirayakan dengan berbagai cara, seperti tukar-menukar bunga atau cokelat, penyampaian kartu Valentine’s Day, ucapan kasih sayang, bergaul bebas, bermesraan secara terbuka bahkan perzinaan dan perilaku munkar lainnya. Perilaku demikian ternyata telah ditiru dan dirayakan oleh muda mudi umat Islam secara luas, yang pada umumnya dilakukan di tempat-tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel dan lain-lain, sehingga yang terjadi adalah kemaksiatan mulai dosa kecil (shaghair) sampai dosa besar (kabair).
  2. Fenomena tersebut telah menimbulkan keresahan, kebimbangan, dan kegelisahan dari umat Islam sehingga membutuhkan penjelasan terhadap status hukumnya menurut ajaran Islam.
  3. Selain itu, partisipasi dalam perilaku dan kebiasaan penganut agama non Islam (orang kafir) dan orang-orang fasik tak lepas dari sikap kesetujuan (muwafaqah), menaruh simpati (al-mayl), pembenaran dan penyerupaan (tasyabbuh) yang berpotensi melemahkan akidah dan bisa berdampak merendahkan martabat Islam.
  4. Indikasi terjadinya pengikisan keteguhan dan kemantapan dalam menjalankan syariat agama Islam perlu diantisipasi dengan memagari umat Islam dari ancaman pola peniruan terhadap perilaku pelanggaran syariat, bahkan kemurtadan dan kekufuran. Gejala teologis terbuka bagi kemungkinan pindah agama. 

Mengingat

  1. Al-Quran
  • Firman Allah yang menjelaskan bahwa kebenaran tidak mungkin bisa dicapai dengan mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir, oleh karena itu Allah memerintahkan mengikuti syariat-Nya dan melarang mengikuti keinginan orang-orang kafir.

Dan andaikata al-Haq (kebenaran) itu menuruti hawa nafsu mereka, maka langit, bumi, dan semua yang ada di dalamnya pasti hancur. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka al-Qur’an yang menuturkan tentang sejarah mereka tetapi mereka berpaling dari al-Qur’an. (Q.S. al-Mu’minun: 71). 

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama ini, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Jatsiyah: 18).

  • Firman Allah Swt yang melarang mencampuradukkan yang benar (haq) dengan yang batil:

Dan janganlah kamu campur-adukkan yang haq dengan yang bathil dan jangan kamu menyembunyikan yang haq itu (kerasulan Muhammad) sedang kamu mengetahui. (Q.S. al-Baqarah: 42).

  • Firman Allah yang mengingatkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling berkasih sayang dengan yang menentang Allah dan Rasul-Nya:

Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. (Q.S. al-Mujadilah: 22).

  • Firman Allah yang menunjukkan larangan untuk tolong-menolong dalam parbuatan dosa dan pelanggaran:

Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Ma’idah: 2).

  • Firman Allah yang menunjukkan agar mengambil pelajaran dari kisah hidup para rasul Allah:

Sungguh dalam kisah-kisah mereka (para rasul Allah) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal budi. (Q.S. Yusuf: 111).

  • Firman Allah yang menjelaskan dan menunjukkan akan keagungan syi’ar-syi’ar Allah yang menjadi simbol kepatuhan kepada-Nya:

Demikianlah (perintah-perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (rangkaian manasik haji), maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Q.S. al-Hajj: 32).

  • Firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya mempertegas jati diri keislaman dengan menunjukkan identitas muslim yang dengan sendirinya menolak menyerupai identitas agama selain Islam.

Katakanlah (Muhammad), “Wahai ahli Kitab! Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka) “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.” (Q.S. Ali Imran: 64).

  1. Hadis-hadis Rasulullah

Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa yang menyerupakan diri pada suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. (H.R. Abu Dawud, no. 4031). 

Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami. (H.R. al-Turmuzi, no. 5310). 

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw. beliau bersabda: Sungguh kamu benar-benar akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka memasuki lubang biawak pun niscaya kalian ikuti mereka. Kami (sahabat) bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasrani?’ Dia menjawab: Maka siapa lagi? (H.R. al-Bukhari, no 7320). 

Dari Anas bin Malik ia berkata, Nabi Saw. bersabda: “Apabila orang fasik disanjung, maka Tuhan akan murka dan karena itu ‘Arsy bergoncang.” (H.R. Ibn Abi Dunya, Abu Ya’la dan al-Baihaqi).

  1. Kaidah Fiqhiyah

Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.

MEMPERHATIKAN:

  1. Ibnu Hajar al-Haitami

Al-hasil bahwa apabila seseorang (muslim) melakukan hal itu dengan tujuan menyerupai mereka dalam simbol kekafiran, maka kafirlah dia dengan pasti; atau dalam simbol hari raya tanpa memandang kekafirannya, maka ia tidak kafir akan tetapi ia berdosa. Dan apabila ia tidak bertujuan menyerupai mereka sama sekali, maka tidak apa-apa.

Kemudian aku melihat sebagian ulama muta’akhirin mengungkapkan penjelasan yang senada dengan yang telah saya ungkapkan seraya mengatakan, bahwa seburuk-buruk bid’ah yaitu perilaku umat Islam menyamai umat Nasrani (Kristen) pada momen hari raya mereka dengan makan bersama mereka, memberi hadiah kepada mereka dan menerima hadiah dari mereka.

Kebanyakan manusia yang sangat perhatian dengan hal itu adalah masyarakat Mesir padahal Nabi SAW telah bersabda “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia menjadi bagian dari mereka”, bahkan Ibn al-Hajj mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada orang Nasrani sesuatu yang merupakan kemaslahatan bagi hari rayanya, baik berupa daging, lauk pauk dan pakaian, dan umat Islam jangan meminjamkan (kepada non muslim) sesuatu apapun walaupun kendaraan, sebab demikian itu berarti membantu mereka atas kekafiranya, dan wajib atas pemerintah melarang umat Islam melakukan hal di atas.

  1. Pendapat al-Fakr al-Razi

Ketahuilah bahwa orang mukmin menjalin kasih sayang terhadap orang kafir ada tiga kemungkinan.

Pertama orang mukmin itu rela dengan kekafiran orang kafir dan ia mengasihi atas dasar kekafiranya. Demikian ini dilarang, sebab setiap orang yang melakukan hal yang demikian itu berarti membenarkan si kafir dalam agamanya dan membenarkan kekafiran (agama kufur) adalah kufur dan rela dengan kekafiran adalah juga kufur. Jadi suatu hal yang mustahil dia itu tetap sebagai mukmin bersamaan ia menyandang sifat ini.

Kedua pergaulan yang bagus dalam urusan dunia dengan pertimbangan lahiriahnya saja dan hal demikian itu tidak dilarang.

Ketiga yang merupakan tengah-tengah antara dua bagian di atas yaitu mengasihi kaum kafir dengan pengertian condong kepada mereka, membantu dan tolong-menolong, adakalanya atas dasar hubungan kerabat atau perasaan cinta serta tetap meyakini agama dia adalah batil.

Bagaian ketiga ini tidak menyebabkan kekafiran namun demikian juga dilarang, sebab mengasihi dengan pengertian seperti ini berpotensi membawa anggapan bahwa thariqah (jalan) mereka adalah baik dan rela dengan agamanya sedang yang demikian itu dapat mengeluarkan dari agama Islam (kemurtadan).

  1. Pendapat al-Ghazali

Termasuk maksiat badan yaitu berteman dengan pelaku bid’ah dan orang fasik sebab minum arak atau lainnya yaitu permainan-permainan yang diharamkan, apabila pertemanannya bertujuan membuat mereka senang dan terhibur.

  1. Fatwa al-Hai’ah al-Syariyah yang diterbitkan oleh Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’i Mamlakah al-Arabiyah al-Saudiyyah No. 21203 tgl. 23-11 1420 terkait kasus “Idu al-Hubb” Valentine’s Day yang intinya: orang Islam haram merayakan syiar agama non Islam dan diharapkan agar orang Islam tampilkan identitas berbeda dengan pengikut agama lain.

Hari raya kasih sayang (valentine) termasuk jenis hal yang di atas (tasyabbuh), karena ia termasuk hari raya umat Nasrani. Oleh karena itu, tidak halal/tidak boleh bagi orang Islam yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukannya atau mengakuinya atau memberi ucapan selamat, bahkan dia wajib meninggalkan dan menjauhinya.

  1. Keputusan Rapat Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur tanggal 12 Januari 2017.
  2. Pendapat yang berkembang dalam rapat Komisi Fatwa tanggal 19 Januari 2017.
  3. Fatwa MUI Kabupaten Pamekasan tahun 2016 tentang Perayaan Valentine’s Day.

MENETAPKAN: FATWA TENTANG HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE BAGI ORANG ISLAM

Pertama: Ketentuan Umum

  1. Hari Valentine adalah momen hari yang disebutnya sebagai hari Kasih Sayang yang biasa diperingati oleh penganut agama di luar Islam setiap tanggal 14 Februari dengan berbagai bentuk dan cara yang secara riil bertentangan dengan syariat Islam.
  2. Perayaan adalah perasaan senang dan simpati pada suatu momen penting yang diekspresikan dengan berbagai cara mulai sekadar ucapan selamat, pemberian hadiah dan perbuatan serupa sampai meniru terhadap perilaku pemilik hari bersangkutan.

Kedua: Ketentuan Hukum

  1. Mengikuti dan atau berpartisipasi dalam kegiatan perayaan hari Valentine (Valentine’s Day) bagi orang Islam hukumnya haram.
  2. Membantu dan memfasilitasi penyelenggaraan perayaan hari Valentine adalah juga haram. 

Ketiga: Rekomendasi

  1. Umat Islam wajib berusaha menjalankan syariat agamanya secara konsisten sesuai tuntunan yang benar dengan tetap menghormati dan menghargai pihak lain yang berbeda agama dan kepercayaan, agar keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat dipertahankan dengan baik.
  2. Orang tua, pendidik, tokoh agama dan semua pihak dari kaum muslimin wajib memberi bimbingan kepada anggota keluarga, anak didik dan kaum muslimin terutama generasi muda agar tidak ikut serta dalam momen perayaan yang berasal dari agama lain dan bersimpati, menyetujui serta meniru perilaku orang-orang fasik dan orang-orang kafir.
  3. Meminta kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada umat Islam agar dapat menjalankan agamanya secara benar dan konsekuen sehingga tercipta kehidupan umat beragama yang rukun dan damai, serta saling menghargai satu sama lain. 

Keempat: Ketentuan Penutup

  1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika kemudian ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diadakan perbaikan dan penyempurnaan sebagaimana mestinya.
  2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment