IDEAS: 108 lembaga zakat bukan tak berizin tapi tak diberi izin

IDEAS: 108 lembaga zakat bukan tak berizin tapi tak diberi izin

Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono.

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menyoroti rilis Kementerian Agama (Kemenag) tentang “Daftar 108 Lembaga yang Telah Melakukan Pengelolaan Zakat Tanpa Izin Sesuai Regulasi” beberapa waktu lalu.

Dia menilai bahwa yang dilakukan Kemenag ini sebagai langkah kontraproduktif dan bertentangan dengan upaya peningkatan kepercayaan publik kepada lembaga zakat dalam rangka optimalisasi potensi dana zakat nasional untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan.

“Rilis 108 lembaga ini tidak berizin adalah kampanye negatif bagi lembaga amil zakat (LAZ) yang merupakan bentukan masyarakat sipil. Padahal banyak lembaga zakat yang ada di dalam daftar tersebut tercatat sudah lama berdiri, bahkan jauh sebelum lahirnya UU No. 23/2011 yang menjadi rezim baru perizinan LAZ sejak 2016,” Kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Senin (06/02/2023).

Yusuf menambahkan lembaga tersebut umumnya sudah dikenal luas masyarakat, dipercaya dan memiliki kredibilitas yang tinggi, yang terbukti dari kepercayaan muzakki dan penghimpunan dana mereka yang konsisten, bahkan meningkat dari waktu ke waktu, terlepas dari soal perizinan.

“Rilis 108 lembaga zakat tidak berizin ini justru memperlihatkan ketidakpekaan pemerintah pada realitas sosial-keagamaan yang ada bahwa masyarakat sudah memiliki lembaga zakat yang mereka percaya untuk mengelola dana zakat mereka sejak lama,” ujar Yusuf.

Bagi masyarakat muslim Indonesia, zakat adalah kewajiban agama yang telah menjadi kultur. Dan dalam sejarah yang panjang, sejak abad ke-16 hingga saat ini, partisipasi masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat dan filantropi Islam di Indonesia sangat luas dan masif.

“Tugas pemerintah adalah memfasilitasi agar lembaga zakat bentukan masyarakat ini dapat memiliki izin, karena pada prinsipnya mereka membantu pelaksanaan ibadah masyarakat, hak yang dijamin oleh konstitusi,” papar Yusuf.

Menurut Yusuf menjaga eksistensi LAZ yang dibentuk oleh masyarakat sejak lama dan memiliki rekam jejak yang kuat dalam melayani masyarakat menunaikan zakat, adalah penghormatan dan pengamalan konstitusi.

“Ketika pemerintah secara gegabah merilis daftar 108 lembaga zakat tidak berizin, menuduhnya beroperasi tanpa tata kelola yang baik dan meminta masyarakat tidak lagi berzakat ke mereka, pemerintah merusak reputasi lembaga-lembaga tersebut dan dapat dianggap melanggar hak konstitusional masyarakat, yaitu kebebasan menyalurkan zakat kepada lembaga yang mereka percayai,” ungkap Yusuf.

Dalam kasus 108 lembaga tidak berizin ini, sebagian mereka bukan tidak mau mengurus perizinan, justru mereka sangat ingin mendapatkan izin operasional resmi dari pemerintah, namun mereka tidak pernah diberikan izin tersebut.

“Secara singkat, mereka bukan ‘lembaga zakat tidak berizin’, namun ‘lembaga zakat yang tidak diberi izin’,” ucap Yusuf.

Data dari FOZ (Forum Zakat) mengkonfirmasi hal ini. Dari penelusuran dan konfirmasi FOZ terhadap 108 lembaga tidak berizin ini, ternyata 26 persen dari mereka sedang mengurus proses perizinan namun belum juga mendapatkan persetujuan meski sudah lama mengajukan dan sudah memenuhi semua persyaratan, bahkan 17 persen dari mereka sudah memiliki perizinan, dan 6 persen berstatus UPZ dari BAZNAS. Hanya 51 persen dari 108 lembaga ini yang benar-benar belum memiliki izin dan belum mengurus proses perizinan.

“Fakta ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam ketentuan dan proses perizinan LAZ sehingga banyak di antara mereka yang tidak kunjung mendapat izin dan sebagian besar malah akhirnya enggan mengurus perizinan karena merasa yakin akan dipersulit atau tidak akan diberikan izin,” terang Yusuf.

Rekomendasi BAZNAS jadi syarat mematikan bagi LAZ untuk dapat legalitas

Yusuf menilai syarat mendapatkan rekomendasi BAZNAS menjadi syarat yang tidak lazim dan sangat mematikan bagi LAZ. Hal ini karena BAZNAS juga menyandang status sebagai operator zakat sebagaimana LAZ.

Yusuf menambahkan bahwa dengan adanya conflict of interest yang sangat jelas ini, BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaingnya. Hal tersebut sejalan dengan temuan Ombusdman RI (Februari 2021).

Lebih jauh, untuk mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS, LAZ harus memenuhi persyaratan yang bahkan lebih ketat dari syarat perizinan LAZ sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 23/2011.

“Syarat mendapatkan rekomendasi BAZNAS yang paling mematikan bagi LAZ adalah LAZ tidak boleh berbasis atau berafiliasi dengan institusi yang berdasarkan PP No.14/2014 dikategorikan sebagai UPZ BAZNAS (Pasal 53, 54 dan 55),” tutur Yusuf.

Dia menjelaskan bahwa syarat tersebut membuat banyak LAZ, terutama LAZ berbasis korporasi/BUMN, masjid, pesantren dan universitas, menjadi lembaga zakat tak berizin, bukan karena tidak memenuhi persyaratan namun hanya karena tidak mendapat rekomendasi BAZNAS, di mana secara sederhana mereka dikategorikan berbasis di ‘wilayah penghimpunan BAZNAS’ sehingga harus menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat) BAZNAS.

“Hak masyarakat muslim untuk menjalankan amanah dan kepercayaan masyarakat untuk mengelola zakat, dihambat dan dihalangi secara vulgar oleh UU No. 23/2011,” kata Yusuf.

Kehadiran UU No. 23/2011 merubah secara drastis praktik baik dalam pengelolaan zakat di masyarakat yang telah berjalan ratusan tahun.

UU No. 23/2011 nyaris tidak menyisakan ruang pengelolaan zakat yang memadai untuk masyarakat sipil, padahal zakat telah menjadi kultur dan mendorong penguatan masyarakat sipil.

Pemerintah tidak seharusnya memberlakukan ‘pembatasan’ yang dapat menyulitkan pertumbuhan dan eksistensi LAZ. Terpeliharanya LAZ dalam berbagai bentuknya merupakan salah satu perwujudan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.

“Masyarakat harus memiliki kebebasan untuk menyalurkan zakat kepada lembaga amil zakat manapun yang mereka percayai tanpa dibayangi kemungkinan ancaman kriminalisasi terhadap amil yang mengelola dana mereka hanya karena gagal memenuhi syarat perizinan yang tidak lazim,” ujar Yusuf.

Yusuf berharap pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Pemerintah dan Kemenag, sebaiknya segera mengubah dan merevisi KMA No. 333/2015 agar pelaksanaan UU No. 23/2011 terkait dengan syarat pendirian LAZ bersifat terbuka, akuntabel dan melindungi kebebasan warga negara.

Sebagaimana Putusan MK No. 86/PUU-X/2012, syarat yang harus dipenuhi setiap lembaga pengelola zakat seharusnya adalah bergerak di bidang keagamaan Islam, bersifat nirlaba, memiliki rencana/program kerja pendayagunaan zakat, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan rencana/program kerjanya.

Tidak selayaknya pemerintah membatasi dan kini bahkan melakukan kampanye negatif terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masyarakat.

“Ke depan, pemerintah seharusnya segera mencabut rilis ‘108 lembaga zakat tidak berizin’ dan merevisi syarat perizinan LAZ yang tidak lazim yang selama ini menghambat LAZ untuk mendapatkan legalitas perizinan.” tutup Yusuf.

Kontributor: Anwar
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment