Ilmu Al Quran dan Ilmu Pengetahuan (1)

Ilmu Al Quran dan Ilmu Pengetahuan (1)

Ilmu Al Quran dan Ilmu Pengetahuan (1)
Huruf-huruf dalam Al Quran. (Gambar: quranqarionline.com)

Suaramuslim.net – Al Quran sebagai suatu mukjizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, amat dicintai oleh kaum Muslimin, karena fashahah serta balagahnya dan sebagai sumber petunjuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini terbukti dengan perhatian yang amat besar terhadap pemeliharaannya semenjak turunnya di masa Rasulullah sampai tersusunnya sebagai suatu mushaf di masa Utsman bin Affan.

Kemudian sesudah Utsman, mereka memperbaiki tulisannya dan menambah harakat dan titik pada huruf-hurufnya, agar mudah dibaca umat Islam yang belum mengerti bahasa Arab.

Karena kecintaannya kepada Al Quran, dan untuk membuktikan kebenarannya, umat Islam mengarang dan menerjemahkan bermacam-macam buku ilmu pengetahuan, baik yang mengenai bahasa Arab, syariat, filsafat, dan akhlak, buku ilmiah perpustakaan-perpustakaan Islam di kota-kota yang besar seperti Kairo, Cordova, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan anjuran Al Quran sendiri. Ayat yang mula-mula turun ialah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, yaitu:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu lah yang paling pemurah. Yang telah mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq: 1-5).

Demikian pula ayat-ayat yang lain seperti tersebut dalam surat Az-Zumar ayat 9:

“… Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran.”

Dari surat Al-Mujadalah ayat 11:

“…Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dari orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat.”

Ilmu-ilmu pada masa keemasan Islam dapat digolongkan menjadi empat yaitu:

  1. Ilmu Bahasa Arab
  2. Ilmu Syariat
  3. Sejarah
  4. Al-Hikmah dan Falsafah (ilmu-ilmu selain bahasa dan agama) 

Ilmu Bahasa Arab

Ilmu bahasa ini terdiri dari beberapa ilmu di antaranya ilmu Nahwu, Sharaf, Balagah, Bahasa dan Arudh.

1. Ilmu Nahwu dan Sharaf

Pada mulanya bahasa Arab dapat bertahan dengan kuat terhadap kemunduran yang mulai terasa pada akhir-akhir masa Bani Umayyah, karena tampuk pemerintahan, seperti jabatan panglima-panglima, gubernur-gubernur dan kedudukan-kedudukan penting lainnya masih dipegang oleh orang Arab, yang bahasanya tetap bahasa (fasih) murni lebih lagi mereka amat fanatik terhadap bangsa dan bahasanya.

Di masa itu seseorang pemimpin yang menyimpang dari tata bahasa yang fasih, walaupun sedikit saja sudah dianggap rendah dan tercela. Tiap-tiap pemimpin baik ia pemimpin politik maupun pemimpin perang atau pemimpin sosial, semenjak dari khalifah sampai kepala daerah, adalah orang-orang yang ahli dalam bahasa, cakap berpidato dan dapat mengkritik kasidah-kasidah yang diucapkan di hadapannya.

Kefasihan dan ketinggian mutu bahasa ini bukan saja dimiliki oleh para pemimpin, tetapi juga dimiliki oleh umumnya bangsa Arab. Karena perasaan bangga terhadap keturunan dan nasab serta perasaan bahwa mereka adalah golongan yang tertinggi dan istimewa, sangat mendalam dalam jiwa mereka (meskipun sifat ini bertentangan dengan prinsip agama Islam) sehingga mereka enggan bergaul dengan orang yang bukan bangsa Arab dan merasa rendah bila ikut bekerja bersama-sama orang ajam (bukan bangsa Arab).

Di antara orang-orang Arab itu jarang sekali yang mau bertani, bertukang, beternak, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa Arab dapat terpelihara kemurniannya, karena percakapan-percakapan di antara orang-orang Arab tidak dapat dipengaruhi oleh kelemahan dan kekurangan mutu bahasa yang dipakai sehari-hari oleh orang asing (ajam).

Tetapi sejak berdirinya kerajaan Bani Abbasiyyah boleh dikatakan atas bantuan dan sokongan orang-orang Persia, terutama atas bantuan Abu Muslim Al Khurasani, maka sebagai balas jasa, diserahkanlah kepada mereka beberapa jabatan yang penting dalam negara. Dan dengan berangsur-angsur bertambah banyaklah di antara mereka yang menduduki posisi-posisi yang tinggi seperti menjadi gubernur, panglima dan menteri.

Makin lama bertambah naik nama dan kedudukan mereka, dan dengan sendirinya mengurangi kedudukan orang Arab. Akhirnya tidak sampai satu abad semenjak berdirinya kerajaan Bani Abbasiyyah, semua kedudukan yang penting, kecuali pangkat khalifah, telah dipegang oleh orang Persia.

Oleh karena yang memegang kekuasaan bukan orang Arab lagi, maka hilanglah perasaan bangga terhadap nasab dan keturunan, atau perasaan bahwa mereka adalah golongan yang tinggi dan mulia. Kalau dahulu mereka enggan bekerja sebagai petani, peternak, dan tukang, sekarang mereka telah memasuki semua lapangan. Bahkan banyak di antara wanita Arab yang kawin dengan peranakan Arab-Persia, bahkan ada yang kawin dengan orang-orang Persia sendiri.

Dengan berasimilasinya orang-orang Arab ke dalam masyarakat orang Persia, mulailah bahasa Arab mengalami kemunduran. Apalagi pemimpin-pemimpin yang berkuasa bukan orang Arab, sehingga timbul satu bahasa pasar yang tidak dapat dianggap sebagai bahasa Arab yang murni seperti yang terjadi di Mesir dan Damaskus.

Hal ini menimbulkan kesadaran para ulama dan ahli bahasa Arab, sehingga mereka bangun serentak untuk mempertahankan bahasa Arab dari keruntuhannya. Dengan rusaknya bahasa Arab tentu tidak akan ada lagi yang dapat memahami Al Quranul Karim, sedangkan Al Quran itu adalah kitab suci yang harus selalu dipelihara dan diselidiki isi dan maknanya. Karena itu mereka merasa bahwa di atas pundak mereka terletak kewajiban untuk memelihara Al Quran dengan jalan mempertahankan kemurnian bahasa Arab.

Untuk itu mereka mengarang ilmu Nahwu (Gramatika bahasa Arab) agar bahasa Arab itu dapat dipelajari dengan baik oleh umat yang tidak berbahasa Arab, sehingga mereka terhindar dari kesalahan-kesalahan pengucapan dan dapat membaca dengan fasih.

Ilmu ini telah dirintis penyusunannya, mula-mula oleh Abul Aswad Ad Duali atas nasihat Ali bin Abi Thalib. Kemudian ilmu ini berkembang di Bashrah, dan menjadi luas pembahasannya sehingga banyak ulama atau ahli bahasa yang mengarang kitab-kitab Nahwu itu.

Di antara pengarang kitab-kitab Nahwu itu, adalah Nahwu Ishaq Al Hadhrami yang wafat tahun 117 H, Isa bin Umar yang wafat tahun 149 H, pengarang kitab Al Jammi dan Al-Ikmal: Al-Khalil bin Ahmad, Sibawaihi, Abu Amir bin Al Ala yang wafat tahun 154 H, dan Al Ahfasy, murid Sibawaihi.

Ilmu Nahwu ini berkembang pula di Kufah yang dipelopori oleh Muadz Al-Harra. Abu Jafar Ar Ruasi dan kedua muridnya Al-Kisai dan Al-Farra’, sehingga terjadilah dua aliran dalam ilmu Nahwu ini, yaitu aliran Bashrah dan aliran Kufah. Akhirnya kedua aliran ini bertemu di Baghdad, pusat pemerintahan Abbasiyah, masing-masing dibahas oleh Ibnu Qutaibah dan Hanifah Al-Dinauri.

2. Balagah

Mereka menyusun pula Ilmu Balagah yang mencakup Ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’ untuk menjelaskan keistimewaan dan keindahan susunan bahasa dari segi I’jaz Al Quran. Ilmu ini disusun setelah selesai mengarang Nahwu dan Sharaf.

Kitab yang mula-mula dikarang dalam ilmu Bayan ialah kitab Majazul Quran oleh Ubaidah, murid Al-Khalil. Kemudian disusul oleh beberapa ulama.

Dalam ilmu Ma’ani, kitab I’jazul Quran dikarang oleh Al-Jahiz, dan dalam ilmu Badi’ kitab yang dikarang oleh Ibnu Mu’taz dan Qudamah bin Ja’mar. Kemudian berturut-turut ulama mengarang bermacam-macam kitab dalam ilmu Balagah ini sampai muncul seorang ahli Balagah yang termasyhur, yaitu Abdul Qadir Al-Jurjani yang mengarang kitab Dalailil I’jaz dalam ilmu Ma’ani dan kitab Asrarul Balagah dalam ilmu Bayan, dan Asakkaki yang mengarang kitab Miftahul Ulum yang mencakup segala masalah dalam ilmu Balagah.

3. Ilmu Bahasa

Untuk memelihara pengertian kata-kata dalam Al Quran mereka mengarang kamus bahasa Arab. Pada mulanya kamus-kamus ini hanya merupakan kitab-kitab kecil yang mengupas bermacam-macam kata, seperti kata-kata yang berhubungan dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda. Kemudian muncul Al-Khalil yang mengumpulkan kata-kata bahasa Arab dalam suatu kitab dan menyusunnya berdasarkan huruf-huruf yang dimulainya dengan huruf ع .

Karena itu kitab ini dinamakan “Kitabul Ain.” Kemudian disusun sebuah kamus yang tersusun menurut huruf hijaiyah oleh Abu Bakar bin Duraid yang dinamakan “Al-Jamharah.” Lalu bermacam-macam kamus yang dikarang oleh ahli-ahli bahasa, di antaranya Ash-Shihah yang dikarang oleh Al-Jauhari, Al-Muhkam yang dikarang oleh Ibnu Syayyidih, Al-Muhith yang dikarang oleh Ash-Shabib bin Ibad, An-Nihayah oleh Ibnu Atsir, Lisanul Arab oleh Ibnu Muqarran dan lain-lain sebagainya.

Hadis dan Mushthalah Hadis

Hadis mempunyai nilai yang tinggi sesudah Al Quranul Karim, karena banyak ayat Al Quran yang dikemukakan secara umum dan memerlukan perincian. Maka ayat-ayat itu tidak dapat dipahami maksudnya dengan jelas dan terperinci kalau tidak berpedoman kepada hadis-hadis. Oleh karena itu maka timbulah keinginan para ulama untuk membukukan hadis-hadis Rasulullah. Apalagi setelah ternyata banyak sekali hadis yang lemah dan palsu yang beredar di masyarakat.

Pada mulanya hadis itu tidak dikumpulkan seperti Al Quranul Karim, karena banyak ucapan Rasulullah yang maksudnya melarang membukukan hadis. Larangan itu antara lain tersebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Said Al-Khudri, yang berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang menuliskan ucapanku selain Al Quran, hendaklah dihapuskan, dan kamu boleh meriwayatkan perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah neraka.”

Baru pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720M) hadis-hadis ini dibukukan. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur dan putera-puteranya, para ulama mengumpulkan hadis-hadis atas anjuran khalifah-khalifah tersebut.

Di antara tokoh-tokoh yang termasyhur dalam membukukan hadis ialah: Imam Malik bin Anas (712-789M) yang menyusun Al-Muwaththa’, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang membukukan hadis-hadis yang shahih saja. Imam Ibnu Hanbal (780-855M), At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan An Nasai, karangan-karangan mereka ini dianggap sebagai induk kitab-kitab hadis yang disusun kemudian.

Tatkala ternyata ada hadis-hadis palsu yang diriwayatkan oleh orang-orang Yahudi dan ahli Zindiq, maka untuk menyaring mana hadis yang shahih dan mana yang palsu, para ulama hadis membuat pedoman-pedoman yang dapat menetapkan bahwa sesuatu hadis itu shahih atau lemah atau palsu, umpamanya dengan memeriksa pribadi-pribadi yang mula-mula meriwayatkan hadis tersebut sampai kepada perawi yang terakhir. Pedoman-pedoman ini disusun menjadi suatu ilmu yang dinamakan Ilmu Mushthalah Hadis.

Fikih dan Ushul Fikih 

Al Quranul Karim dan hadis-hadis menguraikan masalah pokok secara garis besar dan tidak akan mencakup semua masalah karena itu tidak akan adad habisnya sesuai dengan kemajuan dalam segala lapangan kehidupan.

Tentu saja ada masalah yang baru yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Untuk menetapkan sesuatu hukum dalam masalah yang baru itu, para ulama terpaksa berijtihad dengan mendasarkan ijtihad mereka itu kepada Al Quran, Sunnah, dan Ijma’.

Dalam berijtihad ini ulama-ulama Hijaz mengutamakan hadis sebagai dasar hukum dan pelopor mereka ialah Imam Malik bin Anas (713-789M), sedang ulama Irak mengutamakan pedoman mereka kepada qiyas dan pelopor mereka ialah Abu Hanifah (699-767M). Sebabnya mereka lebih mengutamakan qiyas sebagai pedoman mereka, karena hadis-hadis banyak yang lemah dan palsu. Kemudian setelah ulama-ulama bertemu dan berkumpul dengan ulama-ulama Irak serta dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang lemah dan palsu, para ulama tersebut sama-sama mendasarkan ijtihad mereka kepada hadis dan apabila tidak terdapat hadis, barulah mereka mendasarkan ijtihad itu kepada qiyas. Akhirnya timbul lah beberapa mazhab.

Dalam berijtihad untuk menetapkan sesuatu hukum, harus mengetahui cara-cara mengistinbathkan (mengambil kesimpulan mengenai hukum itu) dari ayat-ayat Al Quran dan hadis-hadis. Cara-cara ini mula-mula disusun oleh Imam Syafii (757-829M) dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Ilmu ini kemudian terkenal dengan ilmu Ushulul Fiqih. lalu muncul lah beberapa ulama yang melengkapi dan menyempurnakan ilmu ini dengan cara yang lebih baik.

Ilmu Kalam 

Persoalan akidah (kepercayaan) di masa sahabat dan tabi’in adalah soal yang sudah tetap dan jelas berdasarkan kepada Al Quran dan Sunnah. Antara mereka tidak ada perselisihan pendapat dalam persoalan ini. Meskipun di dalam Al Quran terdapat beberapa ayat yang mutasyaabih, mereka tidak mempersoalkannya, karena khawatir bila ayat-ayat itu ditakwilkan menurut pendapat mereka masing-masing, akan membawa kepada perselisihan dan mungkin menimbulkan perpecahan antara mereka sendiri.

Tetapi setelah agama Islam dianut oleh umat-umat yang dahulunya menganut bermacam-macam agama dan mazhab mereka tak mau menerima sesuatu akidah, kecuali setelah diperdebatkan dan diperbandingkan dengan akidah mereka yang lama. Maka terpaksalah ulama Islam melayani mereka dengan dalil-dalil dan hujjah-hujjah sesuai dengan cara-cara mereka berpikir. Hal ini mendapat sokongan dan bantuan dari para khalifah, di antaranya Khalifah Al-Mahdi yang mendorong ulama menulis dan menyusun Ilmu Kalam.

Akhirnya dalam Ilmu Kalam ini timbul lah dua golongan yang terbesar. Golongan pertama ialah Al-Jamaah dan golongan kedua ialah golongan Mu’tazilah yang berbeda pendapat dengan golongan yang pertama dalam beberapa masalah. Golongan yang kedua ini dipelopori oleh Washil bin Atha. Mazhab ini disokong dan dianut oleh beberapa pemimpin pemerintahan Abbasiyah.

Kemudian muncul Abul Hasan Al-Asy’ari lahir di Basrah (837M), wafat di Baghdad (935M) yang berusaha mengkrompromikan mazhab Al-Jamaah dengan Mu’tazilah dan dia dapat mengemukakan suatu mazhab baru, yang kemudian dinamai mazhab Al-Asy’ariah.

Artikel ini disadur dari Al Quran dan Terjemah Departemen Agama RI tahun 1992 cetakan Semarang.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment