Suaramuslim.net – Manusia adalah makhluk peniru. Begitu lahir, manusia meniru dari orang-orang sekitarnya. Manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak mengetahui apa-apa. Hal ini berbeda dengan hewan. Misalnya penyu laut. Begitu menetas dari telurnya, penyu langsung berjalan menuju laut dan kemudian berenang ke lautan luas. Hewan tak perlu meniru induknya atau hewan sejenis. Mereka mendapat insting dari Allah seketika setelah lahir. Mereka tak bisa melihat dengan baik. Maka ilustrasi peran nabi itu ibarat orang buta yang dituntun orang melek. Seperti anak kecil yang ditatih jalan oleh orang tuanya.
Anak Adam membutuhkan bimbingan dan pengajaran dari manusia sekitarnya. Sikap meniru pada manusia ini merupakan fitrah dari Allah SWT. Karena itu, Allah mengutus nabi dan rasul dari kalangan manusia. Agar manusia meniru manusia-manusia terbaik pilihan Allah.
Orang kafir tak mempercayai nabi dan rasul. Mereka heran ketika bertemu rasul-rasul itu. Mengapa Tuhan mengutus manusia biasa -seperti mereka- sebagai nabi. Allah merekam perkataan mereka ini, “Mereka berkata, ‘Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan malaikat kepadanya agar malaikat itu memberikan peringatan bersama dengan dia? Atau mengapa tidak diturunkan kepadanya harta kekayaan atau (mengapa tidak ada) kebun padanya sehingga ia dapat memakan dari hasilnya?’ Dan orang-orang zalim itu berkata, ‘Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir’” (QS. Al Furqan 7-8).
Maka manusia membutuhkan panutan dari kalangan manusia sendiri. Ada beberapa hikmah mengapa manusia berhajat adanya contoh hidup terbaik, di antaranya adalah:
1. Agar nabi bisa memulai terlebih dahulu ajaran Tuhan
Allah menurunkan ajaran agar hidup manusia terarah melalui peran nabi dan rasul. Nah ajaran itu bisa diamalkan oleh sesama manusia. Maka sang rasul-lah yang pertama kali mengamalkan ajaran itu. Agar manusia di sekitarnya bisa meniru amalan sang rasul tersebut.
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka…” (QS Al An’am 90). Jika para nabi itu berwujud malaikat, tentu manusia akan berkilah bahwa sang nabi adalah makhluk jenis lain.
Ada ajaran hidup terhadap diri sendiri, ajaran tentang bergaul terhadap orang lain seperti terhadap orang tua, lawan jenis, istri, anak, tetangga, masyarakat, terhadap pemimpin dan bahkan terhadap orang memusuhi. Semua ajaran akhlak pergaulan telah dicontohkan para rasul.
2. Karena nabi dan rasul adalah orang yang paling paham tentang Tuhan
Nabi dan rasul adalah orang-orang yang cerdas dan kemudian mendapat wahyu dari Allah. Mereka membawa bukti nyata dari Allah agar manusia percaya pada ajakannya. Teladan dari Nabi Ibrahim menjadi bekal untuk kita betapa beliau memiliki akal yang sehat tatkala mencari siapakah Tuhan Yang Esa. Lalu Allah menuntun beliau dengan wahyu.
Karena itu orang pertama yang diajak Nabi Ibrahim adalah ayahnya sendiri yang tidak paham tentang Tuhan. “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku. Niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” (QS Maryam 43).
Kita ini ibarat orang buta, sedangkan para rasul adalah orang yang mampu melihat atas dasar wahyu dari Allah. Maka sepantasnya orang buta bersedia dituntun orang yang melek. Ilustrasi peran nabi, seperti orang buta dituntun orang melek. Nabi itu melek, kita ini orang buta.
3. Meniru kesungguhan para nabi dalam beribadah
Aisyah pernah bercerita bahwa saat tidur di malam hari ia terbangun ketika mendengar nabi terjaga. Nabi saw. lantas berkata, “Wahai Aisyah, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini.” Aisyah berkata, “Aku ingin tetap berada di dekatmu.” Lalu Nabi saw. shalat sangat panjang dan menangis.
Selang beberapa waktu, Bilal pun datang dan kumandangkan azan tanda masuknya waktu sahur atau waktu untuk shalat tahajud. Bilal bertanya kepada Nabi saw, “Mengapa engkau menangis? Bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Nabi saw. menjawab,” Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang bersyukur?”
4. Meneruskan perjuangan para nabi dan rasul
Kita wajib bersyukur bahwa Allah memberi hidayah Islam kepada kita. Allah telah memberi jalan bagi Rasulullah Muhammad saw dan orang-orang yang mengikuti perjuangan beliau. Mereka meneruskan ajaran ini kepada segenap penjuru dunia hingga sampai kepada kita sekarang.
Nah, sebagai wujud syukur, kita juga punya kewajiban untuk meneruskan perjuangan menegakkan ajaran Nabi ini, tentu dengan segala kemampuan kita. Kita bisa amar maruf nahi munkar ke keluarga kita, tetangga, rekan kerja, lingkungan sekitar, masyarakat dan bahkan warga dunia.
Seperti pesan Luqman, “Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya,yang demikian itu termasuk urusan yang utama” (QS Luqman 17).
5. Agar manusia paham bagaimana bersikap menghadapi masalah hidup
Manusia selalu dilingkupi dengan masalah dan keluh kesah. “Sungguh, manusia diciptakan dalam sifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila meendapat kebaikan, ia menjadi kikir” (QS Al Maarij 19-21). Karena itu, para nabi dan rasul memberi teladan bagaimana manusia menghadapi masalah-masalah hidupnya.
Ada masalah dengan saudara sedarah sebagaimana Nabi Yusuf. Ada masalah sakit yang berkepanjangan seperti Nabi Ayub. Ada masalah dengan ayah yang berbuat syirik seperti Nabi Ibrahim. Ada diuji dengan harta dan kekuasaan yang besar seperti Nabi Sulaiman. Ada masalah dengan godaan lawan jenis, dengan majikan, di penjara tanpa kesalahan, hingga masalah ekonomi negara sebagaimana Nabi Yusuf. Semua telah ada teladan atas peran nabi untuk kita. (Diolah dari berbagai sumber).