Indikator Keberhasilan Puasa Kita

Indikator Keberhasilan Puasa Kita

5 Tips Cegah Dehidarasi Saat Berpuasa Sunnah
Ilustrasi air dalam gelas.

Suaramuslim.net – Semenjak awal Allah subhanahu wa ta’ala dalam menetapkan kewajiban puasa juga telah menetapkan indikator keberhasilannya, yaitu agar kita bisa mencapai derajat takwa. Bahkan setiap Jumat seorang khatib wajib menyampaikan wasiat takwa dalam awal khutbahnya sebagai rukun khutbah Jumat, sebagaimana pula Rasulullah menjadikan wasiat takwa sebagai muqaddimah dalam setiap khutbahnya.

Mengapa takwa selalu menjadi indikator keberhasilan dalam setiap amaliyah dari agama ini bahkan Allah menyatakan bahwa yang menjadi pembeda derajat seseorang di sisi Allah adalah nilai ketakwaannya?

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Al-Hujurat: 13).

Jawabannya karena takwa adalah puncak hasil keimanan seseorang. Lalu apakah yang dimaksud takwa itu?

Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan, “Takwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.” (Dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal. 531).

Sementara Imam An-Nawawi mendenifisikan takwa dengan, “Menaati perintah dan larangan-Nya.”

Secara lebih detail, Sayyidina Ali radiyallahu anhu menjabarkan tentang makna takwa dengan segala ciri-cirinya, antara lain.

Pertama, al-khaufu min al-Jalil, yakni merasa takut kepada Allah yang mempunyai sifat Maha Agung.

Kedua, al-‘amalu bi at-tanzil, beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah.

Ketiga, ar-ridha bi al-qalil, merasa cukup dan ridha dengan pemberian Allah, meskipun hanya sedikit.

Keempat, al-isti`dadu li yaum ar-rahil, yaitu sentiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah.

Intinya, takwa adalah wujud ketaatan kepada Allah atas segala perintah dan larangan-Nya. Karena tidak ada amal terbaik bagi seorang hamba kecuali ketaatan ini. Ketaatan adalah bentuk cinta dan loyalitas atas apa yang dicintai. Sementara pelanggaran atas perintah adalah bentuk pengkhianatan cinta.

Kesimpulannya adalah takwa sebagai puncak paripurna kemanusiaan yang ditandai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi atas beragam pola hubungan yang melingkupinya, serta rasa cinta kasih sayang yang melandasi seluruh amaliyah perbuatannya dalam semua pola hubungan tersebut.

Sehingga seorang yang bertakwa maka dalam dirinya selalu bersemayam dua sikap utama ini, yaitu bertanggung jawab dan kasih sayang. Sikap bertanggungjawab adalah puncak dari kesadaran atas pengetahuan dan pemahamannya terhadap posisi, tugas serta peran dirinya dalam beragam pola hubungan.

Sementara kasih sayang adalah landasan sebuah tindakan yang memungkinkan setiap individu dapat mewujudkannya dengan penuh keikhlasan, suka rela tanpa ada beban apapun bahkan menjalaninya dengan penuh bahagia sebagai wujud cinta atas Sang Pemberi Perintah (Asy-Syaari’).

Terdapat 4 pola hubungan yang melingkupi kehidupan manusia antara lain transendental, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Sikap takwa berada pada keempat pola hubungan tersebut.

Indikator sikap takwa pada masing-masing pola hubungan tersebut dapat berupa:

Hubungan transendental

Sikap tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk keyakinan yang utuh bahwa segala tindakan sedang diawasi oleh Allah (muraqabah) sehingga berupaya menjalani dengan cara terbaik. Khusyuk, sungguh-sungguh, terbaik dan ikhlas. Seorang yang bertakwa tentu semakin kuat ibadah dan taqarrubnya kepada Allah. Serta mencintai Allah dengan menghadirkan loyalitas tertinggi (al wala’) berupa ketaatan dan menjauhi segala bentuk pengkhianatan dan pelanggaran atas aturan perintah-Nya.

Terhadap diri sendiri

Ia bertanggungjawab penuh berupa mengoptimalkan potensi dirinya secara maksimal dengan menghasilkan karya-karya sebagai bentuk rasa syukur yang tertinggi atas amanah potensi tersebut. Serta mencintai dirinya dengan menjaga diri dari segala hal yang dilarang dan mengerjakan segala perintah-Nya. Seperti menutup aurat, makan yang halal thayib, bersih dan selalu bersuci, membagi waktu secara proporsional atas dasar ibadah ketaatan, dan segala bentuk lainnya yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri.

Wujud takwa dalam hubungannya dengan orang lain

Sikap dirinya yang dapat dirasakanya nyaman bagi orang lain, menjauhkan dari prasangka negatif dan melandasinya dengan kepercayaan, selalu berupaya memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagi orang lainnya, orang lain terselamatkan dari lisan dan tangannya (menjauhi gibah, fitnah, tajassus kepo dsb). Penuh penerimaan atas orang lain, senyum yang selalu merekah/sumringah, peduli atas kebutuhan orang lain. Intinya dirinya bagi orang lain hanyalah berisi kebaikan dan penerimaan.

Dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar

Keberadaannya mampu menjaga dan mengelola keberlangsungan dan keseimbangan lingkungan dengan sangat baik (sustinable development goals), sehingga alam fauna dan satwa menjadi nyaman hidup di sekitar karena mereka peduli terhadap sekitar dengan penuh tanggung jawab dan rasa kasih sayang.

Dampak yang akan diperolehnya dari sikap takwa setidaknya dapat tampak pada dua realitas.

Pertama terhadap individu akan menjadi pribadi yang memiliki semangat untuk terus berkembang dan menjadi lebih baik serta nyaman dan menyenangkan bagi orang lain dan sangat diharapkan keberadaannya oleh orang lain.

Kedua, dampak takwa dalam masyarakat akan mengundang keberkahan negeri sehingga menjadikan negeri yang aman tentram sentosa sejahtera. Sebagaimana firman Allah:

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 96).

Apakah puasa yang kita lakukan dalam sekian tahun ini telah mampu mewujudkan pribadi yang bertakwa dan telah mengantarkan pada keberkahan negeri?? Wallahu a’lam.

 

Akhmad Muwafik Saleh
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Tanwir Al-Afkar Tlogomas Malang, Dosen FISIP UB, Sekretaris KDK MUI Jawa Timur, Motivator Nasional Bidang Komunikasi Pelayanan Publik, Penulis 16 Buku Best Seller.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment