Islam Agama Dinamis, Bukan Ekstrimis

Islam Agama Dinamis, Bukan Ekstrimis

Islam Agama Dinamis, Bukan Ekstrimis
Islam Agama Dinamis, Bukan Ekstrimis

Suaramuslim.net – Opini publik yang sengaja diciptakan untuk memojokkan Islam, seringkali membuat strereotip bahwa Islam adalah agama ekstrimis. Meski demikian, jauhnya umat Islam terhadap agamanya seolah membenarkan stereotip itu. Bagaimana mengatasinya?

Islam sudah ribuan tahun hadir dan diterima di tengah-tengah masyarakat. Tentu karena agama ini sangat dinamis dan sesuai dengan berbagai perkembangan zaman, tanpa mengurangi keotentikan ajarannya.

Dinamis, menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengandung dinamika. Artinya Islam yang dinamis adalah Islam yang bergerak dengan cepat dan mampu beradaptasi dengan keadaan.

Ilmu-ilmu keislaman dapat membangun dan memajukan suatu bangsa. Maraknya aksi terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam tentu sungguh mencederai agama yang mulia ini. Islam pun tercoreng oleh citra negatif.  Beberapa kalangan di Barat, misalnya, menyebut Islam sebagai agama terorisme. Tentu, citra buruk itu harus dihapus, citra buruk tersebut harus berubah menjadi citra baik, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang dinamis. Bukanlah agama yang rekat dengan ekstrimis.

Perhelatan Annual International Conference of Islamic Studies (AICIS) diharapkan bisa memberi kontribusi signifikan dalam memperbaiki citra Islam tersebut. Dikutip dari republika.co.id, Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengatakan akar dari aksi terorisme dan radikalisme adalah kurangnya wawasan serta pengetahuan masyarakat Muslim tentang Islam.

Dalam hal ini, AICIS bisa memainkan peran penting. Sebab, AICIS merupakan wadah bagi masyarakat yang ingin belajar banyak tentang Islam. “Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan bisa meminimalisasi tindakan terorisme dan radikalisme yang kian marak di dunia,” kata Nasaruddin.

Di forum ilmiah bertaraf internasional ini, para peneliti serta ilmuwan muda Muslim berkumpul mempresentasikan makalah dan hasil riset mereka yang bersumber dari ajaran Islam. Melalui hasil kajian tersebut, diharapkan persepsi dunia terhadap Islam pun akan berubah.

Suara para ilmuwan Muslim Indonesia itu tentu akan didengar oleh masyarakat internasional mengingat negeri ini sekarang semakin dekat untuk menjadi kiblat studi keislaman dunia.  “Jadi, sudah semestinya hasil dari kegiatan AICIS dapat menciptakan citra baru yang positif bagi kaum Muslim negara ini,” ujar Nasaruddin.

Seluruh Aspek Harus Mampu Tunjukkan Inklusivitas Islam

Indonesia harus mampu menunjukkan Islam sebagai agama yang modern, inklusif, dan dinamis. Demikian pandangan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, Prof. Dede Rosyada.  Semua aspek keagamaan, mulai dari pendidikan, dakwah, hukum, politik, dan perekonomian akan menunjukkan inklusivitas Islam. “Yakni, ada sebuah kebenaran yang tidak menyinggung hal lain,” katanya.

Umat Islam di Indonesia, menurut Dede, harus berpegang teguh pada prinsip tersebut. Dengan demikian, semua perilaku masyarakat akan berbasis pada nilai-nilai keagamaan.

“Tugas baru para tokoh agama dan ketua pendidikan universitas Islam adalah menemukan solusi untuk membangun karakter Muslim seperti itu,” imbuhnya. Menurutnya lagi, bangsa Indonesia harus menjadi masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera. Dia juga berharap, sosialisasi media dapat menjadi langkah awal untuk mendidik masyarakat menjadi generasi yang lebih beradab dengan dasar-dasar keislaman.

“Indonesia harus mengumumkan kepada dunia bahwa ilmu-ilmu keislaman dapat membangun dan memajukan suatu bangsa,” katanya. Negara-negara Barat yang selama ini senantiasa melihat Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan diharapkan bisa memandang Islam secara lebih positif.

Rebranding dalam Dakwah

Rupanya tak hanya pada produk-produk komersial yang butuh rebranding. Kegiatan dakwah pun memerlukannya. Seperti dikatakan Prof. Ali Aziz, dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada republika.co.id,  masyarakat sering kali mempersepsikan dakwah sebagai ceramah yang mengedepankan pesan ibadah secara vertikal.

Konsep seperti itu seringkali dianggap klasik dan tidak adaptif dengan dunia modern. “Karena itu, ilmuwan dan para pelaku dakwah harus melakukan penyegaran brand dakwah, sehingga lebih dinamis dan bisa diterima oleh masyarakat luas,” kata Ali.

Menurutnya, rebranding adalah upaya penyegaran brand yang sudah ada. Dengan rebranding, diharapkan akan muncul citra baru yang lebih positif di mata masyarakat.  Dalam hal dakwah, rebranding menjadi penting karena dakwah adalah warisan klasik Islam yang harus dilestarikan dan diinovasikan.

Selama ini, kata Ali, publik lebih mengenal dakwah sebagai materi yang berkarakter keras, dogmatis, dan kaku terhadap perubahan. “Padahal, pesan keagamaan dalam Islam harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan karakter masyarakat.”

Dalam hal ini, rebranding dakwah bisa dilakukan melalui rekonstruksi kurikulum fakultas dakwah di perguruan-perguruan tinggi Islam. Perlu pula meningkatkan kewibawaan dakwah dengan cara mengubah konsep penyampaian dakwah itu sendiri.

Penceramah, misalnya, harus komunikatif dan tidak selalu membicarakan ibadah vertikal semata. Menurutnya, materi pembangunan dunia, seperti etos kerja, silaturrahim, semangat mencari ilmu, berpolitik, dan sebagainya bisa menjadi topik dakwah yang menarik.

Reporter: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment