Islam dan Tibet: Terikat dalam Sejarah (Bagian 1)

Islam dan Tibet: Terikat dalam Sejarah (Bagian 1)

Islam dan Tibet Terikat dalam Sejarah

Suaramuslim.net – Umat Islam telah menyebar ke penjuru dunia. Hampir tidak ada satu Negara yang tidak memiliki penduduk muslim, atau minimal dikunjungi oleh umat Islam. Tak terkecuali di Negara yang diklaim sebagai ‘Negeri berpenghuni dengan lokasi tertinggi di Bumi” ini, Tibet (ketinggian rata-rata tanahnya mencapai 4.900 meter di atas permukaan laut).

Terdapat sejumlah kecil masyarakat Muslim yang mendiami Tibet secara turun-temurun. Bagaimana kisah kedatangan mereka ke negeri mayoritas Budha yang perpenduduk tiga juta orang (sensus 2010) ini? Simak ulasannya berikut ini.

Sejak Abad ke-8

Sejumlah dokumen sejarah mengungkap, umat muslim telah menetap di Tibet sejak abad kedelapan atau kesembilan Masehi. Ketika Umar bin Abdul Aziz memimpin pemerintahan Dinasti Umayyah pada 717-720 Masehi.

Para delegasi dari Tibet dan Tiongkok pernah meminta sang khalifah untuk mengirim juru dakwah Islam ke negeri mereka. Saat itu, Umar mengirimkan Salah bin Abdullah Hanafi. Inilah yang disebut sebagai akar perkembangan Islam di Tibet.

Setelah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus runtuh, penguasa Abbasiyah di Baghdad tetap memelihara hubungan baik dengan negeri Tibet antara abad kedelapan dan kesembilan. Mereka menjalin hubungan politik, perdagangan, dan kebudayaan dengan masyarakat setempat. Pada masa itu, banyak kaum Muslimin yang menikah dengan penduduk Tibet dan memutuskan untuk menetap di sana.

Keeratan hubungan Islam dan Tibet terekam dalam beberapa catatan para sejarawan di era kekhalifahan. Dalam sejumlah tulisannya, sejarawan Muslim, seperti Yaqut Hamawi, Ibnu Khaldun, dan Tabari menyebut-nyebut nama Tibet. Bahkan, dalam bukunya bertajuk Muajumal  Buldan (Ensiklopedia Negara-negara), Yaqut Hamawi menyebut Tibet dengan tiga sebutan, yakni Tabbat, Tibet, dan Tubbet.

Muslim Kache

Masyarakat Kache, itulah sebutan yang sering disematkan untuk komunitas muslim di beberapa kota di Tibet. Kache sendiri makna sebenarnya adalah orang–orang Kashmir. Asal-usul atau nenek moyang mereka diperkirakan adalah kaum imigran yang datang dari tiga kawasan, yakni Kashmir, Ladakh (wilayah antara Jammu dan Kashmir), serta negara-negara rumpun Turki di Asia Tengah.

Pribumi Tibet terdahulu menyebut bangsa Kashmir “Kache Yul”, kemungkinan dari sinilah penyebutan “Kache” saat ini berasal.

Meski Kache merupakan kelompok minoritas dan bukan orang Tibet asli, tapi mereka lebih diakui sebagai bagian dari masyarakat Tibet daripada etnis Muslim Hui yang berasal dari Tiongkok. Bisa jadi karena para pedagang Muslim Tiongkok yang beretnis Hui baru menetap di Siling, Amdo, sebelah timur laut Tibet pada awal abad ke-17.

Masyarakat Kache menikahi orang Tibet dan mengadakan perdagangan antara Tiongkok dan Tibet Tengah. Beberapa dari mereka menetap di Lhasa dan membentuk komunitas Muslim yang terpisah dari Muslim Tibet. Mereka memiliki masjid dan pemakaman sendiri.

Singkatnya, mereka enggan membaur dengan masyarakat setempat dan tetap mempertahankan bahasa Tiongkok dan adat mereka. Ini juga yang membuat mereka ‘kurang diakui’ sebagai bagaian dari masyarkat Tibet dibanding komunitas muslim “Kache”

Meski tidak banyak penduduk mayoritas yang beralih ke Islam pada masa datangnya Imigran Kashmir, namun secara bertahap pernikahan dan interaksi sosial menyebabkan meningkatnya populasi Muslim hingga jumlah yang cukup signifikan di sekitar ibu kota Tibet, Lhasa.

Selain Kache dan Hui beberapa kelompok etnis Muslim lain yang mendiami Tibet sejak lama, adalah etnis Salar, Dongxiang, Bonan dan komunitas Tionghoa Muslim Gya Kache yang jejak keturunannya masih terhubung dengan kelompok etnis Hui.

Lalu, bagaimana kehidupan muslim di negeri Tibet? Nantikan artikel berikutnya.

Kontributor: Aisy*
Editor: Oki Aryono

*Script writer dan audio editor

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment