Islam, Pribumi dan Orientalis

Islam, Pribumi dan Orientalis

Bersatunya Arab dan Pribumi di Madrasah Al Irsyad Surabaya Tahun 1935 (Foto: Perpustakaan Online Al Irsyad).

suaramuslim.net – Islam di kepulauan Nusantara memang memiliki kekhasan dari sisi kebudayaan dan tradisi. Seperti pakaian koko (baju takwa), songkok nasional berwarna hitam, tulisan pegon, ritual membaca doa untuk orang yang telah meninggal, selamatan dan lain-lain. Namun, kekhasan seperti ini tidak-lah sampai membuat perbedaan secara fundamental dengan Islam yang ada di negara-negara Arab dan wilayah lainnya.

“Sebab, kebudayaan dan tradisi Islam yang dijalankan para ulama kita bukan pada koridor perkara yang ushul tapi furu’ (cabang). Dan tidak boleh fundamen-fundamen Islam diubah menuruti arus kebudayaan. Tradisi dan ritual tersebut merupakan adapsi dari Islam yang dibawa oleh para da’i dari negeri jazirah Arab.

Para muballigh di Nusantara zaman dahulu tidak sampai menghilangkan unsur-unsur fundamental Islam ketika melakukan dakwah dan Islamisasi kebudayaan. Justru unsur fundamental itu menjadi ‘bahan pokok’ dalam melakukan Islamisasi tradisi. Ketika bahan pokoknya dihilangkan, maka tradisi itu tidak dapat dikatakan tradisi Islami.

Pribumi dan Arab Menyatu

Di sinilah para muballigh yang berdarah Arab itu benar-benar menyatu dengan pribumi untuk memudahkan jalan dakwah. Salah satu dampak positifnya adalah, penduduk pribumi menyerap unsur-unsur Arab Islami dalam bahasa, tradisi, dan kebudayaan. Karena dengan menyerap budaya Islami itu, tingkat intelektualitas pribumi meningkat daripada ketika masih memeluk agama sebelumnya. Atas hal ini, Arab sebetulnya berjasa besar bagi kemajuan bangsa Melayu, sebab kaum pribumi menjadi terdidik, dan terlatih secara intelektual setelah memeluk Islam dan mengenal kebudayaan Arab Islami.

Proses islamisasi dilakukan para dai Wali Songo dengan cara melebur dengan pribumi. Metode dakwah mereka kepada pribumi terbukti sangat efektif dalam mengislamkan kepulauan Nusantara. Hamid al-Ghadri — salah seorang penulis sejarah tentang keturunan Arab — berpendapat, bahwa raja-raja Islam atau sultan di kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak yang keturunan Arab karena hubungan keturunan Arab dan pribumi telah menyatu selama berabad-abab sebelumnya. Penyatuan itu awalnya dari pernikahan antara dai dari ras Arab dengan perempuan pribumi. Sehingga membentuk satu keluarga besar yang terdiri dari dua ras. Anak cucu secara turun-temurun hasil pernikahan ini lalu merasa sebagai penduduk pribumi. Bahkan menurut Hamid al-Ghadri karena begitu lama dan dalamnya penyatuan itu, zaman sebelum penjajahan keturunan Arab disebut juga pribumi (Hamid al-Gadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal.39).

Selain itu, sebelum zaman penjajahan, di bumi Nusantara dikabarkan telah ada komunitas Muslim Cina. Seperti halnya orang Arab, Muslim Cina juga ‘menyatu’ dengan pribumi dengan cara pernikahan. Ibu sultan Fattah, sultan pertama kerajaan Demak, juga dikabarkan merupakan putri Cina yang dihadiahkan kepada Bre Kertobhumi, seorang raja Majapahit (Rachmad Abdullah,Walisongo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa,hal.40) Maka, orang seperti sultan Fattah merasa dirinya adalah pribumi Muslim meski ada darah keturunan Cina.

Adanya komunitas Muslim Cina di bumi Nusantara karena ada jasa seorang raja Cina dari Dinasti Ming cenderung membela Islam dan menugaskan Laksamana Cheng Ho untuk berlayar ke berbagai negeri termasuk Indonesia untuk menyampaiakn pesan perdamaian.

Hal ini menunjukkan bahwa, pada zaman dahulu Muslim di Indonesia dari ras manapun, baik keturunan Arab atau keturunan Cina merasa menjadi penduduk kepulauan Nusantara. Islam menghilangkan jarak dan sekat-sekat ras. Serta menyatukan bangsa Melayu sebagai satu bangsa yang Muslim yang memiliki bahasa persatuan (lingua franca) yaitu bahasa Melayu. Bahasa Melayu sendiri banyak menyerap istilah-istilah dari bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon (pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam.

Orientalis Memisahkan Jawa dan Islam

Pengaruh Islam yang dibawa oleh da’i-da’i dari negeri Jazirah Arab semenjak zaman Wali Songo angkatan ke-2 memang sangat kuat di kalangan pribumi. Di pulau Jawa misalnya, orang-orang berdarah Jawa pada masa itu sudah identik dengan Islam. Dalam suratnya kepada pengurus Pusat Nederlandsche Zendings Vereeniging, D.J. van der Linden pada 8 Mei 1863 mengatakan: “Agama Islam di pulau Jawa ini bukan seperti pohon yang tidak berbunga lagi. Bahkan sebaliknya, tahun demi tahun buahnya bertambah banyak. Orang Jawa masih merasa yakin bahwa agama Islam memenuhi kebutuhannya. Dia belum siap. Itulah sebab utama kurang berhasilnya perkabaran Injil di pulau Jawa selama ini” (Th. Van den End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963 dalam Muhammad Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa, hal.44).

Hal yang paling ditakuti penjajah Belanda adalah kaum pribumi yang memeluk Islam dengan taat dan berhubungan dengan orang-orang Arab. Apalagi jika hubungannya sampai pada tingkat internasional. Orang-orang Jawa yang naik haji biasanya diawasi ketat oleh Belanda. Pada akhir abad XIX jumlah pribumi Muslim yang naik haji meningkat tajam, seiring dengan adanya kemudahan-kemudahan untuk melakukan ibadah haji.

Orang-rang Jawa yang naik haji saat itu sangat dihormati rakyat. Biasanya orang yang naik haji menghabiskan waktu yang lama di Makkah. Sebagian di antara jamaah haji memanfaatkan ziarah ke tanah Haramain untuk belajar agama kepada para ulama di sana. Sehingga, begitu pulang mereka memiliki tambahan pengetahuan agama dari tanah Haramain. Penduduk setempat sangat menghormatinya. Dengan presitse mereka yang sangat besar, para haji dapat menggunakan pengaruh besarnya untuk mendorong masyarakat lebih taat agama dan mengusir penjajah. Dahulu mereka dijuluki wak Kaji (pak Haji) memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Sehingga melalui haji ini, hubungan antara muslim pribumi dengan negeri Arab sangat kuat.

Belanda berupaya melepaskan hubungan pribumi dengan Arab Islam dengan tujuan untuk mempertahankan tanah jajahan mereka di bumi Nusantara. Orientalis Belanda memisah-misahkan antara Jawa, Arab dan Cina. Ketika Jawa dipisahkan dari Arab, Belanda memiliki tujuan politis dan ideologis.

Secara ideologis, memisahkan Jawa dengan Arab, berarti memisahkan Jawa dengan Islam. Dampak pemisahkan ini berbau politis, yaitu agar Belanda mudah menaklukkan orang Jawa. Sebab, kekuatan pribumi dan Jawa itu ketika mereka memeluk dan taat kepada ajaran Islam. Maka dibuatlah kesan dengan cara studi dan riset, bahwa identitas Jawa itu bukan Islam tapi abangan, animism dan dinamisme. Padahal, dahulu sebelum penjajahan jika disebut Jawa atau Melayu, maka asosiasinya adalah Muslim.

Salah satu strategi orientalis Belanda memisahkan pribumi dengan Islam dan Arab adalah dengan mengajukan teori kedatangan Islam yang kita sebut “Indian-Centris”. Orientalis bernama Pajnapel dan Snouck Horgronye mengatakan bahwa Islam di Indonesia bukan berasal dari Arab tapi dari India.

Peran Arab dalam Islamisasi dikecilkan. Horgronye, yang pernah menjabat sebagai penasihat penjajah Belanda pada masa kolonial, berpendapat bahwa selama empat abad pimpinan agama Islam di Indonesia berada di tangan orang India dan baru pada abad XVI pengaruh Arab mulai masuk ke Indonesia. Menurutnya, tradisi mistisme Walisongo di Jawa itu sifatnya non-Arab. Maksudnya, tradisi Islam di Indonesia lebih cenderung kepada India daripada Arab (Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah,48). Dia menyatakan bahwa dai pelopor di Jawa adalah India bukan Arab.

Pendapat Horgronye diikuti Morisson yang berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari sebuah pelabuhan di India yaitu pantai Koromandel. Ia menjadi pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara. Tome Pires mendukung teori ini. Menurutnya kebanyakan orang terkemuka di Pasai Aceh adalah orang Benggali (India Selatan) atau keturunan mereka. Bukan orang Arab (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 98).

Sebenarnya, dasar dari teori tersebut berangkat dari aspek geografis saja. Bahwa leluhur Wali Songo datang ke Indonesia dengan bertolak dari sebuah wilayah di India. Berangkat dari pendapat ini mereka kemudian menarik kesimpulan bahwa etnis yang datang adalah India bukan Arab.

Teori orientalis tersebut dicurigai bermuatan kepentingan penjajahan atas wilayah Indonesia. Menonjolkan India dan meminggirkan Arab lebih menguntungkan penjajah Belanda. Tidak lain adalah untuk menciptakan citra negatif untuk Arab di Nusantara. Kemungkinan ini karena pada zaman kolonialisme banyak keturunan Arab yang menentang pendidikan Barat. Sama halnya golongan santri yang anti pendidikan sekuler ala Belanda.

Belanda melakukan politik ini karena melihat pengaruh keturunan Arab pada zaman revolusi ternyata cukup besar. Ia berupaya menutup-nutupi agar kajian-kajian sejarah dan buku-buku tidak banyak mengungkapkannya. Padahal, peran keturunan Arab membela kemerdekaan Indonesia cukup besar. Dr. GSSJ Ratu Langie, pernah mengatakan: “Dapat dimengerti bahwa gerakan keturunan Arab begitu cepat diterima dalam gerakan nasional”. Hal ini bisa dimengerti, sebab sejak berabad-abad lamanya — termasuk zaman Wali Songo — keturunan Arab selalu menyatu dengan pribumi.

Keberadaan keturunan Arab cukup ditakuti Belanda. Thomas Stamford Raffles pernah mengaku bahwa tiap orang Arab dan orang-orang pribumi yang kembali dari ibadah haji dari Makkah dianggap ‘keramat’. Sangat mudah menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda dan menjadi komponen masyarakat yang dianggap membahayakan kepentingan Belanda (Thomas Stamford Raffles,History of Java dalam Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal 39).

Dengan demikian, sasaran dari politik pemisahan antara pribumi dengan Arab oleh orientalis sebetulnya adalah memisahkan pribumi dengan Islam. Islam memang bukan Arab. Keliru jika kita katakana bahwa setiap Arab itu Islami. Yang benar, Islam mengandung unsur-unsur Arab. Ketika unsur-unsur ini dihilangkan maka Islam kehilangan fundamennya.

Kiai Muhammad Idrus Ramli, Kiai muda NU asal Jember, berpendapat bahwa sentimen terhadap bangsa Arab disebarluaskan oleh dua kelompok yaitu orientalis dan Syiah dengan tujuan tertentu. Pertama, oleh kaum orientalis yang sudah barang tentu diikuti oleh kaum liberal pada hari ini. Kedua, disebarkan oleh orang-orang Syiah. Karena Syiah adalah suatu aliran yang lahir dari ras Persia.

Pada abad ke-10 H, terjadi pergolakan politik Sunni-Syi’ah, yang diwakili oleh perseteruan antara Daulah Utsmaniyah yang Sunni dengan Dinasti Shafwiyah yang Syiah. Kebencian terhadap hal yang berbau Arab pun disebarkan. Sehingga hal ini menggerakkan seorang ulama besar di Makkah pada waktu itu, yaitu al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitama untuk menulis kitabnya yang berjudul Mablaghul Arab fi Fakhril ‘Arab. Pada abad ke-14 seorang ulama Irak bernama Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi juga menulis kitab Bulughul Arab fi Ahwali al-‘Arab. Karena orientalis dan Syiah menyebarluaskan kebencian dan sentiment terhadap bangsa Arab, maka sebagian ulama kontemporer yang menulis kitab-kitab Sirah Nabi memaparkan keutamaan bangsa Arab seperti yang dilakukan oleh Syaikh Abul Hasan Ali al-Hasani al-Nadwi dan Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (kutipan dari pendapat Kiai Idrus dengan penulis pada tanggal 26 Juni 2015).

—Bumi Pertiwi Bangil–

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment