Kalimat Tauhid dan Keadilan 212

Kalimat Tauhid dan Keadilan 212

Upaya-upaya yang mencoba untuk membenturkan keislaman seseorang dan kesetiaannya pada negara serta menjaga nilai-nilai kebinekaan dan toleransi ini juga menjadi perhatian KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah)
(Foto: Panjimas.com)

Suaramuslim.net – Heboh reuni 212 yang jutaan senyap dikabarkan di media mainstream. Tapi media sosial terus membagikan berita-berita kedamaian seputar reuni umat Islam di Indonesia ini. Yang patut dicermati, mengapa bisa terjadi sedemikian indah dengan peserta yang sangat tumpah ruah?

Jika diadakan oleh partai politik, tentu sulit. Butuh berapa modal yang harus dikeluarkan untuk menghadirkan massa jutaan. Fee makan, fee transport, belum fee tiket. Maka kemudian ada yang menyimpulkan setiap peserta dikasih uang Rp200.000. Setelah banyak yang memakai pesawat, menginap di hotel, berubah lagi, mungkin diberi uang Rp2.000.000.

Ini dugaan pengerahan massa ala pebisnis, atau partai politik. Selalu dihitung berdasarkan uang. Untuk 1 juta massa, berarti butuh Rp200.000.000.000.000, gila! Partai langsung bangkrut. Lalu apa yang menarik umat Islam sedemikian besar?

Jawabannya adalah keadilan. Yang datang adalah manusia-manusia yang mengharapkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk muslim.

Dulu di awal pelaksanaan 212 yang dituntut adalah penghina Al Quran. Tidak dipidana meski bukti sudah jelas. Maka umat bergerak menuntut keadilan. Kini yang dituntut meski tidak tersurat, tentu saja adalah perlakuan kepada bendera tauhid. Kenapa yang diuber penyebar video pembakaran? Kenapa kok tidak yang membakar? Kenapa yang diuber bukan pencuri, tapi yang menyebarkan adanya pencuri? Di mana nurani pemimpin Indonesia?

Keadilan adalah inti dari sebuah negara. Sebesar apa pun yang menjadi prestasi, jika keadilan sudah hilang, artinya Pancasila tidak diamalkan, sudah tidak menjadi landasan negara. Maka secara tidak langsung tuntutan yang didengungkan secara tersirat adalah melaksanakan amar Pancasila sebagai dasar negara.

Orang sering menyampaikan, itu umat Islam yang mana? Yang hadir bukanlah perwakilan ormas NU, atau ormas Muhammadiyah, atau ormas yang lain. Yang hadir adalah yang memiliki nurani bahwa keadilan jauh lebih penting daripada posisi, daripada kemasyhuran sebuah ormas, daripada guyuran sogokan.

Ini adalah perwakilan umat Islam yang digambarkan, bertahajud memulai hari, dan bertausiyah untuk meningkatkan semangat, serta memegang panji Tauhid sebagai pendalaman dari iman.

Maka orang mengatakan ini ditunggangi politik, orang 212 tetap datang. Ini akan diawasi oleh personil milter dengan peralatan lengkap, orang tetap datang. Yang cinta negara adalah yang cinta dengan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Mengutip kalimat Ust. Zulkarnaen, masa ulama yang tidak pro dengan pemerintah disebut radikal? Masa masjid yang tidak pro dengan pemerintah disebut radikal? Menurut saya, jangan-jangan yang radikal adalah yang gemar pencitraan tapi tidak menegakkan keadilan.

Salam takzim untuk mereka yang sudah mendengungkan keadilan. Salam takzim untuk mereka yang tetap berani di tengah represi dengan istilah radikal. Yang radikal justru menjaga kedamaian, memeluk kawan-kawan non muslim dengan hangat. Yang katanya nasionalis justru arogan, meneriakkan slogan dengan berdiri di atas pagar.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment