Tombo ati iku limo sakwarnane
Moco Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindho solat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh konconono
Kaping papat kudhu wetheng ingkang luwe
Kaping limo zikir wengi ingkang suwe
Suaramuslim.net – Mungkin sebagian dari kita sering mendengarkan pujian di atas mana kala datang waktu sholat. Iya, sembari menunggu dimulainya sholat berjamaah, muadzin di beberapa tempat akan melantunkan syair atau sholawat tertentu.
Syair berjudul ‘Tombo Ati’ atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia berjudul ‘Obat Hati’ yang dipopulerkan oleh penyanyi religi kondang, Opick, itu merupakan peninggalan bersejarah dari salah satu ulama atau tokoh penting umat Islam, khususnya di Pulau Jawa.
Raden Maulana Makdum Ibrahim atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, dialah sosok di balik rangkaian bait syair ‘Tombo Ati’. Putra keempat dari Sunan Ampel itu dikenal sebagai ulama yang mensyiarkan nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat zaman dulu melalui pendekatan seni dan budaya. Yaitu meliputi media wayang, tembang, sastra sufistik, termasuk tasawuf.
Tak heran jika Sunan Bonang dikenal menguasasi beberapa pokok ilmu agama seperti ilmu fiqih, ushuludin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan berbagai ilmu kesaktian serta kedigdayaan.
Sebelum menjalankan dakwah syiar Islam, Sunan Bonang banyak mendalami ilmu tentang keislaman dari sang ayah, Sunan Ampel. Masa kecil dia habiskan untuk belajar ilmu tentang agama bersama santri Sunan Ampel lainnya. Ada Raden Paku (Sunan Giri), Raden Patah, dan Raden Kusen.
Selain menimba ilmu dari ayahnya, Sunan Bonang juga diketahui berguru kepada ulama lain. Alkisah, di usia remaja, Sunan Bonang beserta saudaranya, Raden Paku, merantau hingga ke negeri Pasai, Aceh, untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishaq.
Selain itu, mereka juga belajar kepada ulama besar lainnya yang menetap di negeri Pasai. Diantaranya ada para ulama tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, Persia atau Iran.
Selesai belajar di negeri pasai, sang ayah meminta Sunan Bonang untuk mensyiarkan ajaran Islam ke daerah Tuban yang merupakan tanah kelahirannya. Dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, diceritakan bahwa selama berdakwah, Sunan Bonang selalu menggunakan pendekatan seni dan budaya, seperti yang dilakukan oleh muridnya, Sunan Kalijaga.
Pemahaman Sunan Bonang akan seni dan budaya Jawa didapatkan dari ibunya yang berasal dari keluarga bangsawan di Tuban. Dari sanalah Sunan Bonang memahami betul seluk beluk kesenian Jawa, terutama bidang kesusastraan. Dia dikenal piawai dalam menggubah macapat, yakni puisi dan tembang tradisional Jawa.
Dakwah Sunan Bonang di Kediri
Meski demikian, sebelum menggunakan pendekatan seni, model dakwah Sunan Bonang diketahui cenderung mengandung kekerasan. Dalam Babad Daha-Kediri, dikisahkan bagaimana Sunan Bonang menghancurkan arca-arca yang dipuja masyarakat Kediri.
Dituliskan juga bahwa Sunan Bonang pernah mengubah aliran sungai Brantas agar daerah-daerah tertentu yang dilintasi sungai tersebut kekurangan air. Daerah tertentu yang dimaksud adalah wilayah yang tidak menerima dakwah dan syiar Islam yang dibawanya. Akibatnya, masyarakat yang menolak kehadiran Islam dan Sunan Bonang harus menderita kekeringan.
Konsekuensi dari pendekatan dakwah yang cukup represif tersebut, seperti termaktub dalam Babad Daha-Kediri, mengakibatkan Sunan Bonang menghadapi resistansi dari masyarakat Kediri berupa konflik. Adapun dua tokoh utama yang kala itu sangat menentang Sunan Bonang adalah Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang notabene penganut ajaran Bhairawa-bhairawi.
Setelah gagal dengan misi dakwah di Kediri, menurut naskah Hikayat Hasannuddin, Sunan Bonang lalu bertolak ke Demak, memenuhi panggilan Raden Patah. Di sana ia diberi amanat untuk menjadi imam Masjid Agung Demak.
Setelah dari Demak, Sunan Bonang pergi ke tempat kakak kandungnya, Nyai Gede Maloka di Kadipaten Lasem, Jawa Tengah. Menurut naskah Carita Lasem, di sana Sunan Bonang diminta untuk menjaga dan merawat makam nenek mereka yang berasal dari Champa, yaitu putri Bi Nang Ti, di Puthuk Regol.
Memanfaatkan wahana kesenian dan kebudayaan
Pasca kegagalan dakwahnya di Kediri, Sunan Bonang mulai memanfaatkan wahana kesenian dan kebudayaan guna lebih menarik simpati masyarakat. Dalam buku Atlas Wali Songo diterangkan, Sunan Bonang dikenal sebagai penggubah tembang-tembang Jawa, kemudian menjadikannya berbagai jenis gending untuk berdakwah.
Masyarakat juga mengenalnya sebagai tokoh yang menemukan sekaligus mendesain seperangkat gamelan Jawa yang disebut bonang. Yaitu alat musik logam, berbentuk mirip gong, tetapi dengan ukuran dan bentuk yang lebih kecil. Setiap alat musik tersebut dibunyikan, pasti banyak penduduk yang berdatangan ingin mendengarkan sekaligus menyaksikan pertunjukan Sunan Bonang.
Dengan cara itulah Sunan Bonang bisa menyebarkan ajaran Agama Islam kepada masyarakat. Dimana yang awalnya mencari simpati masyarakat, kemudian perlahan-lahan sang Sunan memperkenalkan nilai-nilai Islam kepada warga.
Tembang-tembang yang diajarkan oleh Sunan Bonang selalu berisikan nilai-nilai keislaman, sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati tanpa paksaan. Salah satu tembang hasil karya Sunan Bonang yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah tembang berjudul “Tombo Ati” di atas.
Nama alat gamelan bonang diyakini diambil dari nama tempat yang menjadi kediaman Sunan Bonang, yaitu Desa Bonang di daerah Lasem. Sebuah literatur menyebutkan bahwa penggunaan alat musik bernama Bonang ini dijadikan sebagai panggilan untuk Raden Makdum. Sementara literatur lain menyebutkan bahwa penggunaan nama Sunan Bonang berasal dari Bong Ang yakni sesuai dengan marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Strategi dakwah Sunan Bonang
Menurut R. Poedjosoebroto dalam karyanya “Wayang Lambang Ajaran Islam”, kata “bonang” berasal dari dua suku kata, yakni “bon” dan “nang”, yang artinya induk kemenangan. Pada masanya, selain digunakan sebagai alat pengiring pertunjukan wayang, bonang juga dipakai aparat desa untuk mengumpulkan warga guna memberi tahu wara-wara dari pemerintah.
Selain penggubah tembang dan penemu bonang, Sunan Bonang juga dikenal sebagai seorang dalang. Memanfaatkan pertunjukan wayang, penyebaran ajaran Islam yang dilakukannya menjadi lebih mudah diterima masyarakat kala itu. Berbeda ketika ia menerapkan cara-cara yang cenderung represif ketika berdakwah di Kediri.
Strategi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Bonang dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa salah satunya mengikuti jejak ayahnya, yaitu dengan mendirikan pesantren di Tuban. Di pesantren inilah Sunan Bonang mendidik kader-kader Islam yang nantinya turut menyiarkan Islam ke seluruh Pulau Jawa.
Selain menjadikan pesantren di Tuban sebagai basis wilayah dakwah, beliau juga menyebarkan Islam dengan cara keliling. Dia banyak menggunakan karya sastra berupa carangan pewayangan dan suluk atau tembang tamsil.
Beberapa carangan pewayangan dibuat sendiri oleh Sunan Bonang ataupun digubah bersama Sunan Kalijaga. Diantaranya yaitu Petruk Dadi Ratu, Layang Kalimasada, Dewa Ruci, Pandu Pragola, Semar Mbarang Jantur, Mustakaweni, Begawan Ciptaning, Obong Bale Sigala-gala, Wahyu Widayat, Kresna Gugah, dan lain-lain.
Adapun karya sastra yang digubahnya adalah Kitab Bonang (Suluk Sunan Bonang), Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Suluk Jebeng, Suluk Wregol, dan lain-lain. Suluk- suluk tersebut berisi pengalaman Sunan Bonang menempuh jalan tasawuf.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M di desa Lasem Jawa Tengah. Jenazahnya diambil oleh santri-santri Sunan Bonang yang berasal dari Madura dan akan dibawa ke Madura. Sayangnya, di tengah perjalanan, tepatnya di perairan Tuban, perahu para santri kandas dan pada akhirnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban.
Namun para santri Sunan Bonang yang berasal dari Madura tetap diizinkan untuk membawa kain kafannya saja untuk dibawa pulang ke Madura. Sehingga makam yang sering diziarahi masyarakat ialah makam yang berada di Tuban. Sampai saat ini makam Sunan Bonang tidak pernah sepi dari kunjungan para peziarah yang hendak bertawassul dan bermunajat kepada Allah di pesarean ulama.
Kontributor: Siti Aisah*
Editor: Oki Aryono
*Lulusan S1 Ilmu Komunikasi Unair