Keislaman Negeri Muslim

Keislaman Negeri Muslim

Fenomena Peziarah Gus Dur
KH Salahuddin Wahid

Suaramuslim.net – Sekitar 40 tahun lalu saya pernah bertanya kepada ayah mertua saya, ke Haji Saifudin Zuhri, mengapa makin banyak jumlah muslim di suatu negara makin miskin dan makin tertinggal di negara itu? Saya juga masih ingat jawaban beliau, “Apa maksud pertanyaan kamu? Apa kita harus menjadi Kristen dulu supaya bisa maju?” Nada suara beliau agak marah.

Saya menjawab tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin mendapat jawaban dari pertanyaan di dalam diri saya yang tidak bisa saya jawab sendiri. Mengapa ajaran Islam yang begitu baik kok tidak bisa membuat negara berpenduduk mayoritas muslim menjadi baik? Nada suara beliau melunak dan menjawab bahwa tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Masalahnya amat kompleks. Sampai hari ini pertanyaan itu masih tetap belum terjawab dengan memuaskan dan mungkin kini saya yang harus menjawab pertanyaan tersebut.

40 tahun lalu, menurut saya kondisi Indonesia belum separah sekarang. Penegak hukum masih lebih baik, harapan akan masa depan Indonesia yang baik masih lebih tinggi. Mayoritas rakyat Indonesia masih percaya pada konsep akselerasi pembangunan 25 tahun yang baru dimulai pada tahun 1969. Saat itu masih terlihat jelas adanya muslim abangan dan kelompok santri. Waktu itu banyak yang yakin bahwa kalau pendidikan agama makin ditingkatkan, maka kehidupan bangsa akan lebih baik.

Saat ini jelas lebih banyak jumlah orang salat di Indonesia. Menurut survei Flinders University Australia, 96% muslim Indonesia salat dan 99% berpuasa. Kelompok yang dulu disebut abangan, kini banyak yang salat dan banyak yang pergi haji. Di bandara, stasiun, mal, kantor, kita lihat banyak orang salat pada waktu Zuhur, Ashar dan Magrib.

Tapi keislaman itu hanya tampak di masjid, mushala dan di rumah. Banyak di ruang kantor, keislaman itu tidak tampak, disiplin kurang, kejujuran langka, korupsi kecil dan besar marak, di banyak tempat kita lihat orang miskin kekurangan makan, orang tidak punya biaya untuk mengobati sakit maag yang parah. Ada jarak yang lebar antara keislaman kita yang vertikal (hablumminallah) dengan keislaman yang horizontal (hablumminannas).

Mempertanyakan Keislaman Indonesia

Banyak yang tergelitik oleh tulisan Profesor Komarudin Hidayat di Kompas berjudul Keislaman Indonesia pada Desember 2011 tentang hasil survei Scherezade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University dengan judul How Islamic are Islamic Countries yang hasilnya mengejutkan dan dipertanyakan banyak orang.

Dari 208 negara yang disurvei negara paling Islami adalah Selandia Baru, Luxemburg ada di urutan kedua. Amerika Serikat ke-25, Malaysia adalah negara OKI terbaik pada peringkat 38, lalu Kuwait pada urutan ke-48 dan Brunei ke-65. Yang menimbulkan pertanyaan ialah Tanzania pada urutan ke-73, Timor Leste ke-107, jauh di atas Indonesia pada peringkat 140. Rata-rata negara OKI berada pada angka 139.

Ada perbedaan dalam menanggapi hasil survei itu. Pertama, kelompok yang langsung membenarkan hasil survei menyebutkan memang negara Barat itu lebih Islami dibanding negeri Islam. Mereka mengacu kepada pendapat ulama besar Muhammad Abduh yang pada akhir abad ke-19 menyatakan bahwa di Eropa tidak ada muslim tapi masyarakatnya Islami.

Ada pula yang menolak hasil survei itu. Fuad Amsyari, Ph.D menyatakan bahwa hasil survei itu lucu. Menurutnya kalau ditanya mana negeri paling Islami, kita menjawab Arab Saudi, Kuwait, Iran, Mesir atau Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Kalau orang mengatakan bahwa negara kafir atau negara sekuler seperti Selandia Baru atau Luxemburg mungkin ada agenda tertentu dengan dicarikan alasan-alasannya.

Karena penasaran maka saya menelusuri melalui komputer hasil survei dua ilmuwan dari George Washington University itu. Saya akan mencoba membuat uraian ringkasnya.

Pertanyaan dasarnya; seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial? Seberapa jauh negara yang menyatakan sebagai negara Islam yang dibuktikan dengan keanggotaan dalam OKI menjalankan kebijakan yang didasarkan pada ajaran Islam? Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator tersebut diambil dari Alquran dan hadis dikelompokkan menjadi lima aspek.

(Bersambung ke Keislaman Negeri Muslim (2))

Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng: 2017.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment