Ketika Caci Maki Dibalas dengan Prestasi

Ketika Caci Maki Dibalas dengan Prestasi

Ketika Caci Maki Dibalas dengan Prestasi

Suaramuslim.net – “Ibadurrahman” yang berarti hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih memiliki ciri-ciri unik, di antaranya: membalas perkataan jahil dengan kata-kata yang sejuk, penuh kedamaian dan keselamatan. Dalam surah Al Furqan ayat 63 disebutkan, “apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Dalam sejarah, orang-orang besar memiliki karakter luhur ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam misalnya, selama 23 tahun berdakwah, sudah berapa ejekan, olokan, caci maki yang disematkan kepada beliau. Ada yang menuduhnya gila, tukang sihir, pendusta dan berbagai cacian lainnya. Namun apa yang keluar dari beliau justru kata-kata dan perbuatan-perbuatan yang penuh kedamaian.

Saat beliau ditolak dakwahnya dari Thaif bahkan dilempari batu hingga darahnya menyucur, kata-kata yang beliau sampaikan di luar prediksi orang kebanyakan. Padahal ada juga malaikat yang sudah menawari beliau untuk menimpakan gunung kepada mereka. Akan tetapi, yang keluar dari lisan manusia teragung ini adalah, “Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku; sesungguhnya mereka tidak tahu”. Beliau tidak marah. Bahkan, menginginkan ada di antara keturunan mereka yang bisa menerima petunjuk Islam.

Pada peristiwa “Fathu Makkah” (Pembebasan Kota Mekah), sebenarnya beliau punya kesempatan besar untuk memberangus orang-orang tertawan yang dahulu selalu menghina, mengejek, mengolok-olok dan merendahkan beliau saat di Mekah. Hanya saja, sikap beliau sama, air tuba dibalas dengan air susu, “Aku mengatakan sebagaimana perkataan Yusuf. Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu. Pergilah! Sekarang kalian bebas.”

Belum lagi contoh yang dari sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, dan generasi-generasi agung setelahnya. Bagaimana mereka mampu bersikap sebagaimana dicontohkan oleh sang nabi.
Lebih dari itu, di bumi nusantara, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, pada masa penjajahan kolonial Belanda, ada contoh menarik yang perlu diangkat di sini. Di sekolah Algemene Middelbare School (AMS) Bandung, ada pemuda yang diejek oleh gurunya –yang merupakan ‘meneer’ Belanda– lantaran bahasa Belandanya kurang fasih. “Engkau dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) mana?” tanyanya dengan nada mengejek. “Dari MULO Padang,” jawab pemuda tersebut. “Eh, pantaslah!” jawab sang meneer.

Selama 3 bulan di AMS Bandung merupakan hari yang berat bagi sang pemuda. Cacian dan ejekan masih terus disematkan padanya. Menariknya, dia tidak kecil hati, malah ingin membuktika prestasi. Dirinya terlecut untuk mengubah ujian tersebut menjadi tantangan bukan beban. Mulailah ia bersungguh-sungguh mempelajari bahasa belanda secara lisan.
Setiap sore, bakda maghrib ia gunakan untuk belajar bahasa latin dan materi-materi pelajaran sekolah. Hampir tidak ada waktu yang terbuang percuma. Tiap hari selepas sekolah, waktunya dihabiskan untuk membaca buku di perpustakaan Gedung Sate. Bahkan menarget bisa menghabiskan satu buku dalam seminggu. Buku yang berbahasa belanda itu dibacanya keras-keras. Dengan terus berulang ia pacu semangatnya untuk berbahasa Belanda secara lisan.

Ketika ada perkembangan yang cukup baik dengan kualitas bahasa Belanda secara lisan, ia memberanikan diri untuk ikut lomba deklamasi puisi berbahasa Belanda. Kala itu, ia membacakan puisi Multatuli yang berjudul “De Bandjir”. Ia bertlatih bersama kawannya dengan sangat serius.

Saat perlombaan sudah tiba waktunya, pemuda ini ikut berdeklamasi dengan memakai baju adat Minang. Selama sepuluh menit ia mendeklamasikan puisi. Tak dinyana, puisi itu mendapat tepuk tangan yang cukup meriah dari peserta dan guru yang hadir. Termasuk sang meneer dengan senyum sinis.

Begitu mengagumkan. Siapa sangka, pemuda yang dulunya diremehkan dan dicaci oleh guru Belanda tersebut, pada lomba deklamasi puisi Bahasa Belanda ini mendapatkan juara I. Buku karangan Westenenk yang berjudul “Mensen Tigger Buren Zyn” menjadi hadianya. Pemuda ini luar bisa, caci maki dan ejekan dari gurunya bisa dibalas dengan prestasi. Pemuda ini bernama Mohammad Natsir yang di kemudian hari menjadi pahlawan di bumi pertiwi. (Baca: “Majalah Tempo: Politik Santun di Antar Dua Rezim” [20/07/2008], hal. 54)

Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang besar. Kata jahil dibalas dengan kata sejuk dan keselamatan. Caci maki dibalas dengan prestasi. Apa yang dilakukan Natsir Muda adalah salah satu contoh rill dari cerminan Ibadurrahman.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment