Ketika Hijab Mengubah Hidupku

Ketika Hijab Mengubah Hidupku

Ilustrasi Wanita Berhijrah. (Ils: Ana Fantofani)
Ilustrasi Wanita Berhijrah. (Ils: Ana Fantofani)

Dukungan Keluarga

Sekitar akhir 2012, Alhamdulillah, aku memantapkan diri untuk berhijab, walaupun ada perasaan takut tidak dibolehkan dari pihak keluarga, tapi ternyata sekali lagi aku bersyukur Allah memudahkan jalan hijrahku. Keluargaku sama sekali tidak melarangku untuk berhijab, bahkan mereka mendukung dan selalu mengingatkan jika aku kelupaan keluar rumah tidak memakai hijab.

Tidak lama setelah aku menyelesaikan UNAS, sambil menunggu ijazah keluar, aku bekerja. Ya, lagi-lagi Allah membantuku, pikirku mungkin sangat sulit mendapat pekerjaan dengan memakai hijab, tapi Alhamdulillah, Allah memudahkannya.

Apakah sudah selesai sampai di sini? Apakah menurut kalian ini sudah “happy ending? Berhijab? Centang. Didukung keluarga? Centang. Dapat Perkerjaan? Centang. Terus apalagi yang belum? UJIANNYA BELUUUM. />.<\”
Aku kira hijrah itu soal penampilan. Aku sudah berhijab. Sudah. Selesai. Tamat.

Tanpa aku sadari, bertahun-tahun aku lalai terhadap perintah-Nya, kuabaikan peringatan-Nya sehingga membuatku kembali semakin jauh dari-Nya.

Ujian Ketika Berhijab

K-P-O-P!

Ya, aku pernah terjerumus fanatisme salah satu boyband dari negeri ginseng itu. Sebenarnya semenjak SMP aku tidak asing dengan KPOP, seputar boybandnya atau dramanya, karena kakakku sendiri termasuk seorang penggemar KPOP, tapi dia tidak terlalu fanatik. Namun aku? Entahlah aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa begitu menyukai mereka.

Mulanya sekitar awal tahun 2015. Aku menghadiri suatu event KPOP yang memang rutin digelar di Surabaya. Dari sanalah aku mengenal boyband itu, searching para anggotanya, mendownload semua videonya, memvoting mereka agar lagu mereka selalu berada di atas chart music. Pokoknya segala hal yang membuatku rugi bukan saja secara materi, namun waktu dan tenaga.

Mulai dari merchandise dan album mereka semua aku beli. Aku kalap. Mataku tertutup, kupingku seakan tuli jika aku mendengar berita tentang anak-anak Palestina. Aku hanya kasihan, tapi sama sekali tidak berkontribusi. Allah pun terang-terangan pernah menegurku dengan aku yang ditipu online shop yang menjual album Korea itu. Aku kehilangan uangku yang nominalnya menurutku tidak sedikit, tapi aku terus mengulanginya lagi hingga 3x kali aku tertipu dengan online shop yang berbeda.

Mungkin saking gregetnya Allah denganku yang gak mau berubah atau malah justru karena Allah masih sangat sayang kepadaku hingga tak pernah bosan memberiku peringatan.

Puncaknya di Februari 2017. Hari Ahad Subuh saat itu, aku dan kakakku berangkat ke Malang untuk jalan-jalan. Papa mengantar kami ke stasiun Gubeng, tidak ada firasat pagi itu, beliau tidak menitipkan pesan apa-apa, kami berdua pun tidak punya firasat apa pun.

Malamnya, ketika kami pulang dari Malang, kedua adikku mengabariku kalau papa drop dan dibawa ke RS Dr. Soetomo. Memang, dari bulan Januari beliau mengalami sakit yang kami sekeluarga mengangggapnya sakit biasa, hanya batuk dan meriang.

Pukul 10 malam, mama mengabari kami bahwa kondisi papa kritis. Aku pun segera melaksanakan salat Isya dan berdoa agar papa diberi kesembuhan. Ya, manusia hanya bisa berdoa dan berikhtiar, hasil akhir tetap berada di tangan Allah. Dan Allah pun berkehendak lain, papa berpulang, sesaat sebelum azan Subuh.

Kakak dan adikku menangis, bahkan kakakku sempat menyalahkan dirinya sendiri.

”Seandainya saja papa gak ngantar kita, Nit..” Ucapnya di sela tangisnya.

Aku yang waktu itu baru bangun masih merasa kalau ini hanya mimpi, tidak ada setespun air mata yang menetes. Setelah azan Subuh berkumandang, aku pergi ke kamar mandi untuk wudhu dan menunaikan salat Subuh.

Allahu akbar, aku bertakbir, dan detik itu juga tangisku pecah. Ini kali pertama aku menangis dalam salat, setiap gerakannya ada getaran. Ya Allah, ampuni hamba, ampuni hamba, ampuni hamba yang belum bisa membahagiakan orang tua hamba. Ampuni hamba yang lalai ya Rabb, yang datang kepadamu hanya ketika hamba ada masalah. Hanya itu yang bisa aku panjatkan seusai salam.

Kepergian papa membuat keluarga kami terpukul. Namun aku beruntung, mama masih bisa tersenyum bahkan tertawa, meskipun aku tahu, di balik tawanya tersimpan kesedihan yang dalam.

Lambat laun kami bisa mengikhlaskan kepergian papa. Memang, tidak ada yang tahu umur seseorang, jika kontrak kita di dunia sudah habis, kita bisa apa?

Akhir April boyband favoritku mengadakan konser di Jakarta. Aku ingin menghadirinya ketika suasana yang masih berduka, atau datang untuk melepas penat. Dan ketika aku meminta izin ke mama, beliau mengizinkan.

Singkat cerita, hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Finally, setelah sekian lama nge-fans akhirnya aku bisa bertemu mereka. Tapi entah mengapa, aku sama sekali tidak merasa happy. Panggung dan efek yang sangat megah tidak membuatku terkesima, penampilan mereka sama sekali tak membuatku merasa senang, semuanya terasa hambar.

Aku mulai memandang langit-langit gedung yang tinggi menjulang, dan membatin “Bagaimana jika bangunan ini roboh? Bagaimana jika aku diwafatkan dalam keadaan bermaksiat seperti ini? Astaghfirullah.” Kataku

Halaman Selanjutnya …

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment