Ketika Intoleransi Menyeruak di Media

Ketika Intoleransi Menyeruak di Media

Narasi tayangan Editorial Media Indonesia di stasiun Metro TV pada 1 Desember lalu dengan tema Meneladani Toleransi Sang Nabi menuai kecaman. Pasalnya dalam narasi itu menyebutkan umat Islam sebagai kaum intoleran.

“Celakanya intoleransi itu dipraktekkan untuk kekuasan politik dengan mengatasnamakan agama. Lebih celaka lagi, mereka berencana berkumpul merayakan intoleransi itu dengan gegap gempita” kata narator di Editorial itu dengan intonasi tertentu.

Menyikapi hal ini Ketua Umum DPP Pengusaha Indonesia Muda, Sam Aliano mendatangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia pada Selasa (5/12). Ia melaporkan Metro TV atas pernyataan narasi siaran yang menyebut Reuni Alumni 212 adalah kaum intoleran yang merayakan kemenangan dari praktek intoleransi.

Sementara itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Timur Afif Amrullah mengatakan tayangan Editorial Media Indonesia di Metro TV bersinggungan dengan dua hal. Tayangan yang bernilai agama seperti terlihat dari judul yang dibahas sudah ada unsur maulid nabi serta gambar aksi 212, dan bernilai jurnalistik. Afif menilai dari sudut  agama bisa melecehkan satu golongan dan dari sudut jurnalistik kalau tidak bisa memberikan fakta dari apa yang disampaikan, akan masuk kepada penyebaran berita bohong, fitnah, tidak berimbang, tidak adil serta menghasut.

“Saat media telah mencampurkan fakta dan opini artinya media itu melanggar kode etik siaran. Jika ada tayangan yang bernilai provokatif maka rakyat bisa melakukan pengaduan hingga KPI melakukan tindakan yaitu penghentian program.” Papar Afif dalam Dialoag Ranah Publik Suara Muslim Radio Network hari ini (6/12).

Afiif menilai bahwa industri televisi dan pers saat ini adalah industri yang sudah memiliki kepentingannya masing-masing dan punya agenda untuk menggiring opini publik. Netralitas dalam jurnalistik menjadi ambigu saat satu fakta dengan fakta yang lain dilihat dari jurnalis dan media yang berbeda. Berkaitan dengan hal ini, ia mengajak pemirsa televisi aktif melaporkan ke komisi penyiaran jika mendapati ada pelanggaran kode etik.

Sementara itu Pimpinan Umum Kantor Berita Umat Seruji Ferry Koto mengatakan saat ini polarisasi di masyarakat kian menjadi-jadi karena media juga ikut terpolarisasi. Media semestinya mengawal demokrasi Indonesia agar sehat bukan malah memecah belah dan menghasut satu kelompok dengan kelompok lain.

“Sebagai pers dalam memberitakan harus berupa fakta dan bukan pada opini secara pribadi. Tayangan Metro TV sudah sangat-sangat subyektif dan hanya berdasarkan pada pendapat pribadi”,  ujar Ferry.

Ferry justru mempertanyakan intoleransi seperti apa yang dimaksud oleh redaksi Metro TV. Menurutnya tidak ada dalam aksi 212 tahun 2016 atau bahkan reuni 212 dengan maksud merayakan intoleransi dan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Bahkan umat Islam sangat toleransi. Saat aksi 212 ada umat agama lain yang menikah di Gereja Katedral justru dibantu peserta aksi agar bisa masuk Gereja. Umat Islam membantu, melindungi serta memberi jalan sehingga pernikahan berlangsung tertib dan aman.

“Rumput pun dijaga, tidak diinjak, apalagi manusia”, kata Ferry. Sehingga apa yang disampaikan oleh tayangan itu adalah berita bohong, dan bisa masuk ranah hukum pidana ujaran kebencian, pungkasnya.

Reporter : Nurul Adha Nia
Editor : Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment