Ketika Mahkamah Konstitusi Menabrak Rambu-Rambu Moral   

Ketika Mahkamah Konstitusi Menabrak Rambu-Rambu Moral   

Sidang Sengketa Pilpres MK Tolak Dalil Prabowo-Sandi Ungguli Jokowi-Ma'ruf
Suasana sidang MK sengketa Pilpres 2019 (Foto:Istimewa)

Suaramuslim.net – Plesetan untuk Mahkamah Konstitusi (MK) kembali muncul. Kalau sebelum sidang Sengketa Pilpres, MK dianggap sebagai kepanjangan dari Majelis Kalkulator, maka pasca sidang disebut sebagai Majelis Kentut. Disebut Majelis Kalkulator karena opini masyarakat sudah terbentuk bahwa personel MK bisa dibeli dan diatur oleh sang Petahana. Petahana dinilai berpeluang besar untuk mengatur perkara yang bisa memenangkannya bila menggunakan jalur MK. Disebut Majelis Kentut karena hilangnya moral MK yang dinilai telah menutup mata terhadap berbagai kecurangan yang dikuatkan oleh saksi dan barang bukti. MK dinilai hilang rasa keadilannya dalam memutuskan perkara dan menganggap kecurangan tidak ada, karena bukti-bukti yang diajukan dianggap sangat lemah.

Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan pemohon, dalam hal ini kubu 02, maka masyarakat semakin hilang harapannya pada MK. Mahkamah Konstitusi dinilai cacat moral, karena tidak memiliki nyali dalam menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran.

Dari Majelis Kalkulator hingga Majelis Kentut

Penolakan semua permohonan, yang diajukan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, oleh para hakim MK benar-benar tragedi besar. Hal ini sulit hilang dan tertancap dalam catatan sejarah buram di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari tidak bergemingnya MK ketika saksi-saksi membawa barang bukti adanya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif. MK dianggap tutup mata terhadap pelanggaran normatif, sehingga kepercayaan masyarakat benar-benar runtuh terhadap lembaga ini.

Permohonan tim kuasa hukum 02 semuanya tak digubris, dan tidak ada satu pun yang dianggap benar. MK menilai bahwa pemohon hanyalah membuat narasi tanpa bukti. Ini artinya bahwa barang bukti yang sekian banyak dinilai hoax dan manipulatif. Tak satupun permohonan kubu 02 dikabulkan. Dalam perspektif MK bahwa Pilpres kali ini dinilai jujur, adil, dan demokratis. Kecurangan yang demikian kasat mata, mulai dari foto, gambar, dan video dianggap sebagai narasi jahat terhadap kubu Petahana. Dengan adanya narasi jahat ini, dalam pandangan MK, persaksian dan bukti-bukti yang dipaparkan oleh saksi-saksi itu dinilai sebagai berita bohong.

Arah penolakan para hakim MK sebenarnya sudah terbaca sejak awal. Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil penghitungan suara yang memenangkan kubu 01, maka opini dikembangkan agar kubu 02 tidak menyelesaikan melalui jalur kekerasan seperti demonstrasi. Kubu 02 disarankan untuk memperotesnya lewat jalur hukum, yakni menggunakan jalur MK, bila merasa dicurangi. Saat itu kubu Prabowo sudah memutuskan tidak akan menggunakan MK. Namun karena dorongan dan desakan yang demikian kuat, untuk menggunakan jalur MK, maka kubu 02 menggunakannya.

Ketika kubu 02 benar-benar memilih jalur MK, ada upaya untuk mendelegitimasi MK karena bukti-bukti kecurangan kubu 01 mulai terkuak. Oleh media massa diframing bahwa MK dianggap tidak memiliki wewenang untuk mendiskualifikasi pasangan bila terbukti curang. Pada saat itu, saat sidang sengketa Pilpres, harapan pada MK untuk berlaku adil begitu besar. Karena opini masyarakat sudah terbentuk bahwa MK bisa benar-benar memutuskan secara adil.

Namun apa lacur, saat pembacaan hasil sidang, ternyata MK menolak semua permohonan 02. Sehingga pemenangnya adalah pihak 01. Opini masyarakat yang berkembang selama ini bahwa menggunakan jalur MK hanyalah menunda kekalahan bagi 02 benar-benar terbukti, dan pendukung Prabowo harus menerima pil kekalahan ini. MK benar-benar berhasil menggiring Prabowo untuk bisa dilucuti sebagai pihak yang harus dikalahkan secara tragis.

Dengan adanya keputusan itu, maka opini masyarakat benar-benar terbukti bahwa MK adalah mahkamah paling sadis di dunia. Dikatakan sadis, karena hilangnya nurani dan etika dalam memutuskan sebuah perkara. Adanya penggelembungan suara dan DPT Palsu, ketidaknetralan birokrasi dan polisi, dan berbagai kecurangan dengan bukti-bukti yang kuat, dianggap sebagai narasi jahat belaka. Dengan adanya keputusan MK ini, maka masyarakat benar-benar hilang kepercayaannya pada MK. Bahkan publik menilai bahwa MK seolah melegitimasi bolehnya berbuat curang dalam Pilpres.

Ketika MK Tanpa Moralitas

Hilangnya trust masyarakat pada kinerja MK tidak lain karena MK mengabaikan social justice (keadilan sosial). MK seolah acuh tak acuh terhadap keresahan sosial dan menelantarkan berbagai barang bukti yang sangat banyak. Ketidakpercayaan MK terhadap barang bukti selama di persidangan, dan bahkan bukti-bukti itu dianggap sebagai penguat adanya narasi jahat dari pemohon. Sehingga tidak salah apabila semua bukti dan kesaksian, yang dibawa ke persidangan, tak bernilai apa-apa. Keresahan sosial yang dirasakan masyarakat seperti kecurangan masif, terstruktur, dan sistematis, oleh MK dianggap angin saja.

Ketika pemohon membacakan Al Quran surat An-Nissa ayat 165, yang memperingatkan kepada hakim MK untuk berbuat adil bila memutuskan perkara, seolah hanya sebagai dongeng. Para hakim MK seolah hilang rasa takutnya pada Tuhan dan mengabaikan tekanan masyarakat agar berbuat adil. Masyarakat sedemikian tinggi harapannya kepada Tuhan, sebagai Pembawa Keadilan. Namun MK seolah tak memiliki getaran rasa takut pada Tuhan, sehingga memenangkan yang kalah, dan mengalahkan yang menang.

Harapan masyarakat agar para hakim MK takut terhadap pengadilan Tuhan ternyata terkalahkan karena hilangnya moralitas sebagai bahan pijakan, dan keberanian MK dalam menabrak rambu-rambu moral. Hanya kepada Allah kita berharap dan hanya kepada-Nya meminta pertolongan, ketika nilai-nilai moral diabaikan dan keadilan terbeli oleh kepentingan jangka pendek.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment