Suaramuslim.net – “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13). Mengawali tulisan tentang pendidikan identitas dengan potongan ayat ini, semoga bisa menjadi penyemangat untuk meraih identitas kita di hadapan Allah SWT, karena kualitas ketakwaan kita kepada-Nya.
Memahami identitas diri
“Mengapa ayah dan bundamu memberi nama A?”
“Mengapa kamu sekolah di sini?” Dan seterusnya.
Kata “mengapa” merupakan pertanyaan yang bagi sebagian anak cukup kesulitan memberikan jawaban. Bahkan, kita yang dewasa juga membutuhkan referensi untuk menjawabnya. Referensi pengetahuan, pengalaman diri, dan bisa juga pengalaman orang lain.
“Mengapa”, akan mudah dijawab bagi anak yang memahami dirinya dengan baik.
Identitas merupakan potret diri yang terdiri atas banyak bagian seperti identitas karier, identitas politik, identitas agama, identitas intelektual, minat, budaya, kepribadian, dan lain-lain. Identitas juga dapat diartikan sebagai konsep diri yang terdiri dari tujuan, nilai-nilai dan keyakinan seseorang yang memiliki komitmen. (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Saya lebih cenderung arti identitas sebagai konsep diri. Anak dengan konsep diri yang baik, akan mampu memperlihatkan refleksi dirinya dengan baik. Demikian juga dengan orang lain, akan mampu melihat refleksi diri anak tersebut dengan baik dan benar.
Misalnya, seorang anak dengan tubuh kecil dan kurus, tapi ia mampu menghadirkan kepercayaan diri dan keberaniannya. Ia akan merefleksikan dirinya dengan sikap yang gagah dan pantang mundur. Dan orang di sekitarnya juga akan terbangun persepsi keberanian dari dalam dirinya.
Beberapa kali Al-Qur’an mengingatkan kita untuk memahami semua yang kita alami sebagai sebuah ilmu dan pelajaran. Seperti Q.S Ar-Rum ayat 8 menyampaikan.
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.”
Ayat ini, memberikan isyarat bahwa memberikan pendidikan konsep diri kepada anak-anak kita, merupakan peletakan batu pertama untuk membangun fondasi ketauhidan dan karakter anak-anak kita.
Memaksimalkan peran, menciptakan harmonisasi
Masalah identitas saat ini, menjadi banyak pemicu persoalan bangsa dan negara. Sekolah, merupakan wadah bertemunya semua perbedaan; gender, ide, latar belakang, dan lainnya wajib menghadirkan pendidikan konsep diri secara utuh dan benar.
Bagaimana setiap pribadi mampu memberi warna untuk saling memperindah dan menyeimbangkan kehidupan ini. Desain pendidikan identitas harus didesain dari hulu ke hilir. Ibarat kehidupan bernegara, dimulai dari pemimpin negara hingga rakyatnya, bagi sebuah organisasi dimulai dari pucuk pimpinan kepada anggota, ibarat rumah dimulai dari orang tua kepada anak-anaknya.
Sebagai tempat pendidikan utama, keluarga wajib menjadi mentor pertama dalam mengajarkan pendidikan identitas ini. Bagaimana menanamkan identitas sebagai manusia beragama, identitas sebagai anak laki-laki yang mampu memberikan perlindungan, identitas sebagai anak perempuan yang tidak manja, dan pelajaran pembentukan konsep diri lainnya. Karena penyimpangan identitas bisa terjadi ketika kita tanpa sadar menerapkan sesuatu yang kurang tepat dalam menjalankan pendidikan keluarga.
Lembaga pendidikan, sekolah merupakan rumah kedua yang menjalankan proses pembelajaran mengenal kehidupan yang lebih luas. Maka pembelajaran tentang identitas menjadi sangat penting.
Bagaimana anak mampu mengenal kekuatan dan kelemahannya, mengkolaborasikan dengan beragam kepribadian di sekolah, yakin dengan diri dan semua yang ada pada dirinya. Konsep diri dari keluarga dan disempurnakan dengan proses pendidikan yang tepat, akan menghadirkan identitas diri anak yang berkualitas.
Di sinilah tantangan keharmonisan antara pendidikan sekolah dan pendidikan rumah. Bagaimana orang tua menjadi teladan utama, guru sebagai tokoh idola. Bagaimana lingkungan sekolah menjadi rumah kedua, dan rumah orang tua menjadi surga. Konsep diri yang baik, akan menguatkan anak untuk menghadapi dinamika psikologisnya baik di rumah, sekolah, dan sosial masayarakat.
Saatnya anak memahami kisah keluarga
Era baru telah dimulai, hampir tak ada batas ruang dan waktu untuk anak dan orang tua untuk saling menjadi guru. Mari mengantarkan proses pendidikan cerdas, belajar dengan kelas yang lebih luas, guru yang lebih beragam, dan referensi tanpa batas. Maka, menciptakan strategi pembelajaran baru harus dilakukan oleh sekolah dan rumah agar konsep diri anak tumbuh dengan sempurna.
Saya masih meyakini bahwa untuk membangun konsep diri generasi, berkisah adalah sebuah cara yang masih sangat relevan untuk menumbuhkan “rasa” dalam diri kita.
Apakah kisah hanya bisa menyentuh anak usia di bawah 10 tahun? Tentu tidak, melalui kisah kita bisa memasukkan pelajaran dan membuka cara pandang orang lain.
Bukankah sepertiga dari isi Al-Qur’an adalah kisah? Melalui kisah kita bisa mengambil pelajaran hidup, melalui biografi para tokoh kita belajar melihat perjalanan kehidupan, dan seterusnya.
Jika sekolah sudah mengambil bagian berkisah tentang tokoh-tokoh besar, mengajak berpikir tentang dunia global, maka saatnya orang tua mengajak anak-anak menapaki perjalanan kehidupan keluarga.
Anak perlu informasi tentang perjuangan ayah dan bundanya, bagaimana ayah dan bunda mengatasi masalah, hidup penuh dengan optimisme, dan betapa ayah bunda menginginkan kehadiran sang buah hati, membuka rahasia nama dan doa ayah bunda yang disematkan pada nama itu.
Berkisahlah tentang prinsip keluarga, Rasulullah dan para sahabat yang menjadi idola. Mari mengajak generasi kita untuk memahami, meneladani, dan melaksanakan perlahan bersama-sama, bukan hanya anak-anak, tetapi kita juga.
Di penghujung tulisan ini, saya ilustrasikan seorang anak yang memperkenalkan dirinya. Penilaian tentang konsep diri si anak bebas kita terjemahkan dari sudut pandang beragam keilmuan.
“Perkenalkan, nama saya Ammar Zulfikar Nugroho. Papa mama ingin saya mampu menjadi manusia yang memiliki kekuatan iman, menegakkan agama, dan saya adalah pemberian terbaik dari Allah untuk kedua orang tua saya. Saya kelas 4 SD, cita-cita saya menjadi motivator muslim yang bisa mengajak anak-anak jalanan menjadi pribadi sukses.”