Latihan Kemandirian, Bekal Generasi Sukses

Latihan Kemandirian, Bekal Generasi Sukses

fungsi regenerasi keluarga
Misbahul Huda bersama isteri, anak, dan cucu-cucunya. (Dok. pribadi)

Suaramuslim.net – Generasi (anak) yang sukses bukanlah anak yang hebat dalam segala hal, pintar secara intelektual, mapan secara finansial, tetapi generasi yang matang dan kokoh secara emosional dan spiritual. Untuk itu orang tua perlu memberi ruang pembelajaran yang cukup ‘lapang’ dalam memberikan kesempatan ananda belajar mandiri, tanpa kekuatiran yang berlebihan (over-protection).

Secara alamiah, anak sebenarnya cenderung belajar memiliki kemandirian. Ia berusaha menyuapi diri sendiri, meniru kita memasak, pakai sepatu atau pakai baju sendiri, meskipun masih terbalik. Ini semua merupakan kecenderungan awal yang apabila memperoleh kesempatan dari orang tua menjadikan anak memiliki kemandirian, secara luas maupun terbatas. Lebih-lebih jika orang tua memberi dukungan kepada anak melakukan berbagai hal, termasuk yang masih relatif sulit, secara mandiri.

Tetapi kerap terjadi, orang tua tidak tega melihat anak mengalami kesulitan, sehingga alih-alih membiarkannya belajar ‘salah’, yang terjadi justru merebut kesempatan anak untuk belajar.

Tak jarang orang tua melakukan itu bukan karena sayang, tapi karena tidak sabar atau bahkan gengsi. Menyuapi anak makan misalnya, kadang karena sayang. Tapi tak dapat dipungkiri kerap orang tua menyuapi anak di saat anak sedang ingin belajar makan sendiri. Baik karena orang tua tidak sabar, menganggap anak kelamaan, atau hanya karena tidak ingin lantainya kotor.

Sikap orang tua semacam ini akan memperburuk keadaan jika di saat yang sama anak sedang mengembangkan perilaku merajuk demi memperoleh perhatian yang lebih. Adakalanya anak tidak mau melakukan sesuatu sendiri juga disebabkan keasyikan terhadap sesuatu, misalnya nonton TV atau main game.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita terkait latihan kemandirian yang diperlukan ananda, sebagai berikut ini.

Pertama, Kemandirian dalam Keterampilan Hidup. Prinsip pokok menumbuhkan kemandirian dalam soal ini adalah memberi kesempatan, bukan melatih. Anak secara alamiah memang cenderung berusaha belajar melakukan berbagai keterampilan hidup sehari-hari secara mandiri, semisal makan. Jika kita mengizinkan anak melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari secara mandiri, lambat laun akan terampil.

Yang kita perlukan hanyalah kesediaan mendampingi sehingga anak tidak melakukan terlalu banyak kesalahan, meskipun kita tetap harus menyadari bahwa untuk mencapai keterampilan perlu latihan yang banyak dengan berbagai tingkat kesalahannya.

Kedua, Kemandirian Psikososial. Bertengkar itu tidak baik. Tetapi menghentikan pertengkaran begitu saja, menjadikan anak kehilangan kesempatan untuk belajar menyelesaikan konflik. Kita memang harus menengahi dan adakalanya menghentikan. Tetapi kita juga harus membantu anak menggali masalahnya, merunut sebabnya dan menawarkan jalan keluar kepada anak. Caranya bisa dengan menunjukkan berbagai alternatif tindakan yang dapat diambil maupun menanyakan kepada anak tentang apa saja yang lebih baik untuk dilakukan.

Apa yang terjadi jika kita bertindak keras terhadap berbagai konflik yang terjadi antar-anak?

Banyak hal. Salah satunya anak tidak berani mengambil sikap yang berbeda dengan teman-temannya, meskipun dia tahu bahwa sikap itulah yang seharusnya dia ambil. Anak tidak berani menolak ketika temannya mengajak merokok atau mencoba minuman keras. Mengapa? Karena ia dididik untuk tidak berani menghadapi konflik. Padahal kita seharusnya menanamkan pada diri anak sikap untuk mendahulukan prinsip dari pada harmoni. Rukun itu penting, tapi hidup dengan berpegang pada prinsip yang benar itu jauh lebih penting. Kita tanamkan kepada mereka: principles over harmony.

Lalu apa yang harus kita lakukan jika anak sedang bertengkar?

Membiarkan anak bertengkar dengan keyakinan mereka akan mampu menyelesaikan sendiri dapat memicu terjadinya situasi submisif, yakni siapa kuat dia yang menang. Dan inilah yang sedang terjadi di negeri kita. Bahkan urusan antre pun, siapa yang kuat dia yang duluan.

Tunjukkan kepada mereka tindakan-tindakan yang patut dilakukan anak. Dalam hal ini, aturan dan prosedur sangat membantu anak dalam bertindak. Kita kenalkan anak pada etika agama. Sebagaimana istri sering menasihati anak-anak yang bertengkar, “Silakan membalas jika kamu merasa benar, tapi jika kamu memaafkan mereka, maka kamu akan mendapatkan pahala.”

Kita juga dapat melatih kemandirian psikososial anak secara lebih luas. Melatih mereka ke toilet sendiri berikut adab-adabnya, mengajari mereka untuk mencari informasi pada saat sedang berada di luar rumah (semisal di bandara), termasuk komplain yang santun ke Customer Service. Bahkan berbelanja sendiri pun adakalanya perlu kita latihkan agar anak dapat melakukan transaksi dengan baik dan benar.

Ketiga, Kemandirian Belajar. Inilah proses serius kita hari ini. Banyak sekolah yang sibuk mengajari anak agar terampil membaca semenjak usia dini, tapi lupa bahwa yang paling mendasar adalah sikap positif, kemauan yang kuat, dorongan untuk membaca dan bangga dengan kegiatan itu. Anak belum mampu membaca saat kelas 1 SD bukan masalah jika mereka telah memiliki antusiasme dan rasa keingin-tahuan untuk belajar. Ini jauh lebih penting.

Jika anak memiliki kemauan yang kuat untuk belajar disertai keyakinan (bukan hanya paham) bahwa belajar itu penting, maka kita dapat berharap anak akan cenderung menjadi pembelajar mandiri saat mereka memasuki usia 10 tahun. Mereka memiliki semangat yang semakin menggebu. Sebaliknya jika kita hanya mengajari mereka berbagai kecakapan belajar semisal membaca dan berhitung, maka usia 10 tahun justru menjadi titik balik.

Awalnya menggebu-gebu selama kelas 1, berangsur luntur, lalu benar-benar enggan belajar saat memasuki kelas 4 atau 5 SD. Maksudnya, ada yang mencapai titik balik berupa kejenuhan serta keengganan belajar di awal kelas 4, ada yang pertengahan atau akhir kelas 4, ada pula yang kelas 5 baru mengalami.

Keempat, Kemandirian Emosional. Bekal pokoknya adalah pengenalan diri yang diikuti dengan penerimaan diri. Ini memerlukan peran orang tua dalam mengajak anak untuk mengenali kelebihan-kelebihan, kekurangan, kemampuan dan kelemahannya sendiri. Pada saat yang sama orang tua menunjukkan penerimaan terhadap kekurangan maupun kelemahan anak, tetapi bukan berarti membiarkan anak melemahkan dirinya sendiri.

Malas dan enggan mengatasi masalah merupakan bentuk sikap melemahkan diri sendiri. Orang tua juga menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka tak patut merendahkan orang lain, tak pantas pula meninggikan diri. Lebih-lebih untuk sesuatu yang diperoleh tanpa melakukan usaha apapun alias sepenuhnya merupakan pemberian semenjak lahir.

Perlu juga mendampingi mereka belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan perlu dipenuhi, meski tak serta-merta. Sedangkan keinginan, adakalanya dapat dituruti, tetapi tetap perlu belajar menahan diri.*

*Diambil dari buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” karya Misbahul Huda. Buku yang bercerita bagaimana pengalaman ayah hadir dalam pengasuhan anak.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment