Letter of Credit Impor Syariah

Letter of Credit Impor Syariah

Transaksi Letter of Credit Impor Syariah
Ilustrasi terminal kontainer.

Suaramuslim.net – Salah satu bentuk jasa perbankan adalah memberikan fasilitas transaksi impor yang dilakukan oleh nasabah, yang dikenal dengan istilah Letter of Credit (L/C) Impor. Transaksi L/C Impor yang berlaku selama ini belum sesuai dengan ketentuan syariah. Agar mekanisme transaksi L/C Impor tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman, sebagai berikut.

Mengingat:

  1. Firman Allah 

“Hai orang yang beriman janganlah kamu memakan harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perniagaan yang saling rela di antara kalian.” (An-Nisa: 29).

Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Al-Maidah: 1).

“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini. Dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan yang lebih baik bagimu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun.” (Al-Kahfi: 19). 

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55).

 “Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (Al-Baqarah: 283). 

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Hai ayahku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dipercaya.” (Al-Qashash: 26). 

“Penyeru-penyeru itu berseru, “Kami kehilangan piala raja, dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.“ (Yusuf: 72). 

“…Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Al-Baqarah: 275). 

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shad: 24).

  1. Hadis Nabi SAW

Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai Mudharabah ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membolehkannya. (Al-Thabrani dari Ibn Abbas). 

Nabi bersabda: Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum halus dengan jewawut (gandum kasar) untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (Ibnu Majah dari Shuhaib). 

Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya. (Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri). 

Nabi menyerahkan satu dinar kepada Hakim bin Hizam untuk membeli hewan qurban. (Abu Dawud dan Al-Tirmidzi). 

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani).

  1. Kaidah Fikih

“Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 

“Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah.” 

“Kesulitan dapat menarik kemudahan.” 

“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” 

“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara (selama tidak bertentangan dengan syari’at).” 

Memperhatikan

  1. Pendapat ulama tentang Wakalah bil-Ujrah

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (V/85), Asy-Syarkhasi dalamTakmilah Fathul Qadir (VI/2), Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (V/4058).

  1. Pendapat ulama bahwa biaya dan ongkos yang dikeluarkan untuk memperoleh barang diperhitungkan sebagai harga perolehan barang (dimasukkan dalam komponen modal).
  2. Fatwa-fatwa DSN-MUI mengenai Ijarah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan
  3. Surat Direksi BMI Nomor 150/BMI/FSG/VII/2002 tertanggal 1 Juli 2002 perihal permohonan fatwa tentang Skema Transaksi LC Impor dan LC Ekspor.
  4. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI tanggal 14 September 2002/7 Rajab 1423.

Menetapkan Fatwa tentang L/C Impor Syariah

Pertama: Ketentuan Umum

  1. Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
  2. L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah.

Kedua: Ketentuan Akad

Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa bentuk:

  1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
  • Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.
  • Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
  • Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
  1. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
  • Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.
  • Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
  • Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
  • Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.
  1. Akad Murabahah dengan ketentuan:
  • Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir;
  • Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh tempo (usance);
  • Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
  • Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
  1. Akad Salam/Istishna’ dan Murabahah, dengan ketentuan:
  • Bank melakukan akad Salam atau Istishna’ dengan mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut.
  • Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank.
  • Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
  • Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
  1. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
  • Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.
  • Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, di mana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.
  1. Akad Musyarakah dengan ketentuan: bank dan importir melakukan akad musyarakah, di mana keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.
  1. Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan pembayaran belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:

Alternatif 1:

Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:

  1. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;
  2. Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
  3. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
  4. Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah untuk pelunasan pembayaran barang impor.

 

Alternatif 2:

Wakalah bil Ujrah dan Hawalah dengan ketentuan:

  1. Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.
  2. Importir dan Bank melakukan akad wakalah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
  3. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
  4. Utang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi utang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor.

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai-mana mestinya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment