Memahami Makna “Zuhud” Sebenarnya

Memahami Makna “Zuhud” Sebenarnya

makna zuhud sebenarnya

Suaramuslim.net – Zuhud acapkali disalah artikan oleh sebagian orang. Dikatakan zuhud apabila mengharamkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan duniawi dan hanya memfokuskan diri pada akhirat. Pemaknaan ini perlu direvisi.

Abu Muslim al-Khaulâni rahimahullah kemudian memberi bantahan pandangan zuhud yang menyimpang itu. Menyimpang karena dimaknai mengharamkan segala urusan dunia termasuk yang halal, dan hanya terfokus kepada hal-hal yang berbau akhirat saja.

Abu Muslim Al Khaulani berkata, “Zuhud terhadap dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Namun zuhud terhadap dunia ialah engkau lebih yakin kepada apa yang ada di tangan Allah azza wa jalla daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika engkau diuji dengan musibah maka engkau lebih senang dengan pahalanya hingga engkau berharap seandainya musibah tersebut tetap terjadi padamu.”

Dilansir dari muslim.or.id,  zuhud terhadap sesuatu maknanya berpaling darinya karena menganggapnya remeh, tidak bernilai, atau tidak meminatinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa zuhud yang sesuai dengan syari’at adalah seseorang meninggalkan segala yang tidak bermanfaat di akhiratnya dan hatinya yakin serta percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah azza wa jalla.

Zuhud ditafsirkan dengan tiga hal yang semuanya merupakan perbuatan hati. Oleh karena itu, Abu Sulaiman mengatakan, “Janganlah engkau bersaksi untuk seseorang bahwa ia orang zuhud karena zuhud itu letaknya di hati.”

Zuhud yang Akan Menambah Kecintaan Allah

Pertama, hendaknya seorang hamba lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah azza wa jalla daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Sikap ini muncul dari keyakinannya yang kuat dan lurus, karena Allah azza wa jalla menjamin rezeki seluruh hamba-Nya dan menanggungnya, seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan, “Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfûzh).” (Hud/11:6).

Kedua, jika seorang hamba mendapatkan musibah pada dunianya, misalnya hartanya ludes, anaknya meninggal dunia, dan lain sebagainya, maka ia lebih senang kepada pahala musibah tersebut daripada dunianya yang hilang itu kembali lagi. Sikap seperti ini muncul karena keyakinannya yang penuh.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam doanya, “Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami dari perbuatan maksiat kepada-Mu, anugerahkan kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menghantarkan kami ke surga-Mu, dan anugerahkan kepada kami keyakinan yang membuat kami merasa ringan atas seluruh musibah dunia ini.”

Allah ta’ala berfirman, yang terjemahannya, “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan menimpa dirimu, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kau tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (al-Hadîd/57:22-23).

Ketiga, pujian dan celaan dari orang tidak berpengaruh bagi hamba yang zuhud selama dia dalam kebenaran. Ini juga pertanda zuhudnya terhadap dunia, menganggapnya rendah dan tidak berambisi kepadanya. Karena orang yang mengagungkan dunia, maka ia akan mencintai pujian dan membenci celaan.

Ada kemungkinan, sikap mencintai pujian dan membenci celaan ini mendorongnya meninggalkan banyak kebenaran karena khawatir dicela serta mengerjakan berbagai perbuatan batil karena mengharapkan pujian.

Jadi, orang yang menilai pujian dan celaan manusia baginya itu sama selama dia dalam kebenaran, menunjukkan kedudukan seluruh makhluk telah runtuh dari hatinya. Hatinya penuh dengan kecintaan kepada kebenaran, dan ridha kepada Rabb-nya. Allah azza wa jalla memuji orang-orang yang berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak takut celaan.

“Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela.” (al-Mâidah/5:54).

Bertolak dari definisi bahwa orang yang zuhud sejati ialah orang yang tidak memuji dirinya dan tidak pula mengagungkannya, Yusuf bin al-Asbath  berkata, “Zuhud terhadap kekuasaan itu lebih berat daripada zuhud terhadap dunia.”

Jadi, barangsiapa menghilangkan ambisi untuk berkuasa di dunia ini dari dalam hatinya dan menghilangkan perasaan lebih hebat dari orang lain, sungguh, dia orang yang zuhud sejati dan dialah orang yang pemuji dan pencelanya dalam kebenaran itu sama saja.

Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment