Masa Depan Islam di Indonesia

Masa Depan Islam di Indonesia

Aksi Mujahid 212 Lakukan Mubahalah, Minta Jokowi Dilaknat 7 Turunan Kalau Zalim
Aksi Mujahid 212 yang melakukan Mubahalah untuk meminta Jokowi dilaknat beserta 7 Turunan kalau zalim (Foto: SMNET)

Suaramuslim.net – Setelah hiruk pikuk Pemilu Serentak 2019 dengan ongkos sebesar Rp 25 triliun, dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah Islam di Indonesia telah gagal membawa Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD45. Bahkan pemberlakuan UUD 2002 yang membuka lebar bagi liberalisme dan kapitalisme di republik ini adalah puncak kegagalan tersebut.

Kerja-kerja keras inovatif Wali Songo selama sekitar 400 tahun lebih di Nusantara gagal dilanjutkan oleh para penerusnya sejak HOS Tjokroaminoto, Natsir, dan Jusuf Kalla. Bahkan Yusril berhasil mengkhianati Masyumi. Praktis kini tinggal PKS di parlemen yang masih menyuarakan Islam sekalipun PKS juga mengalami pelemahan dari dalam. Mengapa kegagalan beruntun ini terjadi?

Pertama, ajakan menjadi muslimun dikalahkan oleh ajakan menjadi islamiyyun atau islamist atau penganut islamisme atau abangan sekuler. Segera perlu disadari bahwa dakwah tidak pernah terjadi di ruang vakum. Menggunakan kategorisasi Geertz, sekulerisasi masif telah berhasil menarik masyarakat Nusantara untuk menjadi abangan, tapi gagal menjadi santri.

Proses sekulerisasi ini dilakukan sejak penjajahan Belanda, terutama sejak persekolahan diperkenalkan di Indonesia di akhir abad 19 oleh para misionaris Katholik-Portugis dan Kristen-Calvin dan dilakukan secara besar-besaran sejak Orde Baru melalui persekolahan paksa massal dalam menyiapkan sebuah masyarakat industri yang sekuler.

Proses sekulerisasi ini sekaligus proses deagrokulturisasi, sebuah proses peminggiran pertanian. Sekulerisasi ini dilakukan melalui operasi depolitisasi Islam, yaitu mempreteli ajaran Islam dari ajaran politik dan ekonomi menjadi sekadar “agama” sebagai sebuah sistem ritual dan kesalehan pribadi yang relevan hanya untuk kehidupan setelah mati.

Kedua, para mubalig kurang memperhatikan dimensi keindonesiaan dalam dakwahnya, terlalu berorientasi ke Timur Tengah. Akibatnya, Islam di Indonesia kehilangan sisi kebangsaan dan keindonesiannya. Dengan mudah Islam dikaitkan dengan budaya Arab dan gurun pasir.

Dakwah di Indonesia juga memgalami demaritimisasi, mengabaikan kemaritiman dalam kehidupan masyarakat. Berpakaian gamis dan bersurban lebih menonjol daripada berbatik dan berpeci. Padahal batik adalah karya ulama Nusantara. Para mubalig jarang sekali melakukan kajian-kajian sejarah Islam di Nusantara, terutama peran tokoh-tokoh ulama dalam perjalanan sejarah Nusantara dan Indonesia. Pekerjaan Wali Songo yang belum sepenuhnya selesai, gagal diselesaikan oleh para penerusnya.

Ketiga, pesantren sebagai pusat pembelajaran Islam gagal mengajarkan kajian-kajian sains alam seperti fisika, kimia dan biologi, serta social sciences. Pesantren lebih tertarik melakukan kajian-kajian fikih, dan tasawuf, tapi kurang mengkaji muamalah dan siasah sehingga gagap menanggapi dinamika politik dan ekonomi masyarakat. Masyarakat Islam Indonesia semakin tidak memiliki peran politik dan ekonomi. Pesantren berhasil dikerdilkan oleh Belanda dan Pemerintah RI sejak proklamasi. Gerakan mengubah IAIN menjadi UIN baru terjadi sekitar 20 tahun terakhir, namun sebagian malah melahirkan Islam liberal di kampus-kampus eks IAIN tersebut.

Keempat, dakwah dikerdilkan hanya berupa ajakan dari mimbar belaka, bukan sebagai program transformasi atau pembangunan masyarakat secara menyeluruh. Ini disebabkan karena asumsi bahwa muslim adalah mayoritas, padahal minoritas. Yang mayoritas adalah kaum abangan. Dakwah hanya menjadi semacam tontonan dan hiburan, bukan sarana penyadaran transformatif. Muncul fenomena dai selebriti dengan tarif puluhan juta rupiah yang sering menghiasi layar-layar televisi.

Selama 5 tahun terakhir, Islam dan simbol-simbolnya justru dijadikan musuh melalui narasi Islamofobia penguasa dan media mainstream. Ekspresi Islam mudah dituding sebagai ekspresi intoleran, radikal, bahkan anti-Pancasila dan anti-NKRI. Bagi masyarakat apolitis yang buta sejarah, semburan dusta Islamofobia ini dengan lahap diterima begitu saja tanpa pemikiran reflektif.

Persekolahan paksa massal memang bukan sekadar instrumen teknokratik untuk menyiapkan buruh bagi masyarakat industri yang sekuler, tapi memang sekaligus proses pendunguan massal. Bahkan untuk masyarakat AS, oleh John Taylor Gatto, mass forced schooling is designed to dumb down peoples. Apalagi untuk masyarakat Indonesia.

Jika model dakwah seperti ini tidak diubah, masa depan Islam di Indonesia diselimuti kegelapan. Oleh karena itu, Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat se-Indonesia yang digelar di Bandung baru-baru ini bertekad untuk mereposisi peran politik dan ekonomi umat Islam di Indonesia sebagai pemilik sah Republik ini.*

KA Turangga, 18/10/2019

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment