Meletakkan Simpati

Meletakkan Simpati

Suaramuslim.net – Seorang ustaz menyoal diamnya dunia atas teror yang terjadi pada Jumat 15 Maret 2019 lalu di Selandia Baru. Berbeda dengan kejadian teror di Paris setahun silam yang langsung hadirkan simpati dan aksi di mana-mana, hingga berupa tagar dan ajakan memakai avatar di media sosial. Demikian kiranya kita bisa mengira mengapa ustaz tersebut protes keras.

Kolega sang ustaz di Majelis Ulama juga angkat suara menggugat belum adanya reaksi para tokoh yang acap bicara Pancasila dan toleransi. Hanya karena korbannya muslimin dan pelakunya bukan Islam, apakah mereka ini diam. Begitu kiranya narasi ustaz di MUI ini.

Dua ulama tadi jelas begitu cepat menilai. Ternyata dalam beberapa jam berikutnya banyak aksi solidaritas di pelbagai negara. Kaum bukan Islam antusias membantu, begitu juga sikap respek banyak kepala negara. Bahwa gaung soal ajakan ganti avatar tidak serupa kejadian Paris, ini tak bermakna intensitas dan keluasan simpati warga dunia berbeda sama sekali. Ada sikap objektif warga dunia pada aksi kekerasan pada muslimin, yang viral salah satunya aksi seorang remaja Australia yang menimpukkan telur ke kepala seorang senator negaranya yang rasis dan islamofobia dalam memandang teror di Selandia Baru.

Dinamika baru usai dua ulama tadi sontak, dalam beberapa tempat, jadi bahan sindiran kalangan lain. Beberapa kalangan menyoal ketergesaan dan kekurangakuratan informasi mereka yang jadi anutan umat. Sayangnya, sebagian kritik itu kadang secara bercanda ataupun bukan justru hadirkan sinisme. Barang kali lontaran sinis itu pilihan baik di benak pembuat lantaran perilaku tokoh umat sudah dipandang “keterlaluan”.

Bagaimana kita semestinya bersikap adil?

Barang kali gegap gempita seruan simpati atas kejadian teror, memang malah ditangkap berbeda oleh sebagian tokoh umat. Paris dan Selandia Baru seperti ada nuansa yang berlainan. Kesan ini wajar adanya meski tidak mesti benar atau salah mutlak. Pandangan karena informasi kurang dengan menyengaja membingkai informasi jelas beda. Barang kali yang lebih diperlukan adalah seruan bijak dengan berbasiskan data lengkap, tidak harus dini menyampaikan opini ke ruang maya, dan kecerdasan melibatkan simpati dukungan alih-alih hanya mengetuk seruan ketidakadilan.

Adanya sebagian tokoh umat bersikap bergegas memang kadang perlu disandingkan dengan keberadaan beberapa tokoh umat yang mudah bereaksi manakala pelaku sebuah teror ditengarai muslimin. Mereka yang acap lantang teriak Pancasila ini barang kali saja menjadi sasaran utama dan membentuk interteks sehingga tokoh umat seagama lainnya merasa perlu menghadirkan seruan ketidakadilan.

Rasa merasa didiskriminasi memang tidaklah baik, seakan kita terus melawan hanya karena tengah ditindas. Dan penindasan yang ada seolah bisa dilawan dengan seruan emosi. Sebaliknya, rasa peduli hanya ketika pada kasus berupa jatuhnya korban dari tindakan biadab saudara seiman kita, juga tidak beradab. Semua pelaku kekerasan teror pantas dikecam, tanpa harus menelisik siapa pelaku dan korbannya lebih dulu. Jangan sampai pembelaan kita menyeleksi dan melahirkan ambigu. Diam satu masa,  gaduh luar biasa di lain masa; semuanya bergantung siapa korban dan siapa pelaku.

Pada titik ini, kepedulian dan respek pada umat lain yang diteror bisa diwujudkan dengan saling menjaga kekhusyukan mereka beragama. Sebagaimana terjadi di Selandia Baru selepas kejadian teror Jumat lalu. Bukan soal bila ada umat lain merasa perlu minta bantuan kita yang Muslim untuk berjaga di luat agar mereka aman beribadah.

Tentu harap cerdas dan tegas dalam melibatkan dan menilai urusan partisipasi toleransi ini. Toleransi sejatinya sudah lama berlangsung di tengah kita. Toleransi mungkin kadang hadirkan prasangka di antara sesama kita yang seagama; mengapa kalangan tertentu begitu gempita menawarkan jasa menjaga ritual dan tempat ibadah agama lain. Prasangka ini mestinya tak boleh hadir secara laten. Kita perlu cerdas,  baik yang menuduh ataupun tertuduh. Jangan mudah mencurigai adanya proyek tertentu, ini buat satu pihak. Jangan pula mudah menawarkan diri kalau hanya demi motif mendakwa paling Pancasila dan memukul seteru seiman; ini bagi pihak lainnya.

Dan para tokoh umat kembali jadi anutan. Tahan untuk berkomentar dini. Tahan untuk bersikap ragu bersuara setelah jelas siapa korban dan pelaku. Tidak ada kerugian bila kita menunda penyebaran informasi demi motif menggugat ketidakdilan. Tidak ada mudharat bila kita menyegerakan suara dukungan setelah jelas bahwa korban itu seiman kita dan pelakunya kalangan yang tidak kita kategorikan mesti diwaspada.

Objektivikasi dalam toleransi, dengan demikian,  amat relevan buat jadi metode beramal kita di tengah masyarakat majemuk. Kita jalankan internalisasi nash dan nilai sesuai fahaman kita, dan saat yang sama umat lain atau juga mazhab lain di agama kita merasa tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Semua natural, wajar, dan malah sama-sama membangun. Tidak ada agenda laten untuk subversi keimanan orang lain atau rongrongan pada seiman di mazhab beda.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment