Memuja Estetika Tanpa Etika

Memuja Estetika Tanpa Etika

Beginilah Jika Memuja Estetika Tanpa Etika

Suaramuslim.net – Apa yang ada di benak kita ketika berjalan mengarungi hamparan alam semesta yang menyejukkan dan menyenangkan mata? Tentu akan mengatakan betapa indahnya pemandangan ini, Maha Suci Allah yang menciptakan pemandangan begitu indah ini. Tapi pernahkah kita membayangkan dan membenamkan pikiran di balik keindahan yang tercipta tentu ada Yang Maha Indah, mungkinkah sebuah keindahan diciptakan oleh yang tidak indah?

Keindahan adalah sebuah estetika, keindahan menyangkut rasa. Tentu setiap rasa akan dirasakan berbeda oleh setiap manusia. Dalam mengolah rasa setiap orang akan dipengaruhi oleh sensasi, asosiasi, persepsi, memori dan pengalaman berpikirnya.

Dalam hal hamparan alam yang indah, kita bisa mengatakan indah, karena mata sebagai alat penginderaan merasakan ada kenyamanan dan kesejukan, lalu ingatan kita mencoba mencari padanan tempat indah yang pernah kita singgahi atau kita lihat, sehingga semakin menguatkan kesan indah hamparan alam yang kita lihat.

Setiap pengalaman yang kita rasakan akan selalu mendorong persepsi mengembangkan peristiwa keindahan yang kita lihat. Memori bekerja untuk menyimpan dan mengingat kembali seluruh peristiwa yang kita alami.

Berkaitan dengan sebuah makna keindahan, ada dua hal yang patut kita pegangi sebagai sebuah kendali diri. Pertama sebagai sebuah makna denotatif, makna yang hanya kita yang tahu, makna hanya kita yang memiliki, tak peduli terhadap apa yang dirasakan dan apa yang dimaknai orang lain, kecenderungannya tentu adalah penonjolan kepentingan diri dan memaksa orang lain untuk bisa memahami.

Kedua, makna konotatif, makna yang memperhatikan kepentingan makna yang dipahami orang lain, makna yang mempertimbangkan rasa orang lain. Kecenderungan dari makna ini adalah mempertimbangkan perasaan oran lain dan kemampuan menempatkan diri agar bisa diterima oleh orang lain.

Seringkali dalam sebuah karya sastra maupun karya seni, dua jenis makna itu mewarnai kepentingan pembuatnya. Namun sejauh kedua makna itu tak menyentuh perasaan orang lain dan mendistorsi sebuah pemahaman yang sudah mapan di masyarakat, maka itu sah sah saja. Itulah yang disebut sebuah karya mempunyai nilai estetika. Karena menemukan nilai rasa yang ada pada perasaan masyarakatnya.

Estetika tentu tidak bisa dipisahkan dengan kata etika. Meminjam istilah yang dibuat oleh romo guru Sulistyanto Soejoso, bahwa etika dan estetika itu yang membedakan adalah tiga huruf didepannya. Sehingga estetika merupakan penegasan dari sebuah etika.

Etika (Yunani Kuno: “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontannya. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Nah etika itulah yang akan menjadi “superego” atau polisi moral bagi manusia. Etika akan selalu menjadi pengendali diri terhadap sesuatu yang akan kita lakukan kepada masyarakat. Dalam etika itu pulalah kemampuan rasa dan kemampuan berpikir kita diuji. Kita sebagai orang yang egois atau kita sebagai orang yang peduli.

Memperhatikan perdebatan tentang puisi Sukma yang sudah sejak tahun 2006 terbukukan dalam karya Sukma Ibu Indonesia, Sukma menempatkan keindahan karyanya pada makna yang dia pahami, Sukma menggunakan terminologi denotatif.

Saya sepenuhnya yakin bahwa apa yang ditulis Sukma dalam puisinya, dia tahu dampak yang terjadi dalam pilihan kata yang dilakukan. Tapi bagi Sukma, dia harus pilih perbandingan itu sebagai ungkapan keindahan yang dia miliki. Sukma terjebak dalam insting libidonya yang harus segera dipuaskan. Yang terjadi adalah karya Sukma minus etika dan akhirnya menuai protes dari kalangan umat Islam.

Menghargai Kebhinekaan

Puisi Sukma contoh keindahan minus etika, karena dibangun atas keindahan ego tanpa mempertimbangkan rasa yang terjadi pada sebagian masyarakat Indonesia. Apa yang dilakukan Sukma sejatinya adalah potret bangsa hari ini. Potret ketidak mampuan bangsa merawat kebhinekaan yang menjadi takdirnya. Potret bangsa yang sudah kehilangan etika.

Berbagai peristiwa ketidak adilan dipertontonkan telanjang mata, rasa keadilan masyarakat dikoyak tanpa iba. Tak malu menjalankan laku, kekuasaan menjadi panglima. Kita menjadi bangsa yang seolah kehilangan kemampuan mengolah rasa dan etika.

Kaum cerdik pandai yang sejatinya menjadi garda, tak ubahnya sekarang seperti pasukan penjaga, tak peduli salah yang penting mereka puas merasa. Aparat yang semestinya mengayomi, sekarang tak ubahnya seperti tentara penjajah kompeni. Berlaku tak adil terhadap sebagian rakyatnya dan memanjakan kelompok penista.

Bangsa yang sudah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya. Bangsa yang minus etika. Merawat kebhinekaan adalah upaya mengembalikan rasa dan kepercayaan masyarakatnya. Memulai merawat kebangsaan harus dimulai dengan sebuah keberanian berlandaskan etika.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan mempersilakan ulama datang ke istana adalah sebuah upaya mengembalikan rasa dan percaya, tapi tak cukup dengan retorika kata, sementara aparatnya masih semena-mena. Dibutuhkan langkah nyata presiden untuk mengembalikan rasa dan percaya masyarakat.

Bagi saya langkah nyata presiden yang bisa mengembalikan rasa dan percaya masyarakat untuk merawat kebhinekaan adalah dengan memerintahkan aparatnya untuk segera menemukan siapa aktor dibalik penyiraman Novel Baswedan, menemukan siapa aktor pembunuhan para ulama dengan isu orang gila dan kegilaannya, menegakkan hukum seadil-adilnya tanpa membedakan siapa pelakunya. Presiden harus berdiri di atas semua, dan yang lebih mendesak lagi presiden memulai menjalin kedekatan kepada semua sebagai wujud bahwa Indonesia dibangun atas kebhinekaan yang nyata.

Semoga kita sebagai bangsa bisa melewati ujian besar ini, sehingga sangkala 2030, tidak menjadi bencana tapi menjadi berkah.

*Ditulis di Surabaya, 5 April 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment