Baby Blues Bukanlah Dalih Menyiksa Anak

Baby Blues Bukanlah Dalih Menyiksa Anak

Baby Blues Bukanlah Dalih Menyiksa Anak - kekerasan anak

Suaramuslim.net – Beberapa pekan terakhir bayi Calista mendadak ramai diperbincangkan. Bukan karena tingkah pola bayi Calista yang lucu sebagaimana bayi berumur 1,5 tahun lainnya, melainkan akibat penyiksaan yang diterimanya dari sang ibu.

Setelah dua pekan mengalami koma di RSUD Karawang, bayi tersebut akhirnya meninggal pada Minggu pagi (Sindonews.com, 26/3). Sebelumnya bayi Calista mengalami berbagai macam penganiayaan, pada puncaknya sang ibu membantingnya ke tembok hingga terpental menabrak rak piring. Bayi Calista mengalami pendarahan hebat hingga tubuh mungilnya diam tak berdaya.

Ibu bayi Calista yang berinisial S menangis tersedu-sedu seakan menyesali perbuatannya ketika mengetahui putrinya meninggal dunia. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar mengindikasi Ibu bayi Calista mengalami postpartum distress syndrome atau lebih dikenal baby blues syndrome.

Sindrom ini menyebabkan 50%-80% wanita setelah melahirkan mengalami rasa gundah, cemas, lelah, mudah kesal, mudah tersinggung, dan tidak percaya diri. Namun baby blues syndrome bukanlah alasan bagi seorang ibu untuk menyiksa anak yang telah dilahirkannya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mencatat dalam kurun Januari-Maret 2018, terdapat 16 kasus kekerasan yang menyebabkan anak meninggal dunia. Itu pun belum termasuk kasus yang tidak tercatat di KPAI, tindak aborsi maupun pembuangan bayi yang juga marak terjadi.

Ibu menempati posisi pelaku kekerasan terhadap anak tertinggi dengan persentase 44 persen (Republika, 26/3). Menurut KPAI, perilaku tindak kekerasan terhadap anak dilatarbelakangi oleh faktor ketidakharmonisan dalam keluarga, faktor ekonomi, rendahnya pengetahuan mengenai pola asuh anak, dan ketidakstabilan mental.

Ketidakstabilan mental seperti yang dialami oleh Ibu bayi Calista pun tidak murni baby blues syndrome. Usut punya usut, Ny S mengalami tekanan batin akibat ditinggal suami ketika hamil sehingga mau tak mau ia harus menopang kehidupan dirinya beserta bayi Calista. Sehingga baby blues syndrome bukanlah dalih untuk seorang ibu menyiksa bahkan membunuh anaknya. Secara garis besar ada dua faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang menyebabkan perilaku kekerasan terhadap anak antara lain, tidak terlaksananya peran anggota keluarga khususnya peran suami dan istri. Dalam kasus ini, suami melepas peran dan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab dan pelindung keluarga. Apabila suami atau istri tidak menjalankan perannya dengan baik di dalam keluarga, maka timbullah ketimpangan yang dapat menyebabkan tekanan di salah satu pihak. Tidak heran jika banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi kepada keluarga yang tidak harmonis.

Selain itu, faktor internal lainnya adalah timbul mindset pada diri pelaku kekerasan yang menganggap anak sebagai beban hidup bukan sebagai anugerah. Hal ini kerap terjadi kepada masyarakat kalangan ekonomi rendah di Indonesia. Posisi anak yang tidak berdaya memudahkan pelaku untuk melampiaskan kekesalannya kepada sang buah hati. Sebaliknya, mindset ini juga berkembang di negara maju. Namun mindset tersebut berdampak kepada angka kelahiran yang terus mengecil di negara seperti Jepang dan Jerman.

Faktor internal lain yang menyebabkan perilaku kekerasan terhadap anak adalah ketidaksiapan suami dan istri untuk mengambil peran sebagai orang tua. Hal ini biasa disebabkan akibat anak yang dilahirkan di luar ekspektasi keduanya. Bisa jadi anak tersebut lahir di luar pernikahan atau pun anak tersebut lahir ketika kondisi ekonomi yang tidak stabil. Orang tua yang tidak siap memikul tanggung jawab kerap untuk mengambil solusi pintas seperti melakukan aborsi atau membuang bayi yang baru saja dilahirkan.

Selain faktor internal juga ada faktor eksternal yang menyebabkan perilaku kekerasan terhadap anak. Faktor tersebut adalah sistem kapitalisme yang semakin menggerus naluri seorang ibu. Bagaimana tidak, seorang ibu yang memiliki naluri untuk menyayangi anaknya dan memberikan perhatian penuh kepada buah hatinya, nyatanya tidak berlaku ketika tekanan ekonomi kian menghimpit dan memaksanya untuk memeras keringat di luar rumah. Belum lagi ketika ia berada di rumah, ia mempunyai tanggungan untuk mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Lama-kelamaan naluri penuh cinta seorang ibu hilang terkikis beratnya beban hidup yang diderita.

Menghadapi kenyataan hidup di era kapitalisme harus dibentengi dengan bekal keimanan yang tangguh. Jika tidak, jalan pintas yang ditempuh bisa jadi dilampiaskan dengan amarah dan kebencian kepada anak atau mengakhiri hidup bersama-sama dengan si buah hati. Hal tersebut sudah kerap terjadi di Indonesia.

Negara pun juga tidak bisa berbuat banyak dengan maraknya fenomena ini. Solusi-solusi yang sering didengungkan adalah solusi pasca kejadian bukan solusi pra kejadian. Seperti halnya, melaporkan ke pihak berwajib apabila orang di sekitar terindikasi melakukan kekerasan kepada anak. Namun belum ditemukan solusi untuk mengikis angka kekerasan kepada anak secara sistemik.

Kontributor: Dinda Sarihati Sutejo*
Editor: Oki Aryono

*Alumni Mahasiswi Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment