Generasi Jaman Now, Tambah Usia Kurang Dewasa

Generasi Jaman Now, Tambah Usia Kurang Dewasa

Mendidik Anak Jaman Now, Tambah Usia Kurang Dewasa
Ilustrasi anak-anak bermain bola.

Suaramuslim.net – Pada zaman nabi, laki-laki memasuki usia balig pada usia 15 tahun, seiring dengan kedewasaan dan kematangannya dalam mematuhi panggilan agama maupun dakwah.

Tidak mengherankan jika tokoh-tokoh sejarah mandiri dan dalam usia yang sangat dini, bahkan sukses menjadi pemimpin dalam usia yang sangat muda. Ali bin Abi Thalib, berani menjadi ‘tumbal’ tidur di rumah nabi dalam kepungan orang kafir dalam usai belasan tahun, Usamah bin Zaid dalam usia 18 tahun diserahi memimpin pasukan melawan Romawi, Mus’ab bin Umair, Muhammad Al Fatih memimpin kota pada usia 18 tahun dan 22 tahun memimpin 250 ribu pasukan melawan super power Konstantinopel.

Bandingkan dengan anak-anak sekarang, alih-alih diserahi pasukan, diserahi kamar tidurnya sendiri saja tak pernah beres. Alih-alih memimpin pasukan perang, beraninya cuma rame-rame ‘memimpin’ tawuran.

Terinspirasi oleh nasihat sahabat Ali bin Abi Thalib yang sudah memberikan panduan dalam mendidik anak, kami coba menerapkan bagaimana cara mengawal pentahapan kemandirian anak. Maksudnya, perkembangan fisiknya, usia balighnya haruslah dikawal seiring dengan masa kemandiriannya dalam berpikir dan bersikap.

“Ajaklah anak bermain pada tujuh tahun pertama, disiplinkanlah anak pada tujuh tahun kedua dan bersahabatlah pada anak usia tujuh tahun ketiga.”

Jadi anak umur 7 tahun ke bawah memang diperlakukan seperti seorang raja, dilayani dan dididik sambil bermain. Berikan tanggung jawab pada mereka meski masih harus didampingi seperti misalnya membereskan mainan, mandi sendiri, makan sendiri, membuang sampah.

Di balik permainan anak-anak juga bisa belajar sosialisasi, menanamkan konsep disiplin, sportivitas, menghargai, toleransi, belajar antre (bergantian) bahkan juga belajar menyelesaikan konflik antar teman sepermainan. Memanjakan anak hanya boleh pada batas usia ini, jangan kebablasan hingga kelak sulit dikendalikan.

Untuk anak usia 7 sampai dengan 14 tahun kami mulai mendisiplinkannya, dan memperlakukannya seperti seorang tawanan atau hamba sahaya. Misalnya menyuruhnya salat tepat waktu, belajar berpuasa, pergi sekolah bersepeda, menyiapkan buku sendiri untuk esok pagi, membantu mencuci piring yang kotor, membersihkan kamar tidurnya, menyapu halaman rumah dan lain-lain.

Kami rela bertahun-tahun tanpa pembantu rumah tangga, agar anak-anak tahu pekerjaan rumah dan belajar bertanggung jawab. Apabila anak umur 7 sampai dengan 14 tahun kok enggan melakukan kewajibannya maka perlu diingatkan agar dia menjadi terbiasa dan disiplin.

Dalam semua agama, ada perintah, ada larangan. Dua hal tersebut membutuhkan ketegasan ayah. Jika ada anak yang tak peduli perintah dan tak peduli larangan agama, itu pertanda ada bias dalam pengasuhan, ayah tak tegas karena ayah tidak tega. Dalam balutan cinta orang tua, dibutuhkan ketegasan. Tanpa ketegasan seorang ayah, anak tidak akan bisa belajar tentang batasan-batasan. Sungguh ayah, ini bukan persoalan yang mudah.

Tegasi agar anak terbiasa begegas, tak bermalas-malas memenuhi panggilan kebaikan. Namun, tegas bukan berarti buas atau nafsu amarahnya lepas. Sosok ayah haruslah tegas tapi pemaaf. Sebagaimana sabda Rasulullah:

“Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengam puni mereka , maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

Memainkan peran tegas-pemaaf dalam mengasuh ananda menjadi poin terpenting kehadiran ayah dalam keluarga.

Ketika anak-anak berusia 14 sampai 21 tahun maka kami (orang tua) memperlakukan sebagai seorang sahabat atau teman akrab. Layaknya seorang sahabat, orang tua perlu menolong anak untuk belajar bagaimana menggunakan waktunya, dan mengajari anak tentang skala prioritas.

Dalam hal ini terkadang kami sering merasa kasihan. Karena semakin besar usia anak, maka semakin sibuk dengan kegiatan akademiknya. Anak-anak ikut pelbagai kegiatan ekstrakulikuler dan OSIS yang banyak menyita waktu, belum lagi mengerjakan tugas kelompok dan kegiatan lainnya.

Merasa anaknya tidak punya waktu, tidak sedikit orang tua yang membebaskan anak dari pekerjaan rumah tangga, cara itu tidaklah tepat. Karena skill yang terpenting dalam kehidupan itu bukan hanya dari sisi akademik saja, tapi bagaimana dia belajar mandiri menghadapi rutinitas yang ada, plus tugas sekolah atau kuliah yang setumpuk namun dengan segala keterbatasan waktunya.

Anda yang sudah menjadi orang tua pasti merasakan bagaimana seorang ibu harus membagi waktunya yang hanya 24 jam itu untuk bisa mengelola sebuah rumah tangga. Pekerjaan yang tidak ada habisnya. Keterampilan mengatur waktu di tengah padatnya kesibukan dan pekerjaan harus dilatih dan dibiasakan, tidak cukup dengan perintah atau diceramahkan.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment