Menguak Hikmah Pensyariatan Puasa

Menguak Hikmah Pensyariatan Puasa

tuntunan melaksanakan puasa syawal
Ilustrasi peralatan makan.

Suaramuslim.net – Sudah maklum bahwa sebulan penuh adalah ibadah tahunan umat Islam di bulan Ramadhan. Ada pertanyaan mendasar yang penting untuk dikemukanan agar ibadah puasa tidak menjadi sekadar rutinitas, misalnya: kenapa puasa disyariatkan dan apa hikmah puasa? Terkait hal ini, firman Allah ta’ala bisa direnungi: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS Al-Baqarah [2]: 183)

Berdasarkan ayat itu, puasa disyariatkan agar menjadikan mukmin naik ke tingkat orang-orang bertakwa. Dalam sekup lebih kecil, puasa itu sebagai pembersih jiwa; untuk menjaga kesehatan hati dan anggota badan;  mengembalikan padanya apa yang telah dirampas oleh syahwat. Selain itu, puasa sebagai bagian dari jihad jiwa yang mengendalikan wataknya, dan mengontrol hawanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

“Puasa adalah perisai. Apabila kalian sedang berada pada hari puasa, maka jangan berkata kotor dan jangan gaduh. Jika diejek atau diajak tengkar, maka katakanlah, ‘Aku sedang puasa.’ Sebanyak dua kali.” (HR Muttafaq ‘Alaih)

Di sini, puasa diibaratkan sebagai perisai yang bisa melindungi pengamalnya dari berbagai hal yang bisa merusak puasa, seperti: berkata kotor dan gaduh. Lebih jauh dari itu, puasa juga sebagai tameng untuk melindungi diri dari amarah, sehingga tak gampang terprovokasi ketika diejek atau diajak berkelahi. Bukankah goal puasa adalah takwa? Dalam surah Ali Imran ayat 134, ciri orang bertakwa adalah yang mampu mengendalikan amarahnya, dan itu sebagaimana hadis di atas bisa dilakukan dengan puasa.

Lebih dari itu, puasa bisa dikatakan sebagai revolusi terhadap kebiasaan buruk yang dilakukan manusia dari segala hal yang buruk dan diharamkan. Mengenai hal ini, Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata:

إذا صمت فليصُمْ سَمُعُك وبصرك ولسانك عن الكذب والمحارم، وَدَع أذى الجار، وليكُنْ عليك وقار وسكينة يوم صومك، ولا تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواءً.

“Jika kamu berpuasa, maka puasakan pendengaran, pengelihatan, dan lisanmu dari dusta dan dosa. Serta jauhilah olehmu menyakiti tetangga. Di samping itu hendaknya kamu tenang dan berwibawa di hari puasamu, dan jangan sampai hari puasa dan hari raya idul fitri sama saja.”  (HR Ibnu Abi Syaibah)

Menurut Jabir, indikator orang berpuasa itu bukan sekadar tak makan dan tak minum, tapi sejau mana bisa menjaga pendengaran, pengelihatan dan lisan dari dusta dan semua yang diharamkan. Indikator lain adalah tidak menyakiti tetangga. Pembawaannya pun berwibawa dan tenang.

Puasa juga sebagai latihan bagi diri untuk melakukan kebaikan, berupa sedekah, salat, dan tilawah Al Quran dan ketaatan yang lainnya yang merupakan amalan unggulan di bulan Ramadhan. Puasa juga mengandung pendidikan zuhud di dunia dan menyenangi akhirat. Yang halal saja tidak dimakan, apalagi yang haram. Di situ nilai-nilai zuhud sudah terkandung di dalamnya.

Mengingat begitu besar hikmah yang terkandung di dalamnya, maka sangat rugi jika momentum puasa di bulan Ramadhan hanya dijadikan amalan rutin tanpa membekas atau berefek positif dalam kehidupan nyata. Kelak, dalam surga, dikatakan kepada orang-orang berpuasa:

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئاً بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

“Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al-Haaqqah [69]: 24)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment