Menurunnya Pro Pancasila dan Harapan Pada Capres

Menurunnya Pro Pancasila dan Harapan Pada Capres

Nilai-Nilai Islam Ini Ada di Pancasila

Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H.*
Editor: Muhammad Nashir

Suaramuslim.net – Saya tidak terlalu terkejut atas hasil survey yang dirilis oleh Lembaga Lingkaran Survey Indonesia pimpinan Deny J.A., khususnya mengenai simpulan dalam rentang 13 tahun masyarakat pro Pancasila menurun 10 %, sebaliknya terjadi kenaikan signifikan pada masyarakat yang pro NKRI bersyariah yang naik 9 %. Survey ini dapat dipahami telah terjadi konstruksi dan dekonstruksi pada waktu dan rentan yang bersamaan.

Ada proses delegitimasi Pancasila sekaligus penguatan kepercayaan publik pada syariah Islam sebagai asas dan mekanisme mengelola pemerintahan. NKRI bersyariah, tentu akan dipahami publik dengan maksud mengelola negara berdasarkan standar syariah.

Hasil survey LSI ini sejalan dengan realitas publik, dimana kesadaran dan semangat kembali kepada Islam begitu kontras terlihat, berbeda jauh sekali pada masa orde baru. Semangat Islam umat, terkonfirmasi dengan makin massifnya penggunaan simbol-simbol Islam seperti penggunaan hijab, jilbab, penggunaan Al Liwa dan Ar Roya sebagai simbol bendera Islam, dan aksesoris lain yang identik dengan Islam.

Kerinduan pada Islam, juga terkonfirmasi semakin banyaknya himpunan massa yang berkerumun karena sebab perintah ajaran Islam. Pengajian dan dakwah Islam misalnya, hari ini pengajian di berbagai pelosok negeri, baik oleh ustadz kondang atau penceramah biasa, menjadi tren yang tidak pernah ada pada periode sebelumnya.

Apalagi jika Penceramahnya Ust. Abdul Shomad, para jamaah berjejal dengan semangat hadir untuk mendengarkan Tausiyah beliau. Posisi ceramah agama Islam dan Tablig akbar saat ini, mampu menggeser posisi konser musik dan lagu yang selama ini menyedot kerumunan massa. Bahkan, konser musik saat ini mulai sepi penggemar.

Beberapa saat yang lalu, konser Iwan Fals di Lampung sepi pengunjung. Padahal, jika konser itu dilakukan pada periode 90-an, pastilah para fans Iwan Fals menjejali lapangan konser.

Hal serupa juga dialami pemusik Slank. Konser-konser Slank yang bisa riuh ramai, saat ini juga sepi penonton. Bahkan, beberapa fans berat Slank (slankers), mencabut komitmennya pada Slank pasca gelaran aksi 212.

Kasus Ahok di pulau seribu, memang membuat publik terbelah. Para pemusik dan fansnya, tidak jarang mengalami friksi politik karena preferensi poitik berbeda dalam gelaran Pilkada DKI Jakarta.

Semangat keislaman juga tidak hanya tampak pada antusiasnya umat menghadiri pengajian. Migrasi para artis menuju taubat, meninggalkan maksiat di dunia artis, juga menjadi fenomena tersendiri yang dapat dijadikan salah satu parameter.

Terakhir, kabar da’i mantan Rocker Ust. Hari Moekti yang meninggal dunia, juga ramai menjadi perbincangan. Meskipun sang da’i telah wafat, tetapi kisah hijrahnya masih terus menginspirasi banyak orang kembali kepangkuan Islam.

Sementara itu, tingkat dukungan pada Pancasila semakin tergerus. Apalagi, setelah isu Pancasila disalahgunakan oleh penguasa. Hanya karena tudingan anti pancasila, penguasa membubarkan gerakan dakwah Islam.

Di sisi yang lain, penguasa membiarkan tindakan anarkisme partai yang merongrong Pancasila, karena masih bagian dari partainya. Dengan slogan ‘Aku Pancasila’ penguasa memberangus ujaran berbeda, dengan tudingan anti Pancasila. Faktanya, banyak tokoh terjerat kasus korupsi justru berasal dari barisan ‘Aku Pancasila’.

Seorang guru besar Pancasila, mengajar Pancasila lebih dari 24 tahun juga menjadi korban persekusi karena dituding anti pencasila. Kontroversi gaji BPIP ratusan juta rupiah, semakin menjatuhkan wibawa Pancasila ke Titik nadirnya.

Menariknya, survey ini dilakukan uji petik pada semua segmentasi, baik berpendidikan rendah maupun pendidikan tinggi. Karenanya, kita dapat mengambil kesimpulan tentang kesadaran akan pentingnya kembali kepada syariah Islam yang ditunjukkan dengan menguatnya dukungan pada NKRI bersyariah, juga kesadaran akan buruknya penerapan Pancasila yang dijalankan rezim, terjadi pada semua segmen atas kesadaran umum. Meskipun, ini implisit dan kesimpulan yang boleh jadi disembunyikan LSI.

Jadi, kita tidak bisa menyimpulkan gerakan pro NKRI bersyariah itu hanya terjadi pada masyarakat kelas bawah yang cenderung dogmatik dan doktrinal. Kita juga tidak bisa klaim kesadaran pada syariah itu bersifat elitis hanya pada kaum tertentu. Tetapi, kesadaran ini meluas dan terjadi secara umum terhadap semua kalangan.

Uniknya, terhadap gerakan menurunnya pro Pancasila juga terjadi menyeluruh pada semua segmen pendidikan, tinggi maupun rendah. Artinya, masyarakat berpendidikan rendah pun mengalami kemerosotan, meski masih perlu dibuat kajian ulang apa benar semua itu oleh sebab ekonomi? Paham alternatif? kurangnya sosialisasi?

Sayangnya, LSI tidak menyebut detail paham alternatif yang menarik bagi kaum muslimin tersebut, yang mengalihkannya dari Pancasila. Apakah paham dimaksud sosialisme? Tentu jika kaum muslim sebagai segmen yang tertarik tidak akan mungkin memilih sosialisme.

Paham kapitalisme? Kapitalisme pula yang saat ini diterapkan di negeri kaum muslimin yang merusak kohesi internal kaum muslimin. Lantas, paham alternatif apa yang dimaksud LSI? Apakah paham dimaksud adalah Khilafah yang semalama ini dituding anti pancasila? Entahlah, dalam rilis survey yang dilakukan LSI, tidak disebut tegas paham alternatif apa yang menurunkan dukungan pada survey pro Pancasila.

Survey LSI juga memotret tentang isu terorisme. Uniknya, baik yang pro NKRI bersyariah maupun pro Pancasila semua kontra terorisme. Dari sisi bahwa semua menolak terorisme, tentu ini normatif dan wajar saja semua pihak menolaknya.

Tetapi jika kesimpulan ini dijadikan legitimasi mengangkat isu ‘War on Terorism’ yang digaungkan barat, atau apa yang sedang digaungkan BNPT dan dikejar-kejar Densus 88, nampaknya perlu diteliti lagi.

Sebab, isu ‘War on Terorism’ bukanlah isu netral, tetapi isu sensitif yang dibangun pada asas dan tujuan tertentu. Isu terorisme telah menjadikan umat Islam sebagai tertuduh sekaligus korban. Karenanya, menjadikan hasil survey untuk melegitimasi perburuan teroris dengan dalih ‘War On Terorism’, nampaknya perlu dikaji ulang atau bahkan wajib dikesampingkan.

Adapun pada rangkaian penutup survey, LSI membuat simpulan tentang mayoritas publik menginginkan hadirnya forum untuk isu kebersamaan dan kebangsaan dan menolak capres yang mengusung wacana yang dapat membelah masyarakat. Sampai disini, saya menduga misi survey sedang dimainkan LSI.

Sebab, jika sejak awal isu yang menyeruak adalah meningkatnya dukungan pada isu NKRI bersyariah, bukankah pertanyaan “Pentingnya wadah untuk menggodok isu NKRI bersyariah” juga perlukah “Meminta komitmen capres pada NKRI bersyariah” menjadi pertanyaan kuisioner bagi responden? Jika pertanyaan ini muncul, maka publik pasti akan terkejut dengan hasilnya.

Menggiring opini publik dengan membuat setting pertanyaan pada survey, itu hal biasa. Tergantung motif dan tujuan dibuatnya survey, tergantung juga siapa yang membayar biaya survey jika survey itu berbayar.

Simpulan LSI ini jika tidak hati-hati, justru akan mendegradasi hasil survey mayoritas yang mendukung isu NKRI bersyariah. Atas dalih kebersamaan dan kebangsaan serta menghindari perpecahan, bisa saja nanti umat Islam digiring untuk tidak mengusung wacana NKRI bersyariah.

Sekali lagi, dalam beberapa aspek survey ini layak diapresiasi khususnya ketika survey secara jujur menggambarkan tingkat dukungan pada isu NKRI bersyariah yang cukup menggembirakan. Namun, pada aspek isu pencapresan -padahal ini inti pembahasannya- umat harus hati-hati untuk tidak mau ditarik pada wacana isu anti toleransi, anti kebangsaan, anti kebersamaan, saat mengusung isu syariah Islam.

Karenanya bagi umat, cukuplah sandaran Quran dan Sunnah sebagai asas berpolitik. Umat wajib hanya terikat dengan dalil syara, bukan yang lain. Capres yang komitmen pada penerapan syariat Islam saja yang seharusnya diusung umat Islam, bukan yang lain.

Adapun terhadap LSI, ingin rasanya penulis membaca publikasi LSI yang secara tegas membuat survey untuk mengukur dukungan terhadap demokrasi dan Khilafah. Saya ingin menyumbang satu pertanyaan untuk survey, “Sebagai umat Islam, Anda memilih demokrasi sekuler atau Khilafah?” Pasti hasil survey kelak akan menghasilkan angka-angka yang sangat mencengangkan.

*Sebuah Telaah Kritis Pada Hasil Survey LSI
*Ketua LBH PELITA UMAT
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment