Merdeka dari utang ribawi

Merdeka dari utang ribawi

Bendera Merah Putih. Foto: id.pngtree.com

Suaramuslim.net – Hari ini kita akan mendengarkan pidato Nota Keuangan Presiden RI di hadapan MPR sebagai joint session DPR dan DPD. Besok kita akan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-77 RI.

Tradisi pidato RI 1 di depan MPR tentang kebijakan keuangan setahun yang akan datang ini perlu kita cermati karena tiga hal.

Pertama, pidato itu sekaligus simbol upaya Pemerintah saat ini untuk menjadi bangsa yang merdeka. Kemerdekaan tanpa kemerdekaan ekonomi adalah omong kosong. Kemerdekaan politik hanya mitos saat ekonomi kita terjajah. In a globally interconnected world, ekonomi kita akan segera terpengaruh saat dunia pertama seperti AS, dan Eropa, sudah jatuh ke dalam resesi, inflasi dan berbagai krisis termasuk krisis pasokan energi dan makanan akibat konflik Rusia-Ukraina.

Kedua, Menkeu Sri Mulyani berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia kecil kemungkinannya mengalami resesi, walaupun harga-harga mulai naik, dan jumlah utang swasta, BUMN dan Pemerintah membubung tinggi mencapai lebih dari 30% PDB. Dalam logika birokrasi saat ini utang dinilai lumrah, apalagi rasio terhadap PDB masih tergolong rendah dibanding negara-negara pertama tadi.

Ketiga, sikap pemerintah terbaru atas pandemi Covid-19 yang selama dua tahun terakhir dijadikan alasan untuk APBN tanpa kontrol, pelambatan ekonomi dan pembatasan public liberty, legislasi berbagai UU termasuk RUU KUHP, serta investasi proyek-proyek mercusuar semacam Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Perlu diwaspadai bahwa UU KUHP yang baru ditangan Polri saat ini akan menjadi ancaman bagi kebebasan sipil serta jalan raya menuju police state.

Logika utang sebagai hal lumrah adalah logika International Monetary Fund (IMF) dan the World Bank yang hidupnya dari utang. Kedua institusi keuangan global ini merupakan sponsor bagi banyak nation states yang dimerdekakan usai Perang Dunia II.

Sejak Konferensi Meja Bundar 1949, ekonomi RI harus mengikuti konstitusi IMF yang ditetapkan 1944 di Brettonwoods untuk memperoleh pendanaan bagi pembangunannya. Amanah UUD45 langsung dipasung oleh konstitusi IMF ini.

Resep utama institusi kapitalisme global ini adalah menggolongkan RI sebagai negara miskin, lalu pembangunan dirumuskan lebih sebagai upaya peningkatan konsumsi perkapita, dengan standar Barat, bukan upaya untuk mewujudkan kemerdekaan dengan memperluas kemerdekaan itu.

Negara miskin dengan tingkat konsumsi rendah ini dijadikan alasan untuk berutang. Padahal utang apalagi utang ribawi adalah instrumen nekolimik yang pernah dikhawatirkan Bung Karno.

Sebagai contoh adalah konsumsi energi perkapita kita saat ini sekitar 1kL setara minyak perkapita pertahun. Bandingkan dengan konsumsi energi perkapita pertahun Eropa dan Jepang sekitar 7kL, sedangkan AS telah mencapai 10kL. Tidak mengherankan jika sejak reformasi, pembangunan pembangkit listrik kita digenjot dengan melibatkan swasta dan membakar BBM dan batubara. Itupun berakhir dengan PLN merugi karena regulasi energinya diatur untuk kepentingan pemilik modal asing.

Mungkin utang tidak terlalu bermasalah jika tanpa riba sekaligus produktif. Sejak Nixon shocks 1971, dunia di bawah kepemimpinan AS masuk ke dalam sistem keuangan ribawi full fledged. USD menjadi alat tukar utama dunia, namun tidak dipijakkan pada emas. The Federal Reserve bisa mencetak uang USD out of thin air.

Semua transaksi global harus berbasis USD. Sementara itu negara-negara merdeka itu mengikuti langkah the Fed untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing out of thin air juga. Namun dalam transaksi global negara-negara itu harus menggunakan USD. Akibatnya, selama bertahun-tahun, sumber daya alam kita dikuras habis, sejak tambang hingga kayu dan ikan, dengan dibayar uang kertas yang senilai lebih tinggi sedikit dibanding kertas toilet.

Nekolimisasi kaaffah oleh Barat atas Republik ini terjadi terus hingga hari ini. Namun sejak sepuluh tahun silam, baik China dan Rusia mulai membangun sistem keuangan global alternatif untuk menantang dominasi USD. Ini yang menjelaskan kekalahan AS di Afghanistan, dan kemerosotan dominasi Eropa dan AS di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan Fareed Zakarya sudah meramalkan degradasi dominasi Barat ini dalam A post-American World.

Terakhir adalah pengakuan Presiden Perancis Macron saat pidato kemenangannya dalam Pilpres bahwa Eropa telah kehilangan imajinasi politik dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri untuk melayani kepentingan AS nun jauh di seberang Atlantik.

Pada saat Nadiem Makarim melontarkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka kita sebagai bangsa perlu dengan jernih melakukan muhasabah atas diri kita sendiri. Hampir semua indikator ekonomi kita menunjukkan bahwa kita hanya menjadi bangsa jongos bagi bangsa lain.

Sistem Pendidikan dibiarkan dikerdilkan menjadi sistem persekolahan massal paksa untuk menyediakan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal asing.

Padahal, sistem pendidikan kita seharusnya merupakan strategi budaya untuk membangun bangsa yang berjiwa merdeka di mana warga muda diberi kesempatan luas untuk belajar merdeka.

Kawasan Matraman, 16 Agustus 2022
Daniel Mohammad Rosyid
Direktur Rosyid College of Business
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment