Merindukan Pemimpin Bangsa yang Memiliki Narasi Besar

Merindukan Pemimpin Bangsa yang Memiliki Narasi Besar

Merindukan Pemimpin Bangsa yang Memiliki Narasi Besar
Soekarno (Foto: Tribunnews.com)

Suaramuslim.net – Presiden Jokowi tidak pernah berpidato kepada rakyat Indonesia yang menyatukan rakyat. Bung Karno dulu pidato-pidatonya menyatukan rakyat. “Musuh ada di luar, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika.” Jadi, teralihlah perhatian kita pada musuh besar. Kita menyatu melawan musuh negara, melawan pengkhianat yang merongrong bangsa. Namun pidato presiden saat ini mengadu domba rakyatnya sendiri, “Pisahkan agama dan politik”, “Saya Pancasila dan kamu bukan.” Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus memulai pidato sebagai negarawan yang membuat kita semua terpukau.

Inilah kegagalan narasi pemerintahan ini dari awal, dan itulah merusak yang bangsa Indonesia. Presiden baru adalah presiden yang memiliki narasi, narasi yang menyatukan, narasi yang membangkitkan semangat, narasi yang membuat kita bangun dari keterpurukan. Dari perasaan kurang mampu menjadi mampu. Dari perasaan menggenggam dunia ini dan melakukan perubahan besar.  (Fahry Hamzah, Wakil Ketua DPR RI)

Narasi yang Menyatukan 

Menarik untuk mendalami pernyataan Fahri Hamzah bahwa telah terjadi politik adu domba yang dilakukan oleh rezim ini. Apa yang terjadi di negeri ini sangat mengkhawatirkan. Persoalan besar ini berawal karena tidak adanya narasi besar seorang pemimpin. Narasi besar itu bisa menjadi cermin sekaligus rujukan bagi rakyat dalam mewujudkan cita-cita besar. Menarik untuk mengambil apa yang dilakukan oleh mantan Presiden Soekarno, sekaligus sebagai contoh yang memiliki narasi besar yang begitu jelas, sehingga rakyatnya terpukau dan tergerak untuk menyatukan langkah. Di setiap pidatonya, Soekarno selalu mensugesti rakyatnya untuk melawan para penjajah dan pengkhianat bangsa, sehingga rakyatnya rela berkorban untuk merealisasikan narasi besar pemimpinnya.

Dengan pidato yang jelas narasi besarnya itu, maka Soekarno mewujudkan narasi besar itu dengan menunjukkan musuh-musuh negara dengan jelas, sementara rakyat Indonesia ikut tergerak untuk melawan musuh negara itu. Seluruh komponen bangsa Indonesia tergerak untuk menyatukan potensi untuk melawan musuh negara, yakni kolonialis-imperialis. Hampir semua kekuatan rakyat, baik yang berlatar agama maupun tidak, tergerak untuk melawan untuk mengusir penjajah. Tidak sedikit pemuka pesantren dan tokoh agama yang bahu membahu dan saling bekerja sama untuk mengusir penjajah guna meraih kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dengan adanya narasi besar itu, maka semua lapisan masyarakat bahu membahu dan bersatu, sehingga ujungnya negara berhasil mengusir penjajah dan masyarakat berhasil meraih kemerdekaannya. Dengan kata lain, keberhasilan meraih kemerdekaan itu diawali oleh adanya narasi besar dari seorang pemimpin. narasi besar pemimpin itulah yang menjadi spirit terusirlah penjajah dari bumi Indonesia.

Narasi dan Konspirasi Memecah Belah

Kritik tajam yang bisa diambil dari pernyataan Fahri Hamzah di atas bahwa pemimpin negeri ini bukan menyatukan komponen anak bangsa tetapi justru membelah dan menciptakan konflik. Alih-alih membuat narasi besar, pidato pemimpin negeri ini justru menciptakan konflik, sehingga anak bangsa memperoleh pekerjaan rumah. Hal ini berimplikasi negatif di mana masyarakat tidak memberikan kontribusi pada negara. Seluruh komponen bangsa sibuk berkonflik satu sama lain, sehingga tercipta lawan di kalangan anak bangsa. Musuh bangsa yang sebenarnya justru bergerak secara leluasa.

Persoalan masuknya (invasi) tenaga asing yang demikian massif di tengah sulitnya lapangan kerja tidak pernah menjadi perhatian pemimpin negeri ini. Impor berbagai kebutuhan dasar masyarakat juga mengalami pembiaran, sehingga kesulitan ekonomi rakyat semakin parah di tengah kenaikan harga listrik yang demikian cepat dan tinggi. Hal ini membuat masyarakat semakin tercekik, namun negara tidak terlihat upaya maksimal untuk mengatasi hal itu.

Demikian pula berkibarnya bendera OPM di Papua yang menginginkan memisahkan diri dari Indonesia, namun tidak membuat aparat negara ini tergerak untuk memadamkannya. Tetapi justru kritis ketika ada sekelompok masyarakat yang mengibarkan bendera tauhid. Bahkan ideologi komunis, dengan simbol-simbol PKI, yang bergerak bebas tidak membuat negara tergerak untuk melarangnya. Justru yang dilakukan oleh TNI ketika men-sweeping buku-buku berpaham PKI justru dicurigai.

Tidak adanya narasi besar dari pemimpin negara ini bukan saja membuat anak bangsa sibuk menyelesaikan persoalannya sendiri-sendiri. Sementara negara tidak memberi sinyal untuk membantu menyelesaikan persoalan dengan kebijakan-kebijakannya. Korupsi yang semakin menggurita, mandulnya penegak hukum dan peradilan, merajalelanya bahaya ideologi PKI, seolah-olah mengalami pembiaran. Bahkan dalam pandangan masyarakat bahwa negara terlibat dalam berkembang dan membesarnya tiga hal ini (korupsi, mandulnya hukum, dan PKI).

Sudah saatnya kita memiliki pemimpin dengan narasi yang agung dan mampu menjelaskan apa yang visi dan misi besar, serta program riil yang akan diselesaikan oleh negara. Hal inilah yang akan bisa menggerakkan masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, untuk bersatu meraihnya. Dengan adanya musuh bersama yang harus diperangi, maka masyarakat bisa memiliki spirit yang kuat dalam menghadapi persoalan bangsa ini. Masyarakat harus diajak bersama untuk menyelesaikan problem keterpurukan ekonomi, tekanan politik, dan ketidakpastian hukum secara bersama-sama. Bukan sebaliknya, di mana negara justru sibuk menciptakan konflik sehingga rakyatnya semakin hancur ekonominya, tertekan secara politik, dan terzalimi hak-haknya.

Sumber daya manusia yang cerdas dan melimpah, serta kekayaan alam yang besar sudah seharusnya membuat bangsa ini sebagai bangsa yang agung, di mana anggota masyarakatnya terus mengalami progres. Sudah seharusnya pemimpin negara ini menjadikan bangsa ini terbebas dari keterjajahan politik dan ekonomi, bukan justru menjadi pelindung dari para penjajah yang memperbudak anak bangsa sendiri.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment