Moral Illiteracy dan Syahwat Politik

Moral Illiteracy dan Syahwat Politik

Moral Illiteracy dan Syahwat Politik
Lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal. (Foto: republika.co.id)

Suaramuslim.net – Tingkat kehancuran masyarakat dengan kebijakan moral illiteracy (tuna moral) jauh lebih dahsyat dan lebih cepat daripada masyarakat buta aksara biasa (illiteracy). Tuna Moral merujuk pada kebijakan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip keadilan, pluralitas, keberpihakan pada kelompok masyarakat yang lemah (terpinggirkan). Berbagai kebijakan yang ditelurkan semakin melemahkan daya beli masyarakat, sehingga angka kemiskinan terus bertambah. Bahkan kebijakan itu melahirkan konflik antar kelompok masyarakat, eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk kepentingan asing lain.

Politik tuna moral tidak lagi peduli terhadap ideologi negara yang terancam oleh paham lain yang jelas-jelas dilarang negara. Negeri mayoritas muslim ini menjadi sasaran kriminalisasi dan stigmatisasi buruk, sehingga umat Islam terus menerus mengalami bulan-bulanan dan marginalisasi.

Akselerasi kerusakan dengan tuna moral ini semakin cepat ketika elite politik yang duduk di partai politik, lembaga legislatif, atau yudikatif, tidak memiliki keberanian (moral) untuk melakukan kritik terhadap kebijakan tuna moral itu. Mereka bahkan ikut larut mendukung kebijakan tuna moral itu disebabkan oleh syahwat politik mereka yang tak terkontrol. Mereka tidak lagi menyuarakan nilai-nilai kebenaran, seperti keadilan, keberpihakan terhadap kelompok lemah, karena kepentingan mereka untuk tetap duduk di posisi mereka yang saat ini telah mapan.

Fenomena Tuna Moral dan Kerusakan Sistemik   

Melenggangnya kebijakan tuna moral karena tidak berjalannya kontrol sosial oleh sekelompok elite yang duduk di parpol, legislatif, atau yudikatif. Tidak adanya arus yang melawan kebijakan tuna moral ini semakin mempercepat dan menenggelamkan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu kebijakan tuna moral itu adalah kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau kenaikan Tarif Daya Listrik (TDL) yang tak terkendali. Sulitnya lapangan kerja, justru muncul kebijakan membuka lapangan kerja untuk orang asing (Cina). Keinginan mendapatkan limpahan kekayaan negara, justru muncul eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk kepentingan negara asing. Ketika pribumi membutuhkan lahan, untuk tempat tinggal maupun usaha, mata justru dibelalakkan oleh penguasaan atau kepemilikan tanah oleh warga asing.  

Kebijakan untuk memerangi terorisme dan radikalisme justru membuat umat Islam terbelah menjadi beberapa kelompok, antara yang membela dan kontra dengannya. Salah satunya, adanya pembubaran pengajian, penghentian pembangunan masjid dan sekolah yang dianggap tersusupi pemikiran radikal. Bahkan muncul kebijakan mengkriminalisasi ulama dan tokoh Islam, sehingga membuat umat Islam semakin terpojok.

Demikian pula kurang cepatnya menindak terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) membuat ancaman disintegrasi bangsa dan mengancam kedaulatan negara. Pembiaran terhadap  pembakar bendera merah putih, sementara galak terhadap para pembawa bendera tauhid.

Bahaya ideologi berpaham komunis seperti PKI terkesan dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian penuh. Alih-alih bertindak tegas, negara terkesan membiarkan perkembangannya demikian pesat dan leluasa. Padahal paham ini terlarang dan resmi tidak boleh hidup di Indonesia. Adanya sweeping TNI terhadap buku-buku PKI saja justu direaksi petinggi negara secara negatif, dan dianggap sedang mencari panggung politik.

Di lembaga hukum dan peradilan juga terjadi tuna moral, di mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu, dengan menangkap kelompok tertentu dan membiarkan kelompok yang lain. Ada kesan tebang pilih dalam memproses hukum. Orang-orang yang kritis terhadap rezim juga dipenjarakan dengan proses peradilan yang demikian cepat.

Kebijakan pembungkaman terhadap orang-orang yang kritis, dilakukan dengan dua cara. Pertama, diberi kompensasi jabatan tertentu. Apa yang dialami oleh Ali Mochtar Ngabalin merupakan contoh konkret. Dahulunya kritis terhadap pemerintahan sekarang menjadi pembela utama. Kedua, memprosesnya secara hukum. Orang yang kritis dicari-cari kesalahannya untuk diproses secara hukum. Orang kritis seperti Alfian Tanjung yang membongkar jaringan PKI di istana justru dipenjarakan.

Bahkan untuk memenangkan Pemilu, rezim ini juga menghalalkan segala cara guna mendulang suara. Di antaranya mengeluarkan kebijakan untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa melalui RT atau RW. Sehingga mudah bagi seseorang untuk memiliki KTP ganda. Bahkan muncul produksi KTP secara massif yang dicurigai untuk memenangkan rezim ini.  

Syahwat Politik dan Hilangnya Politik Nilai

Melenggangnya kebijakan tuna moral ini tidak lepas dari syahwat politik kelompok elite yang ada di lembaga legislatif, yudikatif, dan parpol. Perjuangan untuk menegakkan nilai, agama atau humanistik, telah berganti dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan dana jabatan. Sehingga prinsip menegakkan keadilan dan memperjuangkan kelompok yang lemah menjadi terpinggirkan.

Mereka sibuk dengan politik untuk membenarkan perilaku dan kebijakan politik yang tuna moral. Masyarakat yang terpinggirkan dan tidak memperoleh hak dan layanan dari negara, daya beli yang lemah, tidak memiliki hak atas tanah dan jenis usaha dan pekerjaan. Mereka menganggur tanpa memperoleh lapangan kerja.

Di tengah-tengah kesulitan warga masyarakat ini, elite politik yang buta terhadap nilai dan tinggi syahwat politiknya terdiam dan tidak memiliki kebijakan apapun untuk menghadang kebijakan tuna moral. Bila mereka membela masyarakat yang lemah dan berjuang menegakkan keadilan maka dia akan habis karier politiknya dan tidak memperoleh apa-apa, baik jabatan atau kekuasaan. Kelompok elite yang seharusnya kritis ini justru terbungkam oleh kebijakan tuna moral, yakni terpenuhinya syahwat politiknya berupa kekuasaan dan jabatan.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment