‘Ngalam’, Bahasa Gaul Lintas Generasi

‘Ngalam’, Bahasa Gaul Lintas Generasi

‘Ngalam’, Bahasa Gaul Lintas Generasi

Suaramuslim.net – Pernahkah diantara kalian yang merasakan gagal paham dengan bahasa seseorang? Saya memiliki pengalaman menarik soal itu. Dalam sebuah grub chatting, beberapa anggota menggunakan bahasa walikan khas ‘Ngalam’ alias ‘Malang’.

Saya pikir teman-teman di grub itu aneh atau dalam kondisi stres. Bagaimana tidak, mereka berkomentar menggunakan bahasa yang benar-benar asing dan terkadang sulit untuk melafalkannya. Contohnya uyhaw (Wahyu), ladub (budal: basa Jawa), ykzir (Rizky), dan sebagainya.

Bahasa walikan ala arek-arek Malang rupanya menjalar ke remaja metropolitan di luar Malang. Bahasa yang cukup unik dan seringkali menggelitik itu sudah menjelma menjadi bahasa gaul di kalangan remaja. Seperti pantauan yang pernah dilakukan oleh situs Citizen6 tahun 2014 lalu yang memberitakan bahwa tren bicara dengan kalimat walikan sudah menjalar di kumpulan anak remaja di Jabodetabek. Bahkan obrolan dengan gaya khas ‘Ngalam’ itu juga popular di media sosial twitter dan path.

Warga Malang Raya dan sekitarnya seperti Batu, Pasuruan, Lumajang, dan Probolinggo biasa menggunakan bahasa walikan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bahasa Ngalam sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Saat itu para prajurit dari Jawa Timur, khsusnya Malang, sepakat memakai bahasa Indonesia yang dibalik ejaan katanya.

Tujuannya selain mempermudah komunikasi dengan para pejuang lain, juga untuk pengaturan strategi saat di medan perang. Ini semacam bahasa isyarat yang digunakan oleh para prajurit agar tidak mudah dimengerti oleh pihak musuh. Kebiasaan berbicara dengan bahasa yang dibolak-balik ini nyatanya masih tetap eksis sampai saat ini.

Di bumi Arema, bahasa Ngalam juga dipajang menjadi sarana promosi yang menarik. Sejumlah pelaku industri atau pebisnis sengaja memberikan brand dagangannya menggunakan bahasa walikan. Di sektor pariwisata atau branding kota (city branding) tertulis “Ngalam kipa”, maksudnya Malang apik. Warung pecel enak diubah menjadi warung lecep kane, kaos Ngalam menjadi Soak Ngalam, nasi goreng menjadi nasi ngerog, dan seterusnya.

Pengaruh popularitas bahasa Ngalam yang menyebar hingga ke kota-kota lain tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya melalui institusi pendidikan tingkat tinggi. Dikenal sebagai kota pendidikan, sejumlah universitas di Malang menjadi serbuan pelajar dari berbagai penjuru wilayah di Indonesia. Saking lamanya bergaul dengan arek-arek Malang, mahasiswa pendatang ikut terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Ngalam. Beberapa bahasa gaul yang mungkin sering kita dengar diantaranya woles yang merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris ‘selow’ (santai). Ada rudit (tidur), kuy (yuk), oyi (terjemahan dari bahasa Jawa iyo).

Tak ketinggalan, para pemandu wisata di Malang juga ikut memperkenalkan bahasa Ngalam kepada setiap pelancong yang berkunjung ke berbagai wisata di Malang. Mulanya para pemandu wisata akan membuat pengunjung bingung dengan kalimat yang diucapkannya. Namun setelah itu, mereka juga akan mengatakan maksud kalimat yang diucapkannya sambil menjelaskan singkat soal bahasa Ngalam.

Penggunaan bahasa walikan juga ditemui di ruang yang sedikit formal. Biasanya kandidat calon legislatif atau pemimpin daerah akan berpidato atau berkampanye menggunakan bahasa Ngalam. Begitu halnya dengan komunikasi politik bahasa Ngalam biasa bertebaran di papan reklame, baliho, selebaran, dan banner yang terpajang di pinggiran jalan. Justru jika ada calon kandidat yang tidak bisa berbahasa Ngalam dengan lancar, akan dianggap bukan asli orang Malang dan kurang dekat dengan semua golongan.

Sudah tertarik berkomunikasi menggunakan bahasa Ngalam? Bagi Anda yang baru mengenal bahasa walikan ini, maka perlu berlatih untuk membolak-balikkan ejaan kata bahasa Indonesia. Anda pun bisa sesekali mengintip kamus bahasa Ngalam yang dibuat oleh beberapa pemuda asli Malang melalui sebuah website. Disana ada banyak deretan kosa kata Ngalam yang dipakai sejak tempo dulu hingga bahasa gaul anak muda masa kini.

Kontributor: Siti Aisah
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment