Nisab, Nasib, Nasab serta Do’a

Nisab, Nasib, Nasab serta Do’a

Keterikatan antara Nisab, Nasib, Nasab serta Doa

Penulis: Yudha Heryawan Asnawi

Suaramuslim.net – Di salah satau Whatsapp Group (WAG) yang saya ikuti, ada seorang sahabat, namanya kang Budhy Kartasurya beliau rajin “sharing” resume kuliah subuh yang diselenggarakan di Masjid Al Muttaqien, Komplek Gedung Sate Bandung.

Ya, inilah hebatnya media sosial, hikmah dari Bandung bisa dirasakan sampai Bogor dan kota-kota lainnya.

Pagi ini beliau meresume kuliah subuh yang beliau ikuti, begini yang beliau posting.

“Ceramah ba’da sholat Shubuh dari Bapak Ustadz :
Beribadah haji harus memenuhi 2 (dua) hal utama, yaitu Nisab (kemampuan ekonomi) dan Nasib (takdir Allah subhanahu wa ta’ala)”.

Saya menduga, tema ini diangkat oleh pak Ustadz, karena musim haji 2018 telah tiba.

Tentu kesimpulan pak Ustadz adalah benar, Nisab dan nasib adalah sesuatu yang meliputi kehidupan kita, termasuk dalam urusan ibadah haji.

Tanpa bermaksud mengkoreksi, ~dengan segala keterbatasan saya~  saya mencoba melanjutkan tentang urusan berhaji. Selain Nisab (ekonomi) dan Nasib (prerogative Allah), juga ada satu lagi yang penting yaitu Nasab (garis keturunan) dalam urusan berhaji.

Mengapa garis keturunan bisa memenuhi ibadah haji?

Karena doa orangtua ketika ada di tanah suci, pada saat menjalankan ibadah haji, satu diantaranya adalah “Ya Allah, berikanlah kesempatan pada anak-anak dan cucu-cucu hamba untuk bisa menjalankan ibadah haji, sebagaimana Engkau memberi kesempatan pada hamba”.

Tak ada yang bisa merubah Nasib, kecuali doa hamba yang shalih, apalagi jika dipanjatkan di tempat dan waktu yang terbaik di saat menjalankan ibadah haji.

Boleh jadi, mereka yang beribadah haji, bukan karena kemampuan ekonominya saja, melainkan karena dikabulkan permintaan orangtuanya ketika orangtua tersebut beribadah haji. Kita melihat banyak orang kaya yang tak tergerak hatinya untuk berhaji, setelah dipotret latar belakang orangtuanya, orangtuanya pun bukan orang yang berselera untuk berhaji.

Karenanya jika saya mendengar seorang sahabat yang pertama berangkat haji di antara keluarga besarnya, saya selalu menunduk, menitikkan air mata. Bagi saya itulah anugerah Allah yang luar biasa, yang menjadikan ia wasilah bagi anggota keluarga lainnya untuk bisa mengecup nikmat ibadah haji.

Ibadah haji adalah ladang doa yang terhampar. Doa adalah seumpama benih, boleh jadi ia tak langsung tumbuh dan berkembang. Tetapi seperti janji Allah, doa yang baik dari orang sholih hanya berujung pada tiga perkara yaitu langsung dikabul, ditunda waktunya atau digantikan dengan nikmat yang lain. Hanya terkadang manusia tak sabar dengan kepastian sebuah doa.

Doa adalah cahaya yang gelombang sinarnya tak akan mampu dilihat oleh materialisme. Doa adalah cahaya yang hanya dapat dipandang oleh kalbu.

Saya menjadi teringat, tausiyah Profesor Kudang Borosuminar pada saat walimatussafar, sahabat saya, Dr. Nunung Nuryartono hari sabtu kemarin. “Prof. Kudang, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, seorang teknokrat, mengatakan, bahwa kecerdasan seseorang diantaranya adalah ketika ia mempercayai yang ghaib. Ia harus percaya bahwa ada surah-surah atau lafadz-lafadz yang bisa merubah yang tak mungkin menjadi mungkin di luar nalar manusia, yang berdampak pada kehidupan manusia. Kekuatan ghaib Itulah doa dan bacaan kitab suci”.

Saya mengambil saripati apa yang dikatakan beliau, bahwa Manusia yang dicengkeram oleh akal semata atau oleh materialisme dan teknologi, ia adalah manusia yang baru setengah cerdas, atau bahkan tidak cerdas sama sekali.

Jika Allah memberi kesempatan untuk berhaji atau berumrah, sebutlah nama anak-anak kita, saudara kita, guru-guru kita, sahabat kita, cukuplah mintakan agar Allah menetapkannya sebagai tamu-Nya dan melimpahinya dengan gelar mabrur. Karena tak ada tempat bagi haji mabrur kecuali surga, al jannatu naim.

Dunia hanyalah panggung sandiwara, bahkan Tuhan menyindir dalam surah At Takatsur, Kita ini senang bermegahan di dunia ini dan mencarinya sampai terkadang sampai lupa mati. Padahal Tuhan di surah yang sama juga bilang,

“Kamu tidak tahu sih! Ya, kamu tidak tahu sih?”

Dalam berhaji yang tulus dan penuh pasrah, mudah-mudahan kita mendapat jawaban mengapa Tuhan mengatakan bahwa kita adalah orang yang tak tahu bahwa kemegahan dunia adalah semu.

Berdoalah dan doakanlah, agar kita dan orang lain bisa berhaji. Aamiin.

*Ditulis di Warung Nasi Husanah, Sukahati Cibinong, 23 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment