Pemimpin Kafir dan Lahirnya Kejahatan Sosial

Pemimpin Kafir dan Lahirnya Kejahatan Sosial

pemimpin kafir karena kejahatan sosial

Suaramuslim.net – Tahun ini Indonesia disibukkan dengan wacana kepemimpinan. Disadari atau tidak, masyarakat menghabiskan waktunya untuk membicarakan masalah kepemimpinan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan bakal calon anggota legislatif hingga presiden. Energi pikiran, waktu, dan uang benar-benar terkuras untuk munculnya pemimpin yang terbaik.

Dalam konteks ini, Islam menekankan bahwa kepemimpinan adalah faktor yang sangat penting dan menentukan. Dikatakan penting, karena pemimpin harus ada dan mumpuni. Dikatakan menentukan karena pemimpin sangat menentukan baik tidaknya anggota masyarakat. Ketika seorang pemimpin itu baik akhlak dan moralnya serta memiliki kinerja yang maksimal, maka keadaan masyarakatnya akan maksimal. Sementara ketika pemimpin cacat moral dan memiliki kinerja yang buruk, maka masyarakatnya akan menderita.

Bahaya Pemimpin Kafir

Dalam Islam, kepemimpinan sangat khususnya dalam menegakkan nilai-nilai agama, sehingga keberadaannya sangat mutlak. Dari sisi pemimpin, kriterianya sangat ketat dan mengharuskan dirinya memiliki sejumlah kelebihan dibanding yang lain. Keunggulan dari dalam berupa kepribadian yang baik.

Sementara dari luar, dia harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai. Kemampuan dari dalam dan luar ini dalam rangka menghadapi berbagai problem internal maupun eksternal. Sementara dalam konteks luar, masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin. Pemimpin harus benar-benar membawa kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga masyarakat tidak memilih pemimpin.

Islam menggariskan pemimpin itu harus memiliki kesamaan agama, dimana pemimin itu membela terhadap agama masyarakatnya. Bukan pemimpin yang melecehkan agamanya, sehingga tidak membuat masyarakatnya terhina. Oleh karena itu, Islam melarang pemimpin kafir. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah: 51)

Orang kafir adalah kelompok manusia yang tidak diberi petunjuk. Orang yang tidak memperoleh petunjuk bisa dipastikan mudah untuk melanggar penjajian dan kesepakatan. Pemimpin yang tidak mendasarkan pada petunjuk, akan mudah memperturutkan kepentingan atau hawa nafsu dan tidak mengindahkan akal sehat. Allah menegaskan kecenderungan manusia untuk memperturutkan hawa nafsu, sebagaimana firman-Nya :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 49)

Orang kafir senantiasa mengajak manusia untuk berpaling untuk melanggar tatanan yang telah diatur Allah lewat utusan-Nya. Allah telah membuat dan menetapkan aturan terbaik untuk manusia, tetapi manusia memiliki kecenderungan untuk menolak dan lebih memilih membuat aturan yang didasarkan pada kepentingannya yang sesaat. Sehingga tidak salah bila Allah menyebut tata aturan yang dibuat oleh manusia adalah tatanan jahiliyah.

Dikatakan demikian karena menolak tatanan yang terbaik dan memilih tatanan yang buruk. Sehingga benar ketika Allah menyatakan manusia lebih memilih hukum jahiliyah dan menolak untuk berpegang pada hukum yang dipandu oleh Allah. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS. Al-Maidah: 50)

Kepemimpinan Buruk dan Pemusnahan Generasi

Allah menunjukkan bahwa dari generasi ke generasi ada pemimpin yang mereproduksi hukum tetapi tidak mendasarkan pada aturan dan perintah Allah. Bahkan justru sengaja melawan hukum Allah. Memenjarakan pencuri dan pembunuh atau mendenda mereka dengan menolak hukum potong tangan benar-benar memperbanyak kejahatan. Melegalkan minuman keras dan pelacuran telah melahirkan generasi pemaabuk dan bertambahnya jumlah pelacur.

Maka tepat ketika Allah menyatakan hukum seperti ini adalah hukum orang fasik, sebagaimana firman-Nya :

وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 47)

Allah menunjukkan penolakan terhadap hukum Allah karena beberapa sebab. Di antaranya karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah. Penolakan terhadap hukum Allah itu karena memperturutkan hawa nafsu dan mengutamakan kepentingan sesaat.

Ketika masyarakat lebih menempatkan hawa nafsu dan kepentingan sesaat, maka tidak salah bila mana memusnahkannya, dan akan mendatangkan kaum yang patuh kepada-Nya, cinta kepada orang muslim, dan tegas terhadap orang kafir, sebagaimana firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Maidah: 54)

Untuk menghindari kemurkaan Allah, maka untuk memilih pemimpin seharusnya mereka yang teguh dalam menegakkan agama, bukan mempermainkannya. Al Quran memperingatkan untuk menghindarkan pemimpin yang sering membuat agama sebagai ejekan dan hinaan, sehingga menciptakan masyarakat yang senantiasa membuat pelanggaran. Hal ini sebagaimana firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Maidah: 57)

Sudah saatnya kaum muslimin merumuskan kriteria pemimpin yang bisa menciptakan kesejahteraan dengan menjamin berjalannya aturan agama di tengah kaum muslimin. Hal ini semata-mata untuk menghindari lahirnya pemimpin yang justru menciptakan ketidaknyamanan kaum muslimin dalam menciptakan nilai-nilai dan aturan agama mereka.

Kaum muslimin, sebagai mayoritas, seharusnya bisa merasa bebas dalam menjalankan aturan dan norma agamanya. Bukan justru mengalami tekanan dan ancaman ketika melaksanakan ajaran agama mereka.

Kontributor: Dr. Slamet Muliono
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment