Pemindahan Kiblat dan Keteguhan Memegang Prinsip

Pemindahan Kiblat dan Keteguhan Memegang Prinsip

Al-Quran dan Ka'bah. Foto: pixabay.com

Suaramuslim.net – Pemindahan kiblat dari Masjid Al-Aqsa ke Masjid Al-Haram merupakan batu ujian bagi Nabi Muhammad pada khususnya, dan bagi kaum muslimim umumnya.

Dikatakan batu ujian karena perpindahan kiblat itu menimbulkan kegaduhan, berupa cemoohan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak simpati pada Islam. Dalam konteks internal, perpindahan kiblat ini merupakan ujian bagi keteguhan Nabi dalam memenuhi perintah Allah kepadanya. Ketika goyah dalam memegang teguh perintah Allah, sama artinya mengesampingkan amanah yang diembankan kepadanya, runtuh pula otoritasnya sebagai utusan Allah.

Keteguhan Nabi dalam mengawal perpindahan kiblat menunjukkan kekokohan dalam beragama dan memegang teguh risalah kenabian.

Kegelisahan nabi dan pertolongan Allah

Perpindahan kiblat itu tidak lepas dari kegelisahan Nabi karena hatinya yang selalu condong kepada Masjid Al-Haram. Beliau menengadah dan berdoa kepada Allah, hatinya mengarah pada Masjid Al-Haram.

Kegundahan Nabi ini cukup lama sehingga Allah mengabulkan kegelisahan itu dalam bentuk perpindahan kiblat. Kegelisahan Nabi ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:

قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ لَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُونَ

“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid Al-haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144).

Perpindahan kiblat itu merupakan bentuk ujian dari Allah. Allah ingin menguji keteguhan Nabi dalam memegang teguh amanah yang diembankan kepadanya. Keteguhan hati dalam memegang amanah ini merupakan tonggak utama dalam beragama.

Ketika tonggak itu kuat maka akan kuat pula daya tarik pada umat. Sebaliknya, bila tonggak itu goyah, entah karena terpaan dan cemoohan, maka runtuhlah otoritas keagamaan itu. Betapa tidak, ketika Nabi goyah dan ragu untuk berpindah kiblat, maka sama saja meragukan perintah yang diterimanya.

Allah meneguhkan hati Nabi sehingga kokoh dan teguh dalam memegang amanah untuk berpindah kiblat. Kiblat bukan hanya sebagai simbol ketaatan terhadap petunjuk tetapi juga menunjukkan kelurusan dan kelapangan hati Nabi dalam menerima perintah-Nya.

Bahkan kiblat merupakan parameter dalam melakukan kebaikan dan berlomba-lomba di atasnya. Hal ini merujuk pada firman Allah sebagai berikut:

وَلِكُلّٖ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَاۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 148).

Ketika hati sudah lurus dan berbagai kebaikan sudah direproduksi maka mudah bagi Allah untuk memberi perintah. Perintah agung kepada Nabi akan mudah terlaksana bila landasan ketaatan, dalam memindahkan kiblat, sudah dilalui.

Hal ini selaras dengan tugas seorang nabi yang begitu berat dalam mengawal kepada ketaatan. Tantangan berat yang dihadapi Nabi tidak lain dari mereka yang suka berbuat zalim. Mereka selalu menolak kebenaran yang datang ada mereka. Hal ini selaras dengan firman Allah berikut:

وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيۡكُمۡ حُجَّةٌ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِي وَلِأُتِمَّ نِعۡمَتِي عَلَيۡكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ

“Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid Al Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 150).

Tantangan terberat dari Nabi adalah meyakinkan umatnya untuk tunduk dan patuh terhadap perintah Allah. Karena orang-orang senantiasa menolak kebenaran, meskipun apa yang diterima berupa kebenaran yang mutlak.

Ketakutan kepada Allah merupakan modal utama guna menghadapi cercaan dan cemoohan dari pihak lain. Dengan takut kepada Allah, maka Allah akan semakin menyempurnakan kenikmatan dan memperkuat petunjuk-Nya. Itulah pertolongan Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.

Sebaliknya, ketika seorang hamba tidak takut kepada Allah dan cenderung mengikuti kemauan manusia, guna menghindari cercaan dan cemoohan orang lain, maka Allah berlepas diri dan membiarkan orang-orang zalim memporak-porandakan keyakinan umat Islam.

Betapa banyak kenikmatan yang kita terima, baik berupa keimanan, kesehatan, kekayaan, keilmuan, keamanan, tidak lain karena atas pertolongan dan petunjuk Allah.

Surabaya, 27 Juni 2020

Dr. Slamet Muliono R.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment