Pendidikan Multikultural Sebagai Harmoni Perbedaan

Pendidikan Multikultural Sebagai Harmoni Perbedaan

Pendidikan Multikultural Sebagai Harmoni Perbedaan

Suaramuslim.net – Sore ini saya kebetulan ada janji dengan seorang kawan, sahabat Don Nasir. Saya mengiyakan bertemu dengan beliaunya di tempat favoritnya, tempat yang menurutnya banyak menyimpan cerita perjalanan hidupnya. Kaza, katanya memberikan banyak cerita berkaitan dengan lakon hidup yang dijalani.

Kami ngopi dan berdiskusi, diselingi juga dengan teman bersantap sore, rempelo ati, sambel bawang dan tentu teh hangat.

Banyak hal yang menjadi bahan diskusi, mulai dari nasib pedagang di jalan Semarang, bagaimana menata Surabaya yang lebih baik, menata ulang langkah-langkah gerakan yang sudah berjalan dan banyak menemui kendala, serta perilaku-perilaku yang kadang memantik perpecahan, mengambil untung dari sebuah masalah yang ditangani, dan banyak hal lain yang menjadi kegelisahan kami berdua.

Di tengah diskusi yang lumayan santai itu, tiba-tiba kami melihat sepasang muda mudi yang berjalan beriringan sambil membawa barang belanjaannya. Mereka kelihatannya berbicara serius dan sesekali diselingi mimik muka yang marah, dan tiba-tiba “plak” tangan kekar sang lelaki menampar pipi si gadis.

Kami kaget dan merasa geram tak bisa berbuat apa-apa, kami hanya bisa bergumam “laki-laki model apa memperlakukan perempuan dengan cara kasar seperti itu”.

Untungnya ada teman dari si lelaki tadi yang melerai dan mengamankan si gadis dari perbuatan kasar si lelaki yang tak bertanggung jawab tadi.

“Meski kehidupan saya keras seperti ini, tapi satu hal yang dipesankan ibu saya, jangan pernah berbuat kasar kepada perempuan, karena perempuan itu adalah orang yang pernah mengandungmu, perempuan itu ibarat ibumu sendiri”, begitu Don Nashir berucap.

Hal yang sama juga saya rasakan bahwa saya berusaha dalam hidup agar tangan saya tidak pernah terkotori untuk memukul perempuan.

Mengapa Orang Bisa Berbuat Kasar Kepada Orang Lain?

Dalam diri manusia sebagaimana digambarkan dalam hadis Rasulullah “bahwa dalam diri manusia itu ada segumpal daging yang disebut dengan hati, bila hati itu baik maka baiklah perbuatan orang tersebut, dan sebaliknya, apabila hati itu jelek maka jeleklah perilakunya”.

Baik dan buruknya perilaku manusia juga sudah dinarasikan Nabi dalam sebuah sabdanya yang mengatakan “Setiap bayi yang dilahirkan itu selalu dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang menyebabkan dirinya menjadi Nasrani, Majusi ataupun menjadi Muslim”.

Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah perilaku manusia banyak dipengaruhi kebiasaan yang terjadi dalam lingkungannya.

Lingkungan terdekat itulah yang banyak memberikan pengaruh terhadap perilaku sikap yang diambil. Disinilah yang disebut perilaku berkebudayaan.

Bisa jadi kerasnya perilaku sikap seseorang terhadap orang lain, dipengaruhi oleh lingkungan orang tersebut tinggal. Kalau orang mudah memukul orang lain, bisa jadi masa kecil orang tersebut sering mengalami pukulan, kalau orang itu tega berbuat kasar terhadap perempuan yang seharusnya dilindungi sebagai manusia lain, bisa jadi dia mendapatkan tauladan orang tuanya sering memperlakukan ibunya dengan kasar.

Lingkungan banyak memberi stimulan perilaku manusia yang tersimpan di alam bawah sadarnya.

Darimana Kita Bisa Melakukan Perubahan Perilaku?

Perilaku baik dan buruk sejatinya terbentuk dari proses berulang-ulang yang disaksikan. Sehingga proses berulang itu seolah menjadi panduan berperilaku.

Proses berulang itulah yang disebut sebagai “habit” yang kelak akan menjadi budaya berperilaku.

Pendidikan sejatinya merupakan antitesa dari sebuah kebiasaan yang dilakukan di luaran dunia pendidikan.

Pendidikan merupakan tempat melakukan antitesa baru agar bisa menyemai nilai-nilai yang baik.

Pendidikan Seperti Apa yang Dibutuhkan?

Kekerasan terjadi karena ketidakmampuan seseorang menghormati dan menghargai orang lain, sehingga merasa tak butuh terhadap keberadaan orang lain. Sehingga dalam pendidikan perlu ditanamkan penghargaan terhadap orang lain.

Keberagaman dan perbedaan adalah sebuah takdir yang harus kita terima, sehingga kita tidak boleh menjadikan perbedaan itu untuk menyemai permusuhan.

Pendidikan multikultural meminjam istilah yang dibuat oleh Anita Lie, mutlak perlu ditanamkan.

Pendidikan multikultural membangun sebuah pembiasaan bahwa selalu ada perbedaan dalam hidup ini, yang terpenting bagaimana kita bisa mengharmoni perbedaan itu menjadi sajian yang menarik dan lezat untuk kita nikmati.

Misalkan kita selalu berterima kasih kepada siapapun yang kita rasakan telah berbuat baik kepada kita. Pembiasaan seperti ini akan membangun sebuah sikap beradab dan bisa menghargai orang lain.

Saya teringat tulisan saya sebelumnya belajar dari pedagang rujak. Meski unsur pembentuk rujak itu banyak, ditangan pembuat rujak, unsur-unsur yang berbeda itu bisa disatukan menjadi sebuah sajian yang lezat. Mangga tetap menjadi mangga dengan rasa khasnya, begitu juga mentimun dan unsur lain, mereka tetap menjadi dirinya sendiri, tapi menyatu menjadi harmoni rujak cingur yang lezat.

Hal lain yang juga bisa menjadi tauladan membangun budaya menghargai dan saling melengkapi, hari minggu sore saya mampir ke Balai Pemuda hanya untuk melakukan Sholat Ashar. Ketika melewati lorong, saya melihat banyak anak berlatih memainkan musik orchestra dari berbagai alat musik. Di tangan seorang pelatih musik yang piawai, paduan suara musik dari berbagai alat itu membentuk harmoni yang bisa di dengar dengan nyaman.

Kemampuan menghargai, menghormati dan mengharmoni perbedaan dalam sebuah ekosistem kebudayaan yang disebut sekolah hanya akan bisa dilakukan oleh guru yang terlatih dan terdidik secara baik dalam sebuah habitat kebudayaan yang baik.

Sekolah mesti harus dipersiapkan menjadi tempat bersemainya perilaku menghargai, guru juga harus dilatih membiasakan diri menghargai apapun yang ada pada muridnya.

Kalau itu semua terjadi, lingkungan sekolah baik, guru-guru juga berlaku baik, mendidik dengan budi pekerti dan kehalusan, saya menyebutnya pendekatan hati, maka akan bisa dimungkinkan munculnya generasi didik yang sanggup mengelola perbedaan menjadi sebuah energi yang menakjubkan bagi keragaman Indonesia.

Bagi saya pernyataan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” justru merupakan ungkapan yang nir produktif, akan memicu pertikaian, yang seharusnya menurut saya adalah “Saya Isa Ansori, Saya Indonesia”, “Saya Isa Ansori, Saya Pancasila”.

Ungkapan tersebut secara psikologi sejatinya akan membangun makna bahwa saya berkontribusi terhadap Indonesia dan Pancasila.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. Ar Rum: 22).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q. S. Al Hujurat: 13)

* Ditulis di Surabaya, 7 Maret 2018
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment