Pendidikan Berbasis Adab, Tunggu Apa Lagi

Pendidikan Berbasis Adab, Tunggu Apa Lagi

Pendidikan Berbasis Adab, Tunggu Apa Lagi

Suaramuslim.net – Belum lekang dalam ingatan, seorang guru di Sampang Madura meregang nyawa akibat dianiaya oleh muridnya sendiri. Kasus terbaru, viral di media sosial facebook seorang murid SMP membuka baju seragam berteriak-teriak menantang gurunya di ruang kepala sekolah. Parah.

Alhamdulillah, bersama video memiriskan itu disertakan pula video yang menyejukkan hati. Rombongan murid di sebuah pesantren nampak berdiri di pinggir jalan, berhenti, membungkukkan badan penuh ta’zhim ke arah jalan. Ada apa gerangan? Mobil gurunya sedang melintas! Subhanallah. Kita tentu mendambakan anak-anak seperti ini, yaitu anak-anak yang berakhlak mulia, yang beradab kepada gurunya, bukan anak-anak yang kurang ajar apalagi sampai berani menganiaya dan membunuh gurunya. Wal iyadzu billah. Jika demikian, mari bertanya, apakah pendidikan di sekolah telah memprioritaskan penanaman adab? Atau hanya mengutamakan pencapaian akademik berbau materialistis?

Sebenarnya, UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 telah mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan yang dapat mencetak insan terdidik yang beradab. Dalam bahasa UU, adab disebut akhlak mulia. UU Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Jauh sebelum UU Sisdiknas dirumuskan, Pancasila telah mengamanatkan untuk membentuk manusia yang adil dan beradab. Sayang, nampaknya dunia pendidikan kita belum menempatkan penanaman adab sebagai prioritas pertama dan utama. Prestasi akademik masih di-nomor satu-kan, sementara adab di-nomor dua-kan. Terbukti, seorang anak masih boleh naik kelas jika pintar walaupun tidak beradab padahal kerusakan di muka bumi justru lebih disebabkan oleh orang-orang pintar yang tidak beradab, daripada mereka yang tidak cukup pintar tetapi beradab. Dengan pertimbangan ini, meluluskan siswa yang bermasalah secara adab walaupun berprestasi secara akademik sebaiknya dipandang sebagai preseden buruk bagi dunia pendidikan.

Syed Muhammad Naquib al-Attas, filsuf Muslim abad ini berkali-kali menegaskan bahwa masalah terbesar umat saat ini ialah hilangnya adab, loss of adab. Hilang adab bermula dari kekeliruan ilmu. Kekeliruan ilmu meniscayakan kehilangan adab. Contoh kekeliruan ilmu antara lain menganggap prestasi akademik lebih penting dari pada adab, padahal dalam tradisi Islam, adab adalah prioritas pertama dan utama sebelum ilmu, walaupun adab itu sendiri adalah ilmu.

Imam Ibnul Mubarak (726-797 H) pernah berkata, “Kami belajar adab selama 30 tahun lalu belajar ilmu selama 20 tahun.” Abdurrahman bin al-Qasim (132-191 H), murid Imam Malik, berkata, “Aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun. Dua tahun aku mempelajari ilmu dan delapan belas tahun mempelajari adab. Seandainya saja aku bisa jadikan seluruh waktu tersebut mempelajari adab”.

Pentingnya adab sebelum ilmu membuat Imam az-Zarnuji menulis kitab khusus adab penuntut ilmu yaitu Kitab Ta’lim Muta’allim. Ulama besar yang pernah dimiliki Indonesia, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga menulis kitab serupa yaitu kitab Adabul ‘alim wal Muta’allim. Kedua kitab ini secara eksplisit menerangkan adab-adab yang perlu diamalkan oleh para penuntut ilmu agar ilmunya berberkah.

Menyadari pentingnya menanamkan adab yang baik kepada para murid, Dr. Adian Husaini, pakar pemikiran dan peradaban Islam terkemuka, mendirikan Pondok Pesantren at-Taqwa di Depok. Pondok Pesantren at-Taqwa menyelenggarakan dua jenjang pendidikan yaitu, Shoul Lin al-Islami (setingkat SMP) dan Pesantren for The Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC/setingkat SMA).

Dengan tegas dan terang Dr. Adian Husaini menyatakan, tujuan PP. At-Taqwa ialah untuk menanamkan adab. Inilah prioritas pertama dan utama. Kitab-kitab yang sarat dengan muatan adab menjadi kitab wajib pesantren. Selain dua kitab adab di atas, santri-santri wajib mengkhatamkan Kitab Taisirul Khallaq fil ‘Ilmi Akhlak karya Hafid Hasan Mas’udi dan Kitab Adabul Insan karya Habib Usman bin Yahya.

Demikianlah secuil upaya menanamkan adab terhadap anak. Tentu, pendidikan berbasis adab tidak hanya dapat diterapkan di pesantren-pesantren. Hal serupa juga dapat diterapkan di sekolah-sekolah. Bagaimana pelaksanaannya, tergantung kreatifitas masing-masing sekolah. Salah satu caranya ialah menjadikan penilaian adab sebagai indikator utama kelulusan. Jika mau, tidak ada yang tidak mungkin. Jadi, tunggu apa lagi?

Oleh: Wahyudi Husain
*Guru di Shoul Lin al-Islami, Pondok Pesantren at-Taqwa, Depok

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment