Pengelola Wakaf Berjiwa Wirausaha

Pengelola Wakaf Berjiwa Wirausaha

Masjid Adalah Benteng Kehidupan Umat
Masjid Islamic Centre Samarinda, Kalimantan Timur. (Foto: republika.co.id)

Suaramuslim.net – Jiwa wirausaha tidak hanya berlaku untuk pelaku bisnis atau pedagang saja. Namun bagi pengelola wakaf perlu ditumbuhkan sejak dini. Saat seseorang berniat menjadi pengelola wakaf harus tertanam dalam benaknya berwirausaha.

Wakaf yang semula untuk masjid, mungkin perlu bergeser untuk bidang usaha seperti pom bensin, supermarket atau hotel. Sehingga perputaran uangnya bisa bermanfaat bagi umat. Untuk ke arah sana tentu butuh jiwa-jiwa wirausaha yang handal. Tidak berhenti pada menjadi pegawai.

Abdul Djamil dari Dirjen Bimas Islam Kemenag saat memberikan bantuan pemberdayaan wakaf produktif dan pemanfaatan tanah wakaf kepada sejumlah nazhir (pengelola aset) wakaf, berharap para nazhir wakaf juga memiliki jiwa enterpreneurship atau pandai berwirausaha.

Dari wirausaha tersebut kebermanfaatan wakaf bisa berkembang dan terus berjalan. Ketika tanah wakaf tersebut semakin besar, pahala yang diperoleh pemberi wakaf akan semakin besar pula. Wakaf termasuk dari sedekah jariyah. Dan sedekah jariyah nilainya sama dengan ilmu yang bermanfaat. Terus membesar seiring kemanfaatannya.

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara. Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR Muslim no. 1631)

Nazhir yang memiliki jiwa wirausaha tidak berhenti menjaga aset wakaf untuk terus mengalir pahalanya kepada wakif. Namun dia mengembangkan sehingga terasa betul kemanfaatan kepada umat. Jika dijadikan sekolah maka sekolah bisa berkembang dengan pesat. Jumlah muridnya semakin banyak. Jika berbentuk pom bensin maka pendapatannya semakin meningkat. Banyak kendaraan yang singgah di pom tersebut. Jika semakin menguntungkan, ditambah swalayan dan rumah makan. Sehingga kebermanfaatannya semakin tinggi.

Produktivitas itu yang diharapkan agar bisa dipastikan kelanggengannya. Selanjutnya bisa memberi manfaat kepada yang lain. Atau mengembangkan di daerah lain. Membeli tanah yang lain untuk didirikan aset lagi seperti pom bensin atau sekolah.

Potensi wakaf di Indonesia begitu besar. Potensi tersebut disayangkan hanya berhenti di wakaf statis sehingga tidak bernilai ekonomis. Karena nilai pemberdayaannya kurang. Dalam catatan di Kemenag saja tanah wakaf yang terdaftar sekitar 3,5 miliar persegi pada 420 ribu lokasi. Kebanyakan untuk masjid, sekolah dan kuburan.

Tidak ada masalah jika untuk masjid. Namun nadzir jangan berpikir untuk berhenti di masjid. Bagaimana masjid tersebut bisa ramai. Dari masjid tersebut ada pendidikan non formal. Atau dari masjid tersebut karena dijadikan pemberhentian musafir, ada warung makan. Yang tentunya laba dibagi ke masjid dan pengelola warung itu sendiri. Sehingga ada nilai ekonomi.

Merubah paradigma wakaf ke nilai material juga perlu. Sejak awal seseorang yang akan mewakafkan tanahnya jangan terlalu mendikte untuk masjid atau kuburan. Berikan tanah tersebut ke pengelola yang dipercaya misal ke Muhammadiyah. Nanti dari pengurus Muhammadiyah akan dikembangkan menjadi apa pun maka ikuti saja.

Masjid sudah terlalu banyak (di perkotaan). Jika memang letak strategis dan memenuhi syarat untuk didirikan rumah sakit, seorang pewakif harus menurut. Letak tanah wakaf jadi tidak produktif karena pewakif kaku ketika memberi wakaf. Padahal inti dari wakaf adalah nilai kebermanfaatan untuk umat. Masalah bentuk, tidak mutlak harus tempat ibadah seperti masjid.

Di Arab Saudi, ada tanah wakaf milik rakyat Aceh yang saat ini sudah jadi hotel dan apartemen. Tanah wakaf Baitul Asyi telah diikrarkan oleh Habib Abdurrahman atau Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 H atau tahun 1809 M di hadapan Hakim Mahkamah Syariah Makkah sebagai wakaf muqayyad atau wakaf bersyarat. Syarat tersebut berupa pemanfaatannya kepada rakyat Aceh. Sehingga pada musim haji, warga Aceh bisa menempati hotel dan apartemen tersebut. Bahkan sejak tahun 2007 jemaah haji dari Aceh bisa mendapatkan hasil dari pengelolaan tanah wakaf tersebut sebesar 1.200 riyal atau sekitar Rp 4 juta lebih per jemaah.

Pada akhirnya wakaf dari sebuah rumah di depan Kakbah bisa memberikan manfaat yang besar kepada rakyat Aceh itu sendiri. Hal demikian yang diharapkan interaksi wakaf tersebut.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment