Peran Guru Sebagai Pendidik, Orang Tua Sekaligus Sahabat Siswa

Peran Guru Sebagai Pendidik, Orang Tua Sekaligus Sahabat Siswa

Peran Guru Sebagai Pendidik, Orang Tua Sekaligus Sahabat Siswa

Suaramuslim.net – Hubungan guru dengan siswa tidak sekadar hubungan orang tua dengan anak. Menempatkan peran guru menjadi teman dan sahabat anak juga menjadi pendekatan untuk memahami kebutuhan. Apakah si anak cocok dengan model pengajaran tertentu atau tidak. Rasa pengertian seorang guru begitu diharapkan sedemikian rupa.

Guru menyadari jika anak ada waktu dan masa. Masa anak tetaplah anak. Kecenderungan bermain akan lebih besar. Cenderung bersuka ria akan lebih besar. Tidak bisa terus menerus dibawa kepada serius.

Oleh sebab itu, peran seorang guru jangan mengambil hak siswa. Hak bermain, hak bercanda, hak mendapatkan keriangan. Sekolah bukan tempat anak-anak menjadi tua. Ditakuti. Apalagi menyeramkan disebabkan hukuman yang sering ditimpakan kepada anak yang “kurang beruntung” dalam perilaku. Sebab kelak jika dewasa mereka akan “menuntut”, jika kelak tidak mendapatkan masa riangnya.

Perkataan Prof Dr Zainudin Maliki, Msi, seorang pakar pendidikan dan menjadi anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur memberikan penuturan, jangan seolah-olah jadi guru. Guru harus mengajarkan tentang kehidupan bukan sekadar mengajarkan cara untuk lulus ujian nasional.

Tidak sekadar mengajarkan angka-angka. Penambahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Tidak cukup jika angka-angka itu berhenti dalam soal. Anak perlu diberi gambaran jika dari angka itu lahir mesin mobil, jalan tol dan gedung-gedung yang tinggi. Dari angka juga melahirkan sebuah kesehatan. Ukuran sebuah kesehatan dengan angka dan alat berangka.

Itulah sebuah kehidupan dari modal sebuah angka. Guru yang diplesetkan digugu lan ditiru merupakan teladan dalam memberikan keleluasaan terhadap anak untuk bermain lepas.

Ketika anak datang ke sekolah seperti ke tempat rekreasi. Liburan adalah perasaan yang ada pada anak. Tetap membawa anak belajar dan tahu dengan kewajibannya tanpa terasa. Terbukti dengan nilai yang bagus, wajah tidak tertekan, dan karakter lebih ramah.

Mencapai ke arah sana jangan biasakan memakai teori behavioristic. Karena belajar bukan hanya untuk mendapatkan reward (imbalan) dan anak nakal tidak harus mendapatkan punishment (hukuman), begitu kata Prof. Dr Zainudin Maliki, M.Si.

Reward dan punishment masih berlaku. Namun bisa positif dan negatif. Jika dalam taraf wajar dan bukan keharusan maka bisa memberikan dampak positif. Artinya, jika anak memang berprestasi diberi imbalan. Dan yang berkelakuan tidak baik diberi hukuman. Menjadi negatif jika selalu mutlak begitu. Anak mempunyai prestasi tertentu tidak diberi imbalan secara terus menerus. Bahkan ini bisa menjadi ujian sebuah kesabaran dan keikhlasan bagi anak. Dan anak yang berkelakuan tidak baik tidak selalu dihukum supaya dia bisa sadar dengan sendiri atas kesalahannya. Karena ketika sampai sadar maka perubahan lebih terasa dan awet.

Tujuannya, supaya guru tidak memaksa anak untuk menjadi seperti orang dewasa, karena kelak saat siswa dewasa mereka akan meminta haknya. Ketika muncul sifat kekanak-kanakan saat sudah dewasa, dikarenakan mereka tidak merasakan masa emasnya untuk bermain.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment