Judul Buku: Digital World War
Penulis : Haroon K. Ullah
Penerbit : Yale University Press, USA
Tebal : xl + 288 halaman
Cetakan : Pertama, 2017
Suaramuslim.net – Jagat maya kini arena pertarungan. Bukan lagi semata tempat mencari hiburan, apalagi sekadar guyonan. Jagat itu sudah dipenuhi seruan, cacian, bahkan ancaman. Intinya, jagat itu menjadi media penyampai pesan bagi siapapun. Termasuk pesan kepada mereka yang tidak bersepakat pada cara-cara kekerasan.
Haroon, sang penulis buku ini, membuka pengantarnya melalui kisah tragis Salman Tasser, Gubernur Punjab penasehat Benazir Bhutto, tewas ditembak Malik Mumtaz Hussain Qadri pada 2011. Qadri anggota organisasi sufi Pakistan. Selama proses persidangan, Qadri dielu-elukan para pendukungnya sebagai pahlawan. Fans Qadri menyebar seruan dukungan padanya lewat internet. Kelompok Islamis pro-kekerasan terus menggelar aksi demonstrasi dukungan.
Warga biasa tak kuasa menghadapi aksi protes ini. Apalagi pro-Qadri secara intensif dan masif mengajak kaum muda Pakistan bergabung. Mereka membuat beragam meme pro-Qadri, tersebar di jagat daring (online). Seruan serta ajakan saling sahut. Mereka merayakan kematian Tasser. Ironinya, kelompok politisi muslim moderat Pakistan cenderung diam membisu. Seakan tak peduli kematian Tasser, para politisi ini pasif tanpa kata-kata. Tak ada sanggahan, tak ada kepedulian.
Puncaknya, Februari 2016 ketika majelis hakim Pakistan memvonis Qadri bersalah dan dihukum gantung. Timbul reaksi sebaliknya, Qadri malah jadi figur martir. Heboh daring kian nyaring. Pro-Qadri tambah rajin menebar seruan jihad kekerasan lewat internet.
Persoalan yang kita hadapi kini tak lagi di dunia nyata. Pun, di dunia maya persoalan itu tak kalah ruwet. Saling sahut, saling hujat. Satu kubu mencela, yang lain sibuk propaganda. Bahkan video jadi rujukan, begitu mudah disebar luas. Penyebaran bersifat eksponensial, makin bertambah seiring pertambahan grup-grup sealiran. Kecepatan memviral isu menjadi bagian penting dari aksi propaganda ini. Dunia sudah benar-benar tanpa batas. Jika dalam dunia nyata, batas yurisdiksi mengacu pada batas geografis. Maka, di dunia maya, tak ada lagi batas geografis itu.
Luruh ditelan perhitungan algoritma, dasar komputasi yang bersifat universal. Ketidakterbatasan penyebaran pesan ini ditambah dengan kekuatan narasi pembentuk citra telah menjadikan dunia maya benar-benar sulit dikendalikan.
Penulis buku ini menyodorkan fakta lain bagaimana seorang remaja Timur Tengah menyebarkan keinginannya lewat video berdurasi 70 detik. Sang remaja mengunggah cuplikan kesehariannya yang tak ada sentuhan religius sama sekali. Ia ingin hidup damai layaknya sehari-hari di negara-negara maju yang tak ada kebisingan. Ibaratnya, ia hendak menegaskan slogan: spiritualitas yes, agama no.
Video ini spontan beredar luas, menjadi tayangan yang banyak ditonton karena memperlihatkan harapan sang remaja. Penyebaran kian intensif lewat grup-grup Whatsapp, Line bahkan Telegram. Itulah sisi lain dari jagat maya sebagai medium penyebar pesan. Di satu sisi, kelompok ekstrimis menggunakannya sebagai sarana propaganda kekerasan, di sisi lain, jagat ini juga menjadi wahana penebar ajakan hidup damai.
Remaja seorang remaja di Kairo, Mesir, mengatakan isi video itu adalah perlawanan terhadap ideologi kekerasan ISIS, al Qaeda serta Taliban. Penulis buku ini menyajikan data remaja Saudi dan negara-negara Teluk menonton tayangan YouTube sebanyak 5,5 jam per hari. Menariknya, data itu juga menyebut riak siaran YouTube memancar dari studio di Jeddah, Saudi Arabia.
Inkubasi sosial media di negeri jazirah itu melambung cepat dalam kurun satu dekade ini. Generasi milenial Saudi larut dalam inkubasi tersebut, dan gencar melawan ideologi jihadisme. Diantara kelompok perlawanan terhadap kaum jihadis adalah UTURN yang berlokasi di pinggiran kota Jeddah. Kaswara, sang pemimpin gerilya perlawanan ini menyatakan UTURN terus mengawasi gerak-gerik bani jihadis selama 24 jam tujuh hari berturut-turut. Secara bergantian, para remaja ini mengawasi lalu-lintas informasi jihadisme lewat internet.
Sebagai remaja yang lahir lalu besar dalam lingkungan berbahasa Arab dengan aneka idiom di dalamnya, tentu saja mudah bagi mereka memecah kode-kode jihadis. Lalu, mereka membuat video tandingan atau narasi kontra-jihadis. Secara cepat, narasi dan video mereka dikonsumsi sesama remaja lintas negara berbahasa Arab. Selama berjam-jam, tayangan produksi mereka ditonton jutaan pemirsa remaja. Pesan mendukung perdamaian melawan kekerasan pun tersebar cepat masuk ke dalam alam bawah sadar kaum remaja. Gerilya kreatif ini, tentu saja sangat merepotkan kelompok jihadis.
Ditulis dalam tujuh bab, buku ini benar-benar seperti bacaan ringan tapi berbobot. Usai bab pertama membahas informasi sebagai senjata, pembahasan lalu mengalir ke cara-cara menarik perhatian pemirsa atau publik secara umum. Disinilah terjadi adu kreatif, adu inovatif. Hingga muncul fenomena gerilya ‘Webfare’ (peningkatan jumlah website dalam pertarungan di dunia maya), bukan istilah ‘Warfare’ (pertempuran yang terus berlangsung di dunia nyata).
Bab ketiga ini penuh penggambaran seputar perang yang sedang berlangsung. Kisah dimulai ketika teriakan Salman, anggota muda Taliban, berhasil meretas sistem komputer NATO di Afghanistan. Serangan Taliban pun memporak-porandakan iring-iringan kendaraan NATO yang sedang berpatroli. Salman mendokumentasikan serangan itu dan mengunggahnya di YouTube. Ia berteriak kegirangan. Salman adalah anak petani miskin Afghanistan.
Selama dua tahun ia dilatih Taliban untuk memahami kode serta pengembangan piranti lunak. Utamanya, kode-kode enkripsi yang memungkinkannya melakukan peretasan. Usai pelatihan, Salman menjadi peretas ulung dan ia berhasil mencuri software baru pasukan Inggris di Afghanistan. Hasil curian ini memungkinkan Salman masuk ke dalam sistem komunikasi dan penyebaran informasi NATO. Ia retas, lalu pada Agustus 2015 terhentilah beberapa kegiatan patroli NATO di lokasi-lokasi yang mudah diserang Taliban.
Kombinasi serangan seperti ini telah mengingatkan AS sejak jauh hari. Bahkan pada Oktober 2012 Menteri Pertahanan AS, Leon Panetta, telah memperingatkan serangan siber ini. Kalangan ahli strategi AS menyebutnya sebagai siber ‘Pearl Harbor’, yang mengingatkan mereka pada serangan mendadak Jepang atas Pearl Harbor pada Perang Dunia kedua.
Sekali pusat kendali komputer dan informasi lumpuh karena diretas, maka secepat itu pula keruntuhan nyata bakal terjadi. Kepekaan elit negara maju pada persoalan ini sangat tinggi. Karena mereka telah mengalami sendiri. Beberapa tahun silam, sejumlah bank terkemuka di AS telah diserang DDoS, semacam virus blokade yang mencegah konsumen masuk ke dalam sistem bank online.
Akibat serangan siber ini, terjadi kepanikan luar biasa di AS. Ibarat senjata AK 47, DDoS yang mengindikasikan berasal dari sumber beragam telah membuat situs-situs target terbanjiri kunjungan. Permintaan server pun melambung masuk ke dalam situs itu sehingga kapasitas internal situs pun cepat penuh. Konsumen atau siapapun yang hendak mengakses ke situs terkait lalu gagal. Serangan DDoS ini melumpuhkan kapasitas situs, tapi justru sesungguhnya juga menjadi peringatan pemilik situs agar meninjau ulang sistem keamanan situs.
Kisah dari benua biru Eropa juga tak kalah menariknya. Ketika kelompok Telecomix berisi jejaring aktivis libertarian, yang membantu para aktivis Ikhwanul Muslimin berdemonstrasi di lapangan Tahrir tahun 2011. Rezim Mubarak yang mematikan seluruh akses internet saat itu, tak kuasa melawan ketika modem para aktivis terhubung pada akses yang disediakan Telecomix.
Aksi protes anti-Mubarak pun kembali marak. Belakangan, sekitar Juni 2014, kelompok beken Anonymous melancarkan operasi bersandi #NO2ISIS ke seluruh dunia. Dampak operasi ini, sejumlah website pro-ISIS langsung tumbang, lalu komunikasi pro-ISIS via WA, Telegram serta sosial media, juga tersungkur.
Penyebaran Malware ibarat bom klaster. Malware bisa merusak piranti lunak dalam komputer, dan digunakan oleh para pendukung pemerintah atau para gerilyawan. Facebook menjadi alat pendukung rezim Assad Suriah untuk menyerang oposisi. Sebaliknya, oposisi Suriah tak kalah garang. Mereka menyerang balik, juga melalui taktik membuat fanpage. Sekali situs ini dibuka, Malware spontan masuk ke dalam sistem komputer lalu merusak akses. Laboratorium Kaspersky berkantor pusat di Moskwa, Rusia, mendeteksi jenis Malware itu dengan sebutan njRAT yang sebenarnya tersedia bebas secara ‘open source’. Bahkan peretasan melalui dekripsi juga gencar berlangsung. Tujuannya memblokade jalur komunikasi atau mengubah isi informasi.
Pengetahuan pernak-pernik enkripsi ini mulai menarik perhatian khalayak, ketika kasus-kasus pembobolan informasi sering terjadi belakangan. Bermula dari majalah Al Qaeda yang mengulas soal enkripsi ini beberapa tahun lalu. Setelah itu, kian marak kunci enkripsi ditawarkan oleh para jihadis melalui jalur komunikasi mereka.
Kasus Snowden beberapa tahun lalu tambah membuat perhatian pada enkripsi meningkat. Pengetahuan, keterampilan serta teknologi enkripsi terus berkembang hingga saat ini. Bukan saja pemerintahan yang mengembangkannya, melainkan juga organisasi-organisasi jihadis juga berkompetisi saling bongkar kunci enkripsi.
Buku ini memang menawarkan wawasan serta kedalaman melihat perang yang terus berlangsung di dunia maya. Perang ini memang jauh dari kebisingan suara, nyaris tak ada peluru berdesingan atau roket mendentam. Namun, tak bisa dipungkiri, perang ini membawa dampak besar dalam konstelasi dunia. Perlombaan senjata bukan lagi di ranah nyata, tapi kini sudah berlangsung di dunia digital. Sebuah dunia dimana kita pun hidup di dalamnya.
Oleh: Rosdiansyah*
Editor: Muhammad Nashir
*Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih berbagai beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya