Persekusi Ulama dan Netralitas Polri

Persekusi Ulama dan Netralitas Polri

Ragukan Netralitas Polri di Pilpres, Madrasah Anti Korupsi Minta Kapolri Mengundurkan Diri
Kapolri Jendral Tito Karnavian dan sejumlah petinggi Polri. (Foto: Tempo.co)

Suaramuslim.net – Sudah sekian kalinya netralitas institusi kepolisian tercoreng. Hal ini tidak lepas dari keterlibatan Polri dalam membela penguasa bukan membela negara khususnya dalam rezim ini. Sebagai salah satu alat negara, seharusnya Polri menampilkan diri sebagai institusi yang memberi teladan dalam menjaga netralitas. Di mata masyarakat, citra kepolisian akan semakin buruk dan tercoreng ketika masyarakat melihat institusi kepolisian larut dalam permainan politik praktis, dan dimanfaatkan untuk membela kepentingan penguasa, khususnya dalam Pemilu ini.

Kasus yang saat ini sedang menguji netralitas Polri adalah persekusi terhadap sejumlah ulama dan tokoh yang dianggap membahayakan negara. Berbagai spekulasi muncul, di antaranya bahwa tindakan pihak kepolisian itu untuk menghentikan rencana people power. Peran sejumlah ulama dan tokoh, dalam mendorong people power, inilah yang membuat netralitas kepolisian terkubur.

Polri dan Persekusi Ulama

Kriminalisasi terhadap ulama dan tokoh Islam kembali terjadi. Hal ini tidak lepas dari penetapan pihak kepolisian terhadap sejumlah ulama dan tokoh Islam yang dianggap membahayakan negara. Tiga tokoh itu di antaranya Ustaz Bachtiar Nasir (UBN), Haikal Hassan, dan Eggi Sudjana. UBN ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menyelewengkan dana umat Islam, Haikal Hassan disangka menyebarkan berita hoaks, dan Eggi Sujana dituduh melakukan gerakan makar. Banyak pihak menuding bahwa tindakan Polri sangat tendensius dan bermuatan politik karena memperalat institusi untuk kepentingan Petahana.

Salah satu tokoh Islam yang bersuara lantang terhadap persekusi ulama dan tokoh Islam itu di antaranya Din Syamsuddin. Tokoh Muhammadiyah yang juga ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa pemanggilan UBN berdimensi politik. Dia menegaskan bahwa pemanggilan tersebut akan mengundang reaksi dari para pendukungnya, dan itu akan menambah bensin terhadap api yang sudah menyala. Seyogianya Polri bijak dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan mempertimbangkan suasana dalam kehidupan masyarakat.

Kritik Din Syamsuddin merupakan representasi opini publik yang melihat bahwa rezim ini sedang mempersekusi ulama dan tokoh Islam dengan menggunakan tangan Polri. Penetapan UBN sebagai tersangka karena dituduh menyelewengkan dana aksi bela Islam 212 dan 411. Padahal kasus ini pernah diproses dan kemudian ditutup. Namun saat ini dimunculkan kembali setelah peristiwa Ijtima’ ulama III. UBN dianggap berperan dalam merekomendasi dalam butir-butir keputusan Ijtima’ ulama, yang mengusulkan diskualifikasi terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin karena banyaknya kecurangan dalam Pemilu tahun ini.

Demikian pula penetapan terhadap Haikal Hassan dengan tuduhan menyebarkan berita bohong sehingga masyarakat bergerak dan terus melakukan gerakan melawan kecurangan Pemilu. Demikian pula pemanggilan terhadap Eggi Sujana dengan tuduhan telah melakukan rencana makar, sehingga masyarakat tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa.

Apa yang dilakukan Polri terhadap tiga ulama dan tokoh Islam dipandang oleh umat Islam sebagai langkah persekusi atau kriminalisasi terhadap ulama. Dan hal ini seolah mengulang peristiwa persekusi yang dilakukan oleh rezim ini selama masa kekuasaannya.

Upaya Menjaga Marwah Polri

Persekusi terhadap UBN, Haikal Hassan, dan Eggi Sudjana semakin meneguhkan adanya keterlibatan institusi negara, dalam hal ini Polri. Keterlibatan Polri dalam mempersekusi ulama jelas memarginalisasi netralitasnya. Apa yang dilakukan oleh UBN, Haikal Hassan, dan Eggi Sudjana merupakan representasi opini publik yang protes terhadap kecurangan Pemilu yang demikian massif, terstruktur, dan sistematis.

Alih-alih meredam gejolak masyarakat dengan ikut membantu mengurangi laju kecurangan Pemilu yang massif, terstruktur, dan sistematis, Polri justru dianggap menyulut membesarkan perlawanan publik ketika mempersekusi UBN, Haikal Hassan, dan Eggi Sudjana.  Keterlibatan tiga tokoh ini tidak lepas dari membesarnya gelombang partisipasi masyarakat dalam melawan kecurangan yang dilakukan oleh rezim ini. Apa yang dilakukan Polri dengan memanggil tiga tokoh ini diharapkan bisa meredam gejolak di masyarakat, seiring dengan menguatnya masyarakat dalam mendukung Pasangan calon (Paslon) Prabowo-Sandi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, dengan menankan tiga tokoh di atas justru memberi spirit perlawanan terhadap gerakan kecurangan ini.

Dengan memproses secara hukum terhadap tiga tokoh itu, pandangan masyarakat semakin kuat bahwa Polri semakin tidak netral. Polri dipandang masyarakat telah dikorbankan untuk  memenangkan Petahana dan mengalahkan lawan politiknya (Prabowo-Sandi), dengan secara tidak langsung mengorbankan netralitasnya.

Apa yang dilakukan Polri ini seolah sebagai langkah untuk membendung adanya gelombang besar, yakni Islam garis keras. Islam garis keras dipandang sebagai ancaman terhadap bangsa dan negara. Bahaya Islam garis keras ini pernah disuarakan oleh Mahfud MD, Hendropriyono, dan Habib Rizieq. Kalau Mahfud MD pernah menyatakan bahwa Prabowo didukung oleh wilayah Islam garis keras, sementara Hendroriyono menyatakan bahwa Habib Rizieq dan keturunan arab dianggap sebagai provokator, dan Kapolri, Tito Karnavian  melengkapinya dengan menyatakan bahwa Islam radikal lebih membahayakan negara daripada PKI. Pernyataan tiga elite di atas merupakan benang merah sekaligus pembenar kebijakan Polri dalam melawan fenomena membesarnya Islam radikal, sehingga mempersekusi UBN, Haikal Hassan, dan Eggi Sudjana.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment