Pesantren dan Madrasah yang Masih Menjadi Anak Tiri Negara

Pesantren dan Madrasah yang Masih Menjadi Anak Tiri Negara

Pesantren dan Madrasah yang Masih Menjadi Anak Tiri Negara
Salah satu pesantren di Indonesia. (Foto: http://darul-muttaqien.com)

Suaramuslim.net – Peran pesantren dan ulama sangat besar termasuk dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya. Peran ulama dan pesantren yang tidak banyak diketahui ialah dukungan terhadap program KB. Yang mampu membuat pemikiran memadukan Islam dan Pancasila bukanlah profesor dari universitas terkemuka, tetapi K.H. Achmad Siddiq, santri K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang.

Sebagai penghargaan terhadap peran pesantren itu, maka pemerintah menetapkan adanya Hari Santri yang dipilih pada 22 Oktober sesuai dengan saat dikeluarkannya fatwa Resolusi Jihad.

Penghargaan itu bagus tetapi hanya akan terasa seremonial belaka apabila tidak ada kebijakan nyata dari pemerintah untuk membantu peningkatan mutu pesantren yang berjumlah sekitar 280.000 itu. Kebijakan semacam itu sebenarnya adalah suatu affirmative action untuk warga yang terlupakan yang kebanyakan berada di pelosok-pelosok. Program pemerintah harus ikut blusukan, bukan hanya Sang Presiden.

Cukup banyak pesantren yang sudah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam atau Institut Agama Islam dan dan hanya beberapa yang sudah mendirikan universitas. Ideal sekali bila pesantren yang mendirikan universitas ini, terutama yang berada di daerah pedalaman (rural areas), mendapat bantuan anggaran yang memadai dari pemerintah supaya bisa menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu.

Jumlah anak usia kuliah di pedalaman yang bisa masuk kuliah di kota besar hanya 6-7%, angka yang kecil bila dibandingkan dengan yang tinggal di kota besar (sekitar 27%). Keberadaan universitas di daerah pedalaman akan mengurangi ketimpangan desa-kota dan mengurangi urbanisasi. Juga akan mendinamisasi para pemuda sehingga bisa lebih bersaing.

Islam Nusantara

Salah satu masalah yang menjadi pertanyaan dalam diri saya adalah adanya program atau proyek yang mencantumkan nama Islam Nusantara di dalam lingkungan Kementerian Agama. Saya tidak tahu sejak kapan Islam Nusantara menjadi program di dalam Kemenag, setelah dikumandangkan NU atau sebelumnya? Kalau dilakukan sebelum NU memakai nama Islam Nusantara, dipastikan bahwa Kemenag tidak mengikuti NU. Kalau dilakukan setelahnya, apa pun keadaan sebenarnya, masyarakat akan menilai bahwa Kemenag mengikuti NU.

Setelah NU mengumandangkan nama Islam Nusantara menjelang, selama dan setelah Muktamar ke-33, timbul banyak suara menentangnya, baik dari dalam kalangan NU apalagi dari luar. Saya membaca bahwa almarhum K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa istilah Islam Nusantara itu kurang tepat, lebih tepat istilah Islam di Nusantara.

Saya ingin memberi komentar bukan pada substansi Islam Nusantara, tetapi pada aspek lain. Saya mengambil misal bahwa produk apa pun (barang, makanan, ajaran) yang sudah diminati orang banyak dengan nama tertentu, tidak ada kebutuhan untuk mengganti nama. Jadi akan timbul pertanyaan, apakah ada perubahan dalam ajaran Islam sehingga kita harus mengganti nama?

Islam yang kita kenal selama ini di Indonesia adalah Islam yang dikenal sebagai Islam yang disebarkan tanpa adanya dukungan kekuatan militer, kekuatan politik atau kekuatan dana. Islam itu dikenal sebagai Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Islam Rahmatan lil Alamin. Istilah itu sudah memberi gambaran yang jelas tentang Islam di Nusantara sehingga tidak ada kebutuhan untuk mencari nama baru, apa pun nama itu.

Pendidikan Islam

Pendidikan tertua di Nusantara ialah pesantren yang sudah ada sejak hampir 1000 tahun lalu. Pesantren tertua yang masih ada saat ini ialah Pesantren Sidogiri yang berdiri pada 1718. Sekolah Belanda yang menjadi cikal bakal sekolah yang kini ada di Indonesia berdiri pada 1840-an. Pada beberapa tahun pertama kemerdekaan mulai terjadi arus deras dari putra-putri kalangan pesantren untuk belajar di SD, SMP dan SMA.

Pada 1950-an awal, era K.H. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, diterbitkan peraturan yang mengatur bahwa di sekolah-sekolah (SD, SMP, SMA) diberikan mata pelajaran agama dan akan didirikan madrasah (MI, MTs, MA).

Pada tahun itu juga didirikan PTAIN yang lalu berkembang menjadi STAIN dan IAIN. Selanjutnya sejumlah IAIN berkembang menjadi UIN. Berdirinya IAIN itu membuka pintu untuk proses mobilitas vertikal anak-anak muda tamatan pesantren, banyak dari mereka belajar ke berbagai universitas yang baik di berbagai negara.

Pada saat itu, ada yang mengkritik bahwa kebijakan Menteri Agama Wahid Hasyim itu membuat dualisme pendidikan di Indonesia. Kritik itu dijawab bahwa pendidikan Islam sudah ada jauh sebelum sekolah mulai berdiri di Indonesia. Kalau dianggap dualisme, maka perlu ditanya siapa sebenarnya yang membuat dualisme? Bagi saya dualisme itu adalah konsekuensi logis dari fitrah pendidikan di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 74.000 madrasah di Indonesia, sekitar 90 persen adalah milik swasta. Sebagai perbandingan, ada sekitar 175.000 sekolah di Indonesia.

Bayangkan kalau tidak ada madrasah di Indonesia, maka berapa puluh juta anak bangsa yang tidak mendapatkan kesempatan belajar karena pemerintah tidak mampu menjalankan amanah UUD untuk memberi pelayanan pendidikan dasar menengah kepada anak bangsa.

Saat ini anggaran madrasah terasa masih seperti anak tiri dibanding anggaran sekolah yang berada di bawah naungan Kemendikbud. Anggaran ini perlu ditingkatkan secara berarti (signifikan) karena lebih dari 90% madrasah adalah milik swasta yang kebanyakan gurunya masih perlu ditingkatkan dalam aspek mutu dan kesejahteraan. Hal itu sejalan dengan tugas negara sesuai UUD yaitu untuk menyediakan pelayanan pendidikan dasar dan menengah.

Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng: 2017.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment